Rabu, 30 Januari 2019

[Cerpen] Simbah Wuyung







Iwuk terhenyak.

Lagi-lagi...

Melihat ekspresi Iwuk, kejengkelan yang tergambar nyata di wajah Banyu pun surut seketika. Dihelanya napas panjang.

“Bukan salahmu, sih, Wuk,” gumamnya. “Sama sekali bukan salahmu. Maafkan aku, sudah kebablasan.”

Tapi Iwuk memahami seutuhnya kemarahan Banyu yang sempat berlompatan di udara baru saja. Kalau ia jadi Banyu, pastilah merasakan hal yang sama. Mendengar penuturan Banyu saja sudah membuatnya kesal setengah mati!

Huh! Lagi-lagi Pakde[1] Rebo!

Iwuk menepuk meja keras-keras.

* * *

Yang disebutnya sebagai Pakde Rebo adalah abang sulung ibunya. Dari muda memang sudah tergolong jadi biang kerok karena sifat keras kepala dan selalu mau menang sendiri yang ia miliki. Menjadi sulung dari tiga bersaudara tampaknya tak membuat Pakde Rebo jadi dewasa.

Iwuk masih ingat cerita Ibu. Dulu, rencana pernikahan Ibu dan Bapak hampir saja kacau karena Pakde Rebo yang masih lajang dan belum punya kekasih itu menolak untuk dilangkahi. Padahal usia Pakde dengan Ibu cukup jauh. Hampir enam tahun. Saat itu usia Pakde sudah dua puluh sembilan. Ibu yang sudah mantap untuk membangun mahligai perkawinan bersama Bapak pun memutuskan untuk menikah. Apalagi Ibu sudah selesai kuliah dan sudah bekerja sebagai guru, dan Bapak – yang usianya setahun lebih muda daripada Pakde – sudah memiliki karier cukup bagus di sebuah perusahaan penerbitan dan percetakan besar.

Pakde yang bolak-balik bubaran dengan pacarnya tampak cukup frustrasi melihat betapa mulus hubungan Ibu dengan Bapak. Tentu saja! Bapak orangnya pengertian dan sangat menghargai Ibu, dan Ibu sendiri adalah orang yang sangat sabar. Sedangkan Pakde? Mana ada perempuan cerdas yang rela diremehkan dan selalu dianggap kelas dua oleh Pakde yang dosen di sebuah universitas ternama itu? Atas nama cinta sekalipun! Tak heran hubungan asmaranya selalu kandas.

Tapi (Eyang) Kakung menggunakan hak vetonya sebagai seorang ayah untuk memuluskan jalan Bapak meminang satu-satunya putri Kakung dan Uti. Pernikahan tetap digelar seperti yang sudah direncanakan. Pakde Rebo sendiri mengkeret di bawah ancaman Kakung. Pakde hendak dicoret dari daftar ahli waris kalau masih banyak bertingkah.

Pakde akhirnya mendapat jodoh juga pada usia tiga puluh tujuh tahun. Membuatnya batal dilangkahi pula oleh Om Kusuma, si bungsu Kakung dan Uti. Saat itu Om Kusuma sudah berusia hampir dua puluh delapan. Sudah mantap meneruskan usaha Kakung dan Uti sebagai juragan beras dan palawija, dan sudah punya kekasih yang serius pula. Om Kusuma baru menikah setahun setelah acara pernikahan Pakde Rebo dan Bude Kinan dilangsungkan.

Untuk sementara, kehidupan rumah tangga masing-masing anak Kakung dan Uti berjalan dengan tenang. Tapi Iwuk mendengar pula selentingan bahwa pernikahan Pakde Rebo dan Bude Kinan tidak bahagia. Lebih tepatnya, Bude yang tidak bahagia dengan pernikahan itu. Pakde Rebo tetaplah Pakde Rebo yang selalu angkuh dan merasa benar sendiri di segala ruang dan cuaca. Apalagi belakangan Pakde Rebo memilih untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai dosen karena sering bergesekan dengan kolega-koleganya.

Otomatis beban ekonomi jatuh pada Bude Kinan yang diserahi untuk mengelola salah satu gerai hasil bumi yang jaringannya dikembangkan oleh Om Kusuma. Gerai itu maju pesat. Tak sebanding dengan tenaga Bude yang terus berkurang karena digerogoti penyakit lambung.

