Kamis, 06 Desember 2018

[Cerbung] Portal Triangulum #8-3









Sebelumnya



* * *



Moses terdiam ketika dua perempuan itu berpelukan. Salindri dan Azayala.

Oh, mereka sudah saling kenal, rupanya ....

Sejenak kemudian Salindri menengok ke arah Moses.

“Bibi Azayala ini kerabat dekatku,” Salindri menjelaskan tanpa Moses memintanya. “Ibu Bibi Azayala adalah sepupu ayahku. Ayahnya berasal dari sini, Gerose. Bibi Azayala menikah dengan orang Ancora. Ketika Bibi berpisah dengan suaminya, Bibi memutuskan untuk pulang ke sini. Putra tunggalnya tinggal bersama ayahnya di Ancora. Sekarang dia jadi presiden planet Ancora, sekaligus ketua Federasi Galaksi Andromeda.”

“Oh ...,” hanya itu tanggapan yang keluar dari sela-sela bibir Moses.

‘... Dan, Gematri, putra Bibi Azayala itu, ada hati terhadap sahabat kecilmu, Kana.’

Seketika Moses ternganga ketika suara itu menggema di dalam benaknya. Ditatapnya Salindri tanpa kedip selama beberapa saat lamanya. Salindri mengulas senyum geli.

‘Ayolah ... Lebih baik Kana dengan Gematri daripada dengan si sinting Sverlin itu,’ suara Salindri kembali menggema dalam benak Moses.

Laki-laki itu meringis sekilas. Kemudian tercenung menatap lantai.

Sungguh, ia benar-benar tak paham bagaimana sesungguhnya hubungannya dengan Kana berjalan.

Sahabat?

Moses manggut-manggut dalam hati. Sambil mencoba berdialog dengan pikirannya sendiri. Sementara Salindri dan Azayala mengobrolkan suatu hal.

Saudara?

Ia kembali mengangguk. Samar.

Lebih dari itu?

Kali ini Moses menggeleng.

Setidaknya, ia tak pernah bisa menganggap Kana lebih daripada seorang saudara dan sahabat. Sepertinya Kana pun demikian. Kalau Kana khawatir Moses hilang tak tentu rimbanya, itu karena bisa berarti Kana takut kehilangan saudara, sahabat, sekaligus partner in crime yang sudah tumbuh bersama sejak kecil. Sebagai sesama manusia yang ‘dibiakkan’ di cawan petri, mereka punya perasaan senasib sepenanggungan.

Hmm ... Gematri?

Ia tak mengenal sosok itu. Ia tahu, setidaknya pernah mendengar nama itu, tapi sama sekali tak kenal. Tapi melihat seberapa hangat dan menyenangkannya Azayala, rasanya ia tak perlu mengkhawatirkan apa-apa.

Sialnya, justru aku yang ketiban prasangka sebagai kekasih Kana.

Moses mencibir dalam hati.

Mungkin benar, terlalu jenius sama kurang waras itu bedanya tipis.

Tapi Moses segera membantah pikirannya sendiri.

Ah, tidak juga. Kana dan aku tergolong jenius, tapi hingga detik ini masih waras, kok.

‘Hehehe ....’

Moses tersentak ketika benaknya ditembus suara tawa geli. Ia mengangkat wajah. Menatap Salindri.

‘Hubunganmu dengan Kana sungguh unik,’ ucap Salindri dalam hening. ‘Aku suka melihatnya.’

Moses tersenyum. Diam-diam, kerinduannya terhadap Kana makin pekat.

* * *

Rencana sudah matang. Strategi sudah disusun rapi. Saatnya mengisi kolektor penuh dengan energi. Kesibukan terjadi di lembah tempat Asubasita dan anak buahnya memarkir pesawat. Mereka melepas setiap kolektor yang ada dalam pesawat dan mengumpulkannya di sekitar lubang energi yang ditemukan Bendrat.

Ketika sudah siap, Bendrat pun memasang corong penyedot di bibir lubang, dan menatap indikator kolektor. Hingga beberapa saat lamanya, lampu indikator berwarna kuning pada kolektor tidak menunjukkan perubahan. Hanya menyala, sama sekali tidak berkedip seperti saat kolektor diisi energi.

Bendrat mengerutkan kening. Diperiksanya saluran penyedot dan penyalur. Tak ada kebocoran. Dipasangnya saluran yang lain. Tak ada perubahan. Dicobanya untuk mengisi kolektor lain. Sama. Ia kemudian meletakkan telapak tangannya di mulut lubang. Sama sekali tak ada getaran. Tak ada lagi energi yang keluar dari lubang itu, apalagi energi yang bisa disedot.

“Aaarrrgh!!!” Bendrat meraung sekuatnya. Ia sungguh-sungguh merasa frustrasi.

“Hei!” bentak Asubasita, yang duduk tak jauh dari Bendrat. “Kamu ini kenapa? Berisik sekali!”

“Maaf, Bos,” nyali Bendrat seketika menciut. “Energinya ... sudah tidak keluar lagi.”

“Hah?!” Seketika Asubasita berdiri dan mendekati Bendrat. “Alatmu rusak!”

“Tidak, Bos,” Bendrat membela diri. “Benar-benar sudah tak ada lagi energi yang keluar dari lubang ini.”

“Aku tak mau tahu!” Suara Asubasita menggelegar bagaikan guntur. “Cari sumber lain! Sampai ketemu!”

“Baik. Baik, Bos.” Bendrat segera terbirit-birit menjauh dari Asubasita.

Ia kemudian mencoba mendeteksi keberadaan energi di sekitar lembah itu. Tapi nihil. Tak ada sedikit pun energi yang terpancar. Bahkan, ketika ia mencoba keluar dari lembah, ia merasa seperti menabrak dinding masif yang tak kasat mata. Dicobanya untuk melakukan hal yang sama di tempat lain. Ia tetap tak bisa menerobos ’dinding’ itu.

Seketika ia dilanda rasa panik. Tetap dengan gerakan sama, terbirit-birit, ia kembali kepada Asubasita. Raungan yang kerasnya seribu kali lipat raungan Bendrat tadi seketika menggema ke seluruh pelosok lembah. Raungan kemarahan tak terhingga.

Rupanya Primates sudah mengetahui keberadaan mereka. Sialnya, mereka sama sekali tidak tahu di mana para Primates itu sekarang berada.

“Ada berapa energi yang tersisa?” dengan mata merah menyala, Asubasita menatap Bendrat.

“Sss ... sssekitar ... lll ... lllima ... ppp ... pppuluh ... pppersen saja ..., Bbboos,” jawab Bendrat dengan gemetar.

Tangan kanan Asubasita menggebrak batu besar yang ada di sebelahnya. Seketika batu itu hancur berantakan. Menimbulkan suara ledakan yang cukup dahsyat. Mengepulkan asap bercampur debu.

“Kita berangkat! SEKARANG!!!”

Demi mendengar raungan itu, kaum Maleus pengikut Asubasita segera terbirit-birit lari ke pesawat masing-masing. Bersiap menunggu komando selanjutnya untuk meninggalkan tempat itu.

Tapi ....

Pesawat mereka menunjukkan tanda-tanda mogok. Mesinnya susah sekali untuk dihidupkan. Kembali Asubasita meraung sekeras-kerasnya. Seketika, para anak buahnya pun dilanda resah karena mencium aroma bahaya kemarahan sang bos.

* * *

Di depan sebuah layar monitor berdiagonal lima puluh inci yang terhubung dengan sebuah periskop, Bonemine tertawa. Layar monitor menunjukkan kejadian di lembah. Rencananya berhasil.

Anak buahnya sudah menutup lubang energi dari dalam. Dengan tangannya sendiri, ia kemudian membentuk tembok masif tak kasat mata di sekeliling lembah. Tembok itu berbentuk cerobong yang sangat tinggi. Setidaknya kaum Maleus sedikit terhambat geraknya.

Ia kemudian menoleh kepada makhluk yang duduk di sebelah kirinya, sedang menghadap layar monitor yang sama.

“Kirim kabar kepada Gerose,” perintahnya. “Kita tak bisa terlalu lama menahan makhluk iblis ini. Mereka kuat sekali!”

“Baik, Masterina,” yang diberi perintah segera mengangguk patuh dan menyelesaikan perintah sang pemimpin.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)