Selasa, 11 Desember 2018

[Cerbung] Portal Triangulum #9-2









Sebelumnya



* * *


Semua kepala menoleh ketika pintu ruang rapat membuka tiba-tiba. Seolah dilanda badai. Mereka menatap dengan sorot mata ‘terganggu’. Xavier sudah hampir meledakkan kemarahannya pada anak buah yang menjaga pintu dari luar. Tapi kemarahan itu seketika surut melihat siapa yang datang.

“Puan Azayala? Tuan Moses?” Xavier ternganga.

Sejenak Azayala mengatur napas. Usia memang tak bisa bohong. Berlari dari bungker menuju ke ruang rapat pusat pertahanan sangat menguras tenaga dan memberi beban lebih pada paru-paru dan jantungnya. Sebetulnya ada fasilitas teleporter yang menghubungkan tiap tempat di seluruh penjuru planet Gerose. Tapi untuk menghemat energi, semua fasilitas yang ‘tidak begitu penting’ tak lagi diaktifkan.

Segera Xavier menghampiri keduanya. Dengan lembut dihelanya bahu Azayala ke kursi terdekat. Moses mengikuti dari belakang. Orang yang duduk di sebelah kursi Azayala segera menyingkir. Memberikan tempatnya kepada Moses.

“Kami, lebih tepatnya Tuan Moses, menemukan cara untuk mengalahkan kaum Maleus,” ucap Azayala di tengah napasnya yang masih sedikit terputus-putus.

Xavier mengalihkan tatapannya kepada Moses. Yang ditatap mengangguk sembari meletakkan bank datanya di atas meja.

“Izinkan saya menjelaskannya, Tuan Xavier,” ucap Moses.

“Oh, silakan,” Xavier mengangguk.

“Pada saat-saat terakhir sebelum sebagian besar energi harus dipadamkan, saya sempat menerima data dari obsevatorium tempat saya bekerja.” Moses mulai menerangkan. Ia juga mengedarkan tatapan ke seluruh peserta rapat koordinasi.

“Sebetulnya sudah agak terlambat karena krisis akibat jamur Lendiris lilac yang dibawa tim penjelajah kembali ke sini sudah berlalu,” lanjutnya. “Tapi bagi saya, tak ada pengetahuan yang harus dibuang. Jadi, saya tetap menyimpannya dalam bank data saya.”

Moses menghidupkan proyeksi sehingga kini layar bank data tertera di dinding. Salah seorang anak buah Xavier meredupkan cahaya ruangan. Apa yang tertulis pada layar proyeksi, kini lebih jelas dilihat oleh semua orang dalam ruangan itu.

“Data yang saya peroleh itu mengenai pengaruh jamur Lendiris lilac terhadap organisme semesta. Dan ..., pada saat saya mentransfer data itu ke bank data milik Puan Azayala, saya menemukan fakta ini.” Moses menunjuk ke arah proyeksi di dinding.

Maleus intimides.
Spora yang masuk ke sistem respirasi Maleus intimides menyebabkan inflamasi akut dengan tingkat keparahan maksimum. Inflamasi terjadi seketika. Mengakibatkan pembengkakan dan kelumpuhan seluruh sistem respirasi. Dalam hitungan detik, Maleus intimides akan mengalami gagal napas. Kerja jantung akan ikut berhenti. Begitu pula batang otak akan segera mati.

“Sayangnya,” Moses mendegut ludah, “kita semua yang ada di sini bisa ikut terpapar spora Lendiris lilac kalau memaksa diri memakainya sebagai senjata.”

Seketika bagai ada dengung lebah di seantero ruangan.

“Tidak, kalau kita semua memakai masker gas,” tukas Azayala.

Semua mata kini tertuju padanya.

“Masalahnya,” gumam Astrodi, “kita punya berapa stok masker gas untuk melindungi seluruh Gerose?”

Hening. Azayala menggigit bibir. Selama ini masker gas memang hanya tersedia dalam jumlah terbatas di laboratorium. Tak cukup bila harus dibagikan pada mereka semua, baik yang di atas maupun di bungker.

Jalan buntu. Tapi Salindri menatap bank data Moses yang tergeletak di meja, dengan posisi di seberangnya. Perasaannya mengatakan bahwa masih ada informasi yang berharga di sana. Ia kemudian bangkit dan melangkah memutari meja. Sampai di dekat Moses, ia menyentuh kotak gulir pada bank data Moses. Proyeksi data di dinsing pun berganti.

Mametia rodenticae.
Tidak ada pengaruh berarti bila terpapar spora ataupun mukus. Hanya reaksi alergi ringan berupa urtikaria, ataupun timbulnya sedikit mukus pada saluran respirasi. Gejala akan menghilang dengan pemberian formula antihistamin.

Manola luciris.
Sama sekali tidak ada pengaruh apa-apa.

“Nah!” Salindri menepukkan kedua telapak tangannya. “Masalah selesai!” Ditatapnya Ratu Amarilya. “Tak perlu sihir dan strategi ruwet untuk mengalahkan musuh bersama kita, Ratu Amarilya. Anda Manola luciris, kan? Tinggal melemparkan jamur itu ke arah mereka, dan masalah kita selesai. Saya harap, tak ada lagi belas kasihan. Sebagian semesta sudah dibuat repot dengan ulah Maleus.”

Wajah Ratu Amarilya seketika terlihat cerah.

“Kalau perlu, saya sendiri yang akan melemparkan jamur itu ke arah mereka!” serunya, penuh semangat.

“Masalahnya...,” wajah Xavier terlihat murung, “... kami sudah memusnahkan seluruh spesimen jamur itu bersamaan dengan sterilisasi laboratorium Profesor Azayala. Bahkan, laboratorium baru pun kami belum sempat membangunnya.”

Seketika, ruangan kembali hening.

Sementara itu, Azayala berpikir keras. Saat ini ia benar-benar berada dalam kondisi maju kena – mundur kena. Berterus terang, mungkin bisa menyelamatkan mereka semua di Gerose. Menyembunyikan ‘hal penting’ itu, kariernyalah yang bisa diselamatkan.

Tapi apa gunanya karierku selamat kalau seluruh Gerose musnah?

Azayala mengerjapkan mata. Sejenak, ia berdehem. Ditatapnya Xavier.

“Mm ..., Tuan Xavier..., seandainya ... spesimen itu ... masih ada ..., apakah ...,” Azayala mendegut ludah. “... Apakah ... saya ... tidak dianggap ... desersi?”

Perlu waktu sekian detik bagi Xavier untuk mencerna makna ucapan Azayala. Sebagai kepala keamanan Gerose, ia memang memberi perintah keras dan segera agar seluruh spesimen jamur Lendiris lilac dimusnahkan. Melawan perintah yang dikeluarkannya demi keamanan seluruh Gerose, itu artinya tindakan yang setara desersi. Hukuman terberatnya adalah penjara seumur hidup.

Tapi ...

Xavier masih menatap Azayala. Di matanya, perempuan berusia lanjut itu sama sekali tak memiliki tampang tengik seorang desertir. Azayala justru seorang ilmuwan terkemuka yang berjasa sangat besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan di Gerose. Jangan ditanyakan lagi dedikasinya. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan Azayala untuk melupakan kepahitan hidup berkeluarga yang pernah dialaminya adalah dengan bekerja nyaris sepanjang waktu di laboratorium.

“Puan ...,” ucapnya kemudian. Lembut. Disertai seulas senyum teduh. “Tak akan pernah ada yang menganggap Anda sebagai desertir. Bila strategi terbaru kita ini berhasil, maka pahlawannya adalah Anda. Jadi, apakah benar spesimen itu masih ada?”

“Ya!” semangat Azayala seolah terpompa kembali ke titik maksimum. “Di sini!”

Nyaris seisi ruangan segera bersemburat lari ke arah pintu keluar ketika Azayala menarik kalungnya, dan menunjukkan liontin berbentuk kotak kaca bening yang tergantung pada rantai kalung itu. Liontin yang selama ini tersembunyi di balik bajunya. Ada benda berwarna ungu berpendar di dalam liontin itu.

“Bu! Kenapa selalu membahayakan diri sendiri dan semua orang?” Gematri tak tahan untuk tidak berkata dengan suara keras seperti itu.

Azayala terlihat sedikit mengkeret. Ia tertunduk. Wajahnya tampak muram. Moses mendesis.

“Tuan Gematri!” dengan garang ditatapnya laki-laki itu. “Jangan pernah bicara seperti itu terhadap ibu Anda!”

“Tidak apa-apa,” sergah Azayala, meraih tangan Moses. “Selama ini aku memang terlalu impulsif. Bukan salah Gematri. Percayalah.”

Moses mengangguk, walaupun dengan wajah menyiratkan ketidakpuasan.

“Kalau saya boleh tahu, liontin penyimpan spesimen Anda berasal dari mana, Puan?” tanyanya, dengan suara lembut.

“Oh, ini buatan Basikova,” Azayala menunduk, memperhatikan liontinnya. “Kristal bermutu premium. Seandainya bukan buatan Basikova, aku tak akan berani mengisolasi sedikit spesimen Lendiris lilac ini di dalamnya.”

Moses mengangguk lagi. Ia tahu mutu kristal penyimpan spesimen buatan planet Basikova. Kemudian, ditatapnya Xavier.

“Kita aman,” ujarnya.

Membuat Xavier memanggil kembali para peserta rapat koordinasi untuk berdiskusi selanjutnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)