Banyu yang seorang dokter itu pernah kasak-kusuk dengan Iwuk, bahwa stress bisa jadi penyebab utama penyakit Bude Kinan. Apalagi selepas tak berkarier lagi, Pakde Rebo benar-benar menikmati hidup dengan caranya sendiri. Maunya ungkang-ungkang kaki tapi apa-apa harus beres, selalu minta makan enak, menclok sana – menclok sini cari hiburan, banyak tuntutan harus ini-itu terhadap Bude. Sementara Bude pontang-panting berusaha menutup semua kebutuhan hidup mereka. Ditambah lagi kedua anak mereka yang berjarak usia hanya setahun sama-sama kuliah di luar kota. Harus ada biaya ekstra untuk bayar indekos, makan, transportasi, dan sebagainya.

Dan, pada akhirnya pertahanan Bude Kinan runtuh. Hanya dua minggu sakit berat sampai harus dirawat di ICU, Bude berpulang. Tepat sebulan setelah anak sulung mereka diwisuda. Itu empat tahun yang lalu.

Iwuk sempat mendengar gerundelan Ibu. Ucapan kelepasan yang timbul karena kejengkelannya terhadap Pakde, yang betul-betul tampak kurang memperhatikan kondisi fisik dan mental istrinya sendiri.

“Kok, ya, budemu yang kapundhut[2] duluan. Bukan pakdemu yang koplak itu.”

Saat mendengarnya, Iwuk bahkan tak tahu harus menangis ataukah tertawa. Terdengar lucu di telinga, tapi makna di baliknya begitu dalam.

* * *

Dan, sekarang?

Iwuk mengembuskan napasnya untuk melepaskan kejengkelan. Rumah sudah sepi. Banyu sudah berangkat ke tempat prakteknya. Anak-anak yang sudah beranjak remaja belum pulang dari kegiatan ekskul. Membuatnya merenungkan ulah Pakde yang kali ini sudah keterlaluan.

Setahun setelah wafatnya Bude, Pakde memutuskan untuk meninggalkan rumah dan kembali ke sini. Ke kota kelahirannya. Dengan uang simpanan yang ditinggalkan Bude, membeli rumah tak jauh dari tempat Iwuk dan Banyu tinggal. Masih dalam kompleks yang sama. Bahkan blok yang sama walaupun berbeda jalan. Keluarga Iwuk dan Banyu di blok G-2, Pakde Rebo di blok G-11

Hadirnya Pakde tak jauh darinya memberi beban tersendiri pada Iwuk. Apalagi kalau ‘ada apa-apa’ Pakde selalu lari padanya. Akhirnya membuat hampir seisi kompleks tahu bahwa Mbah[3] Rebo adalah paman Iwuk. Ya, kalau Pakde Rebo adalah seorang pakde atau simbah[4] yang manis. Tapi nyatanya?

Baru Rabu lalu Winka, gadis remaja sulungnya, protes keras karena menganggap ‘Mbah’ Rebo mengganggu acara rujakan plus ngerumpi­-nya bareng para sahabat. Pakde Rebo nimbrung tanpa rikuh.

“Aku malu sama temen-temen, Ma! Mbah Rebo mana genit banget! Jijik!” Winka mengadu dengan mata mengaca dan wajah memerah. Terlihat setengah mati menahan kejengkelannya.

Dan, penuturan Banyu baru saja... Iwuk menggeram dalam hati.

* * *

Di kompleks yang sama dengan tempat mereka bermukim, tinggal pula Om Tulus, paman Banyu. Om Tulus adalah adik bungsu ibu Banyu. Anak ketujuh dari tujuh bersaudara, di mana ibu Banyu adalah putri sulung. Usia Om Tulus hanya dua tahun lebih tua daripada Banyu. Bahkan istrinya, Tante Yossie, sebaya dengan Iwuk.

Dari awal, hubungan antara paman dan keponakan itu sudah akrab. Bahkan pernikahan mereka hanya terpaut beda hitungan bulan saja jaraknya. Membeli rumah pun dilakukan secara bersamaan di kompleks yang sama, hanya beda blok. Tulus dan Yossie ada di blok A.

Yossie yang punya usaha katering itu sering muncul tiba-tiba di rumah Iwuk. Mengirim sendiri makanan dalam rantang besar untuk dinikmati Iwuk sekeluarga. Dari kunjungan itu, ada saat Yossie bertemu dengan Pakde Rebo yang juga datang ‘menengok’ keponakannya. Namanya famili ketemu famili, tentu saja Yossie menanggapinya dengan baik. Bahkan mereka berteman di facebook segala.

Tapi sayangnya, Pakde Rebo kelihatan gelap mata melihat kemontokan Yossie. Tak berani di dunia nyata karena mungkin Pakde Rebo yang kurus kering itu ngeper duluan melihat sosok Tulus yang tinggi besar dan seorang judoka ban hitam, Yossie dipepetnya di dunia maya.

Setiap unggahan Yossie yang kebanyakan menampilkan hasil kreasi masakannya selalu dihadiahi emot ‘super’ oleh Pakde Rebo. Plus, komentar berisi pujian setinggi langit. Pada awalnya, Yossie masih menanggapinya dengan baik. Berpikir bahwa mereka masih terhubung dekat sebagai famili. Tapi lama-lama ia risih juga.

Ketika Yossie curhat pada Iwuk, Iwuk segera menyarankan agar Yossie mengabaikan segala bentuk modus Pakde Rebo. Sesungguhnya, Iwuk malu sekali dengan tingkah laku pamannya itu. Berkali-kali ia minta maaf pada Yossie. Yossie sendiri tertawa lebar melihat betapa rikuh ekspresi wajah Iwuk. Ia paham seutuhnya bahwa Iwuk tentunya lain isi kepala dengan Pakde Rebo.

Padahal, belum lama berselang dari modusnya terhadap Yossie, Pakde Rebo sudah didamprat oleh salah seorang kenalan facebook­-nya. Perempuan muda nan ayu dan molek bernama Umari, seorang pegiat komunitas senam sehat di mana Pakde Rebo menjadi anggotanya pula. Pasalnya, Pakde Rebo kedapatan ‘mencuri’ foto-foto yang diunggah Umari.

Dalam foto kopdar penggiat senam sehat itu, ada juga sosok Pakde Rebo terekam di dalamnya. Foto-foto itu diunggah Pakde Rebo di halaman facebook-nya sendiri. Tentu saja sama sekali tanpa izin dari Umari. Parahnya, ada beberapa komentar nakal dari teman Pakde lainnya. Isinya menjurus ke arah hubungan istimewa antara Pakde dengan Umari. Tak sehuruf pun Pakde membantahnya. Pakde justru tertawa-tawa seolah membenarkan komentar teman-temannya.

Umari mengetahui hal itu. Marah tak terhingga kepada Pakde yang sudah sedemikian tak beretika mencuri foto pribadinya. Umari merasa dilecehkan. Selesai melabrak Pakde, ia pun memblokir akun Pakde Rebo.

Selesai dengan Umari, rupanya Pakde belum kapok. Ia mengubah arah bidiknya ke titik lain. Kali ini tak jauh dari lingkungan keluarga dekat sendiri, yaitu adik iparnya. Namanya Lani, adik almarhum Bude Kinan. Lani sendiri belum juga setahun ditinggal wafat suaminya.

Lani tidak mau, tapi Pakde mengejar terus. Hingga akhirnya keluarga besar almarhum Bude Kinan memanggilnya. Menyidangnya tanpa ampun. Ibu Iwuk tak terkira malunya. Selesai disidang keluarga besar almarhum Bude Kinan, ibu Iwuk pun mendamprat abang sulungnya itu habis-habisan.

Sudah kapokkah Pakde Rebo? Iwuk mencibir. Buktinya?

“Pakde Rebo itu sudah bener-bener keterlaluan!” suara penuh emosi Banyu seolah menggelegar kembali di telinga Iwuk. “Tante Yossie mengunggah foto Tian dan Inna waktu masih balita dan bayi di halaman facebook-nya, masa Pakde Rebo malah membalas dengan nggak senonoh?! Mau senonoh gimana coba, wong dia tahu-tahu pasang foto diri setengah telanjang di kolom komentar status Tante Yosie! Foto di tepi water boom! Shocked tahu, nggak, Tante Yossie!”

Dan, bukan hanya Yossie saja yang syok. Iwuