Sabtu, 01 Desember 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #4-3









Sebelumnya



* * *



Pingkan hanya sanggup menatap Mai dengan jutaan rasa berkecamuk dalam benaknya. Mai adalah menantu Amey. Mereka bertemu ketika Amey mengajak Pingkan untuk sejenak melongok ke kelas merangkai perhiasan yang diasuh Mai, yang jam belajarnya baru saja berakhir.

Amey kemudian meninggalkan Pingkan untuk mengobrol dengan Mai. Perempuan berusia awal tiga puluhan itu sangat manis dan ramah. Ia adalah ibu Qiqi, remaja cantik berlengan satu yang tadi juga diperkenalkan Amey kepadanya.

“Kelihatannya asyik banget bisa merangkai aneka batuan dan manik-manik jadi perhiasan, ya, Kak?” gumam Pingkan, penuh minat, ketika melihat kotak-kotak berisi aneka batuan, manik-manik warna-warni, dan berbagai aksesori pelengkap lainnya di atas meja yang dihadapi Mai.

“Mau belajar?” mata Mai tampak berbinar ketika menawarkan hal itu.

“Mau banget!” seru Pingkan dengan antusias.

Sejenak kemudian keduanya sudah asyik mengulik berbagai bahan dan alat di atas meja. Dengan sabar, Mai menjelaskan pemakaian bahan dan alat, dengan praktiknya sekaligus. Tampaknya mudah. Tapi ketika Pingkan mencobanya, tawanya langsung berderai. Karena kawat yang ia coba melengkungannya dengan sebuah tang berujung lancip malah berbentuk jadi tak keruan.

“Susah juga ternyata, ya, Kak,” gumam Pingkan sambil terus mencoba.

”Kalau banyak berlatih, pasti bisa,” Mai menanggapi sambil tersenyum.

“Wah, bisa boros bahan kalau begini.”

“Tenang saja, di gudangku masih banyak.”

Pingkan seketika mengangkat wajahnya. Menatap dengan sorot mata bertanya. Mai pun memahami arti tatapan Pingkan dan segera menjelaskannya.

“Aku punya usaha olshop, jual aneka aksesori,” Mai tak meninggalkan senyumnya. Sama sekali tak ada nada sombong dalam suaranya. “Sebagian aku impor, sebagian lagi aku buat sendiri. Awalnya dulu juga murni hasil buatan sendiri. Lama-lama berkembang. Aku menjalin kerjasama dengan pemasok dari Korea dan Jepang. Aku dulu juga belajarnya di sini, kok. Karena butuh uang untuk membesarkan Qiqi, makanya aku nekad buka usaha, walaupun orang tuaku mampu menanggung kehidupanku dan Qiqi.”

Pingkan masih terdiam. Mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

“Aku dulu juga sempat tinggal di sini selama beberapa bulan,” lanjut Mai. “Sampai orang tuaku ikut pindah ke sini. Kami aslinya dari Surabaya.”

Kemudian Mai juga berkisah bagaimana ia pernah sekali ‘terpeleset’ dan akhirnya hamil di luar nikah, lalu ditolak oleh sang pacar yang sudah mendapat ‘kenikmatan’ itu. Suatu hal yang sama sekali tak diinginkannya. Suatu hal yang menyebabkan ia pernah ‘terdampar’ di sini.

Ia pun bercerita bagaimana ia pernah menenggak racun serangga sebagai upaya bunuh diri. Bagaimana ia tetap diberi kehidupan dan ‘dilarikan’ keluar dari Surabaya. Bagaimana ia kemudian mengasuh, dan membesarkan Qiqi. Pada awalnya sebagai penebusan rasa bersalah karena Qiqi terlahir dalam kondisi fisik kurang sempurna, tapi kemudian menyadari bahwa ia melakukan itu karena cinta terhadap sang putri. Pun, bagaimana ia kemudian menemukan kebahagiaan yang lebih banyak lagi dengan menjadi satu-satunya menantu Amey.

Cerita itu sempat terhenti sejenak ketika seseorang melongok dari balik dinding, melalui pintu yang terbuka lebar. Pingkan dan Mai sama-sama menoleh. Seorang laki-laki tampan berkacamata dan bertubuh tinggi tegap berusia empat puluhan menatap mereka.

“Masih lama?” tanya laki-laki itu.

“Lho, kan, aku sudah bilang nggak ikut,” jawab Mai.

“Oh, kirain tadi bercanda ngomong kayak gitu,” laki-laki itu meringis lucu.

“Ish!” Mai mengibaskan tangan kanannya sembari tertawa.

Mai kemudian memperkenalkan laki-laki itu kepada Pingkan. Suaminya, bernama Grandy. Laki-laki ramah itu menjabat tangan Pingkan dengan hangat. Sejenak kemudian ia minta diri. Hendak keluar dengan anak-anaknya.

“Kok, nggak ikut, Kak?” iseng Pingkan bertanya sepeninggal Grandy.

“Hahaha ...,” Mai seketika tergelak. “Biarin dia ribet sendiri dengan anak-anak. Sesekalilah aku me time begini.”

“Qiqi punya adik?”

“Ada,” Mai mengangguk. “Satu, cowok, belum genap tiga tahun umurnya.”

“Jauh juga jarak umurnya dengan Qiqi, ya?”

“Iya,” Mai kembali mengangguk. “Aku nikah juga belum lama, kok. Baru masuk tahun keempat. Itu juga karena Bang Grandy sabar banget tunggu sampai aku bilang ‘iya’.” Mai tergelak lagi. “Dia sudah kenal Qiqi dari bayi. Sayang banget sama Qiqi. Sudah tahu sejarahku bagaimana. Tapi dia tetap mau terima. Kupikir, nggak banyak laki-laki kayak gitu. Langka.”

Seketika pikiran Pingkan melayang pada sosok seorang Maxi. Apakah Maxi masuk golongan cowok langka seperti itu? Ia mendegut ludah. Sungguh, ia tak berani berspekulasi.

“Ngomong-ngomong, kamu bisa menguasai persalonan, menjahit, merajut begitu, belajarnya dari mana?”

Pingkan kembali menatap Mai. Lama. Tapi beberapa menit kemudian, tanpa ia bisa mengendalikan lagi, pertahanannya bobol. Ada sesuatu dalam diri Mai yang membuatnya merasa bisa memercayakan secuil kisah dan sejarah kelam halaman hidupnya. Tak ada lagi yang ia tutupi. Berharap dengan begitu ia bisa sedikit saja mengurangi beban yang hingga saat ini masih tersandang di bahunya. Pun, ia bercerita tentang Maxi.

Ketika cerita Pingkan berakhir, Mai segera memeluknya erat. Berbisik, “Keke, kamu sama sekali nggak bersalah. Kamu berhak meraih bahagia. Jangan pernah sia-siakan kesempatan yang sudah ada dalam genggaman. Tapi jujurlah kepadanya. Jangan mengawali segala sesuatu dengan kebohongan.”

Pingkan hanya bisa mengangguk-angguk. Tak sanggup berkata apa-apa. Belum juga mampu memutuskan apa-apa.

* * *

Maxi selalu menyukai kesempatan untuk punya waktu pribadi dengan ayahnya. Waktu yang membuatnya bebas bicara dengan sesama laki-laki. Punya dua orang saudara perempuan membuatnya merasa jadi ‘lebih laki-laki’. Tapi ia tetap membutuhkan dukungan dari sosok berkepribadian kuat yang dipanggilnya ‘papa’. Ia sungguh bersyukur karena Prima mengajaknya keluar berdua saja dengan alasan membeli baju dan sepatu untuk keperluan tes kerja.

Dengan santai, ia mengemudikan city car berwarna silver milik ayahnya. Berbagai percakapan ringan mengudara sepanjang perjalanan dari rumah hingga ke Kota Kasablanka. Pada kesempatan itu, Prima menyisipkan berbagai pesan dan tips yang terdengar ringan di telinga. Tak pernah terkesan menggurui. Suatu hal yang selalu dinantikan dengan penuh penghargaan baik oleh Maxi maupun kakak dan adiknya.

“Ngomong-ngomong, lama juga, ya, nggak lihat Keke main ke rumah?” celetuk Prima tiba-tiba, pada suatu detik.

Seketika Maxi seperti dilanda deja vu. Belum lama berselang, ibunya pun melontarkan pertanyaan yang berinti sama. Tanpa sadar, Maxi mendesah.

“Kamu lagi berantem sama dia?” Prima mengerutkan kening.

“Enggak,” Maxi menggeleng sambil tetap berusaha konsentrasi dengan kemudinya. “Boro-boro berantem, baru juga aku ‘tembak’, dia langsung hilang.”

“Hah? Kok, bisa gitu?”

“Sebenarnya, sih, aku juga nggak bertepuk sebelah tangan, Pa,” Maxi menoleh sekilas. “Setidaknya, Donner juga bilang gitu. Hatiku juga berpendapat sama. Awalnya memang aku nggak paham kenapa dia langsung menarik diri. Tapi akhirnya aku tahu. Donner cerita banyak. Dan aku ...,” Maxi mengedikkan bahunya, “sementara ini belum tahu harus gimana.”

“Memangnya Keke kenapa?”

Perlu waktu sekian menit sebelum Maxi memutuskan sesuatu.

“Nanti habis belanja, aku ceritain, Pa.”

Dan, Maxi menuntaskan janjinya kepada sang ayah saat keduanya menikmati makan siang bersama. Dengan suara rendah berbalut kesedihan yang sangat, diceritakannya nyaris persis seperti yang pernah diungkapkan Donner. Tanpa sedikit pun mengurangi dan menambah. Membuat sang ayah tertegun dan menatapnya lama.

* * *

Saat itu, ketika Pingkan baru saja beberapa hari sebelumnya menyelesaikan seluruh proses ujian akhir SMA, Sonia menerima sekardus besar kiriman makanan dari ibu mertuanya yang tinggal di Minahasa. Sang ibu mertua berpesan agar kiriman itu dibagi dua, sebagian untuk Michelle, adik Harvey. Sonia segera memanggil Pingkan untuk mengantarkan setengah kiriman berupa aneka makanan ringan khas Minahasa itu ke rumah Michelle.

Pingkan naik taksi ke sana, karena mereka sudah tidak tinggal lagi di kompleks yang sama. Begitu ia menginjakkan kaki ke rumah Michelle, hujan turun dengan sangat deras. Hanya ada Donner di rumah. Pasangan Michelle dan Sam sedang pergi ke luar kota. Begitu pula Derby, abang Donner. Tak jelas sedang berada di mana.

Hingga menjelang malam, hujan tak kunjung reda. Pingkan pun malas untuk pulang. Ia kemudian memutuskan untuk menginap dan segera menelepon untuk memberitahu ibunya. Sonia segera menyetujui, karena selama ini Pingkan selalu aman bersama Donner.

Pingkan dan Donner kemudian memuaskan diri mengobrol di teras belakang, sambil menikmati alunan suara tetes-tetes hujan yang mengguyur bumi. Dilanjutkan dengan menonton film horor dari DVD. Setelah film itu selesai setelah lewat tengah malam, Pingkan pun tidur di kamar Donner, sementara pemilik kamar mengungsi ke kamar lain.

Menjelang dini hari, peristiwa yang tak diinginkan itu terjadilah. Pingkan di-rudapaksa di bawah ancaman senjata tajam oleh Derby. Ketika Donner bermaksud membangunkan Pingkan pagi harinya, ditemukannya sang sepupu langsung histeris begitu melihatnya.

Donner yang kebingungan segera menelepon paman dan bibinya. Harvey dan Sonia datang beberapa belas menit kemudian. Sama bingungnya dengan Donner ketika melihat kondisi Pingkan.

Pingkan nyaris tak bisa diajak bicara. Hanya bisa menangis dan berteriak ketakutan bergantian. Nyaris Sonia mengira putri kesayangannya kesurupan. Tapi rasa-rasanya bukan juga. Hanya ia yang bisa menyentuh Pingkan. Bahkan gadis itu berontak ketika ayahnya berusaha untuk memeluk dan menenangkan.

Tengah heboh dengan Pingkan, dua orang polisi datang ke rumah itu. Berita yang mereka bawa tak kalah mengejutkan. Derby ditemukan tewas di daerah pinggiran Depok pagi-pagi tadi. Tampaknya menjadi korban tabrak lari. Ia ditemukan tertelungkup di sebuah selokan dengan motor besarnya lumayan remuk tak jauh dari posisinya. Entah sebesar apa kendaraan yang menerjangnya.

Perlu seorang psikiater untuk menuntun Pingkan keluar dari kondisi histerisnya. Apalagi Pingkan ada usaha untuk menyakiti diri sendiri. Hingga perlu ditenangkan dan ditangani oleh tenaga medis. Baru beberapa minggu kemudian cerita itu terungkap. Itu pun pelan-pelan sekali sang psikiater mencoba untuk mengorek keterangan dari Pingkan.

Sonia shock. Harvey mengamuk. Begitu juga Nicholas dan Andries, kedua abang Pingkan. Mereka sempat menggeruduk rumah Sam dan Michelle yang masih dibalut duka karena kehilangan si sulung Derby. Donner tak luput jadi sasaran kemarahan karena dianggap lalai menjaga Pingkan.

Perlu waktu tiga tahun bagi Pingkan untuk memulihkan diri. Ia tak langsung lanjut kuliah, tapi mengisi waktunya dengan mengikuti berbagai kursus dengan pendampingan ketat dari Sonia. Perlu waktu tiga tahun pula untuk memulihkan hubungan baik antara keluarga Harvey dengan keluarga Michelle. Michelle sekeluarga menjauh dengan pindah ke Bogor hingga detik ini. Sementara itu, Donner tetap tinggal di Jakarta karena sudah mulai masuk kuliah. Ia memilih indekos, sehingga rumah yang menyimpan sejarah kelam itu pun dijual karena tak ada yang menempati.

Pingkan mulai pulih, melanjutkan pendidikannya dengan kuliah di jurusan Sastra Jepang. Donner kembali boleh berada dekat-dekat dengan sang sepupu kesayangan. Bahkan Donner menjaga Pingkan baik-baik selama kuliah di kampus yang sama.

Tapi Pingkan tak pernah pulih seutuhnya. Ia bukan lagi Pingkan yang ceria dan tanpa beban seperti dulu. Bukan lagi pecinta fanatik derai hujan. Bahkan ia kini sangat membenci hujan. Masih menganggap dirinya sampah tanpa tahu bagaimana bisa keluar dari genangan perasaan itu. Lebih sering diam dan menutup diri. Entah kapan kondisi itu bisa berakhir.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan :
Kisah hidup Mai selengkapnya dapat diintip dalam cerbung berjudul "Potpourri di Sudut Hati" di blog ini.