Sabtu, 29 Desember 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #8-3








Sebelumnya



* * *



Setelah memastikan mobil Livi terparkir dan terkunci dengan sempurna, barulah Maxi mencurahkan perhatiannya pada Pingkan. Digandengnya erat tangan gadis itu saat menyeberangi area parkir di basement gedung bioskop yang menyatu dengan sebuah mal besar. Sekilas Maxi melihat ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Baru pukul empat lebih delapan belas menit.

“Sudah pesan tiketnya, Max? Atau kita harus antre dulu?” suara lembut Pingkan mengelus telinga Maxi.

Maxi menoleh, tersenyum.

“Sudah pesan, dong,” jawabnya. “Kita sudah deal filmnya, kan?”

Pingkan mengangguk dengan wajah cerah. Jadi, yang sekarang harus mereka lakukan adalah menunggu dibukanya bioskop.

“Beli cemilan sama minuman dulu, yuk!” ajak Maxi kemudian.

Pingkan menurut ketika Maxi menarik tangannya dengan lembut ke arah kafe bioskop.

“Kamu mau kopi atau teh?” tawar Maxi. “Sambil tunggu jamnya.”

“Teh saja,” Pingkan menanggapi tanpa rasa segan. “Teh lemon hangat.”

“Sekalian kuenya,” senyum Maxi, menyodorkan nampan berisi dua buah piring kecil.

Pingkan pun memindahkan masing-masing sebuah sausage roll dan risoles ke salah satu piring. Maxi sendiri memilih sebuah pai apel dan seporsi churros. Seorang pramusaji meletakkan secangkir teh lemon hangat dan secangkir latte ke atas nampan. Maxi menggeser nampan itu ke kasir. Di sana, ia meminta tambah popcorn karamel dalam kemasan jumbo dan dua kaleng root beer.

“Mau nambah apa lagi, Ke?” Maxi menoleh ke arah Pingkan sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya.

“Air mineral, Max.”

“Oh, iya.” Maxi mengalihkan tatapannya ke arah kasir. “Air mineral dua, Mbak, yang botol sedang.”

Beberapa menit kemudian urusan itu selesai. Pingkan menerima kantung berisi cemilan dan minuman, sementara Maxi mengangkat nampan. Pingkan menunjuk meja yang dekat dengan batas area kafe. Maxi menyetujuinya.

Keduanya duduk berhadapan. Saling menatap dan mengulas senyum sebelum mulai mengudap sambil mengobrol.

“Aku segan juga tadi, yang bukain pintu Pak Andries,” Maxi membuka percakapan. “Mana yang hidangin suguhan tadi dia juga.”

“Biasa dia, sih. Suka ngagetin orang.” Pingkan menyambung ucapannya dengan tawa ringan.

Maxi menatap Pingkan. Senang sekali rasanya melihat Pingkan seriang itu. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa masih ada gulungan awan kelabu membayang dalam mata Pingkan.

“Mm ... Ngomong-ngomong, kamu ngantor di mana, Ke? Kayaknya aku belum pernah dengar soal itu,” ucap Maxi, halus.

“Oh, aku nggak pernah ngantor, kok,” Pingkan menggeleng. “Aku jauh dari urusan Royin. Cuma sesekali saja kalau ada klien atau tamu dari Jepang, interpreter lagi nggak bisa tugas, aku yang maju.”

“Oh ...,” Maxi manggut-manggut.

“Kamu ... beneran ... kangen sama ... aku?”

Suara Pingkan yang melirih itu membuat Maxi tertegun. Ditatapnya baik-baik gadis itu.

“Ya,” ucapnya, tegas. “Aku kangen sama kamu. Kangeeen banget. Kamu sendiri? Kangen juga, kan, sebenarnya?” Maxi meringis jenaka.

Sekilas Pingkan mencibir. “Ih! Ge-er!”

Maxi tertawa. Tapi seutuhnya ia menemukan kerinduan yang sama dalam tatapan Pingkan.

“Kamu ... sudah kuhindari sedemikian rupa ..., kenapa masih ngeyel, sih?” Pingkan mengalihkan tatapannya ke arah lain.

“Karena aku sayang sama kamu, Ke.”

Suara lembut Maxi itu seketika membuat jantung Pingkan berdebar jauh lebih kencang lagi. Selama beberapa puluh menit ada begitu dekat dengan Maxi, jantungnya sudah tak keruan iramanya. Apalagi sekarang, saat Maxi menegaskan sekali lagi perasaannya. Sama sekali tidak terdengar sebagai gombalan di telinga Pingkan.

“Kamu cowok baik, Max,” gumam Pingkan. Tertunduk. “Kamu pantas dapat yang jauh lebih baik daripada aku. Yang terbaik. Yang jelas, bukan aku.”

“Kenapa seyakin itu bahwa yang terbaik buatku bukan kamu?” Maxi menepuk lembut punggung tangan Pingkan. “Aku justru merasa sebaliknya. Dan, aku pikir, bukan kebetulan kita dipertemukan oleh suatu peristiwa.”

Pingkan terdiam. Cerita yang akan diungkapkannya cukup panjang. Tak mungkin merusak suasana dengan berkisah sekarang, saat jam buka bioskop makin dekat.

“Mau kuenya dibungkus?” tanya Maxi tiba-tiba. Terdengar sangat sabar.

Pingkan menatap kue yang masih utuh ada di piringnya. Ia kemudian mengangguk. Maxi berdiri dan melangkah ke meja kasir untuk meminta kantung kertas. Di piringnya sendiri masih tersisa pai apel.

Pingkan menatap punggung Maxi yang sedang mengantre untuk mendapatkan kantung kertas. Pada detik ini, benar-benar dirasakannya bahwa ia memang sangat merindukan pemuda itu.

Maxi yang selama ini dikenalnya tak pernah merayunya dengan ucapan-ucapan yang sangat manis dan terlalu muluk. Cenderung bukan seorang cowok yang romantis. Tapi ada kejujuran dan ketegasan dalam setiap ucapannya. Ada kasih dan perlindungan dalam setiap sikapnya. Membuat Pingkan merasa nyaman dan aman berada bersama Maxi.

Ketika Maxi selesai dengan urusan di meja kasir dan berbalik, Pingkan segera mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia menoleh saat Maxi datang, mendongak sekilas, meminta kantung itu, dan segera memasukkan kuenya. Kemudian, ditatapnya sejenak Maxi.

“Itu kuemu, mau dimakan atau dikantungin sekalian?”

“Dikantungin saja,” Maxi menyodorkan piringnya.

Dengan cekatan, Pingkan menyelesaikan tugasnya dan memasukkan kantung itu ke dalam kantung plastik besar berisi bekal mereka untuk menonton. Keduanya segera menghabiskan minuman di cangkir karena mendengar informasi bahwa pintu bioskop sudah dibuka.

* * *

Semakin film mendebarkan itu mendekati akhir, semakin liar pula detak jantung Pingkan. Kardigan tipis yang menyelimuti bagian atas tubuhnya itu membuatnya gerah, padahal pendingin ruangan dalam salah satu studio bioskop itu menyemburkan hawa dingin yang lumayan maksimal. Ketika keringat yang menyeruak keluar dari pori-pori kulitnya bertemu dengan embusan hawa dingin, ia menggigil. Rasa gerah itu menguap, tapi beberapa saat kemudian datang lagi.

Film itu sangat bagus. Ia sangat ingin menontonnya. Tapi sepanjang pemutaran film itu, ia sama sekali tidak bisa menikmatinya. Ia sibuk menunggangi pikirannya. Pada satu detik, ia berkelana. Berusaha menemukan kata demi kata, merangkainya jadi kalimat, dan menyusunnya jadi kisah yang harus diungkapkannya kepada Maxi sebagai bukti kejujurannya.

Pada detik berikutnya, ketegarannya mengempis kembali. Semua kalimat dan paragraf yang sudah disusunnya berhamburan ke segala arah. Membuatnya tersandar tanpa daya sambil matanya nanar menatap adegan demi adegan menegangkan yang terpampang di layar.

Hingga akhirnya tayangan itu sampai di ujung, dan lampu di dalam studio mulai menyala redup. Ia sempat tersentak dan buru-buru mengembalikan kesadarannya terhadap keadaan sekitar. Popcorn mereka masih tersisa separuh. Ia menutup kemasan dan mengembalikannya ke dalam kantung.

Maxi meraih kaleng kosong yang tadi mereka letakkan di bawah kursi. Dengan sekali tekan, kaleng itu remuk. Pemuda itu kemudian mengulurkan tangannya ke arah Pingkan.

“Sini, aku yang bawa kantungnya,” ucapnya.

Tanpa kata, Pingkan mengulurkan kantung itu. Maxi menyodorkan lengannya, karena kedua tangannya sama-sama menggenggam benda lain. Pingkan meraih lengan itu, dan mereka bergeser ke arah gang.

“Mau makan di mana?” Maxi menatap Pingkan setelah membuang kaleng di tempat sampah yang ada di samping pintu keluar.

“Terserah kamu,” gumam Pingkan. “Di resto cepat saji juga boleh.”

“Mau bento, ayam, atau pizza?” tawar Maxi lagi. Masih dengan nada sabar yang sama.

“Bento saja, gimana?” Pingkan mendongak sedikit, menatap Maxi yang cukup tinggi.

“Yuk!” Maxi menggenggam tangan Pingkan lebih erat lagi.

Mereka melangkah menuju ke sebuah restoran cepat saji ala Jepang, satu lantai di bawah bioskop. Tempat yang mereka tuju sangat ramai dan terlihat penuh. Tapi masih tersisa satu meja untuk berdua di sudut dekat dinding kaca. Ke sanalah mereka menuju.

Setelah duduk dan berunding sejenak, Maxi bangkit dari duduknya dan antre untuk mengambil menu. Diingatnya baik-baik keinginan Pingkan, beserta alternatifnya kalau yang hendak dipesan sudah habis. Saat ini keinginan Pingkan-lah yang paling penting. Menu yang tidak neko-neko, sebetulnya. Tapi Maxi tak ingin salah memesan. Ia sendiri bisa makan apa saja yang ada di depan mata.

Samar, pemuda itu mengembuskan napas lega ketika semua pesanan Pingkan sudah lengkap. Tinggal menu untuk dirinya sendiri. Ia menunjuk ini dan itu, dan memesan minuman. Setelah selesai, ia menggesernya ke arah kasir dan menyelesaikan pembayaran.

Beberapa belas menit setelah meninggalkan meja, ia kembali. Pingkan yang duduk menunggu sambil memainkan gawainya segera menyimpan benda itu ke dalam tas selempangnya begitu Maxi mendekat.

“Pesananmu ada semua,” wajah Maxi tampak riang ketika mengucapkan itu. Membuat Pingkan mengembangkan senyum cantiknya.

Sebelum mulai menikmati makanan itu, Pingkan menatap Maxi. Terlihat ragu sejenak, tapi ia kemudian memantapkan hati.

“Max, aku ... sudah bilang ... kalau mau ... cerita, kan?” ucapnya. Terbata-bata.

“Ya?” Maxi balas menatapnya. Menghentikan kegiatan tangannya meraih botol teh.

“Aku ....” Pingkan mendegut ludah. Tertunduk. Tak kuasa menentang tatapan Maxi.

“Ke ....” Tangan kanan Maxi meraih tangan kiri Pingkan. Menggenggamnya hangat. “Kalau kamu nggak bisa cerita, nggak apa-apa,” ujarnya, lembut.

Pingkan tertegun sejenak.

“Kalau yang kamu mau ceritakan ini terlalu menyakitkan buat kamu, sudah, nggak perlu diungkap lagi.”

Ucapan Maxi itu membuat Pingkan makin terhenyak. Ia masih tak berani menatap Maxi.

Apakah ... dia sudah tahu?

“Aku sayang kamu,” ucap Maxi lagi, “apa adanya. Aku hargain banget, kamu mau jujur sama aku. Tapi kalau bercerita hanya akan membuat kamu terluka lagi, sebaiknya jangan.”

Hening cukup lama, dengan tangan Pingkan masih ada dalam genggaman Maxi.

“Kamu ... sudah ... tahu?” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Maxi tak langsung menjawab. Ia terlihat bimbang. Serba salah.

Pasti Donner! Pingkan mengerjapkan mata dengan resah.

“Apakah kamu marah kalau aku sudah tahu?” akhirnya Maxi balas berbisik.

Pingkan tercekat. Ya, Tuhan! Dia sudah tahu! Dia sudah tahu! Pasti Donner yang ngember!

“Ke ...,” ucap Maxi, sangat lembut. “Kalau mau marah, marahlah padaku. Aku yang memaksa Donner untuk bercerita. Awalnya dia keukeuh nggak mau. Tapi aku berhasil memaksanya.”

“Lalu kamu tetap mengejarku?” Sedetik, Pingkan mengangkat wajahnya. Sekilas menatap Maxi.

“Karena aku benar-benar sayang sama kamu. Jangan marah sama Donner, ya? Marahlah padaku. Maki-makilah aku. Jangan Donner. Dia sayang banget sama kamu.”

Pingkan mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengusir genangan bening yang sudah mengembang dan siap untuk meluber keluar.

“Mulai sekarang, biarkan aku yang jaga kamu,” bisik Maxi lagi. “Tugas Donner sudah selesai. Ya? Oke? Yuk, kita sekarang makan dulu."

Pingkan tergugu.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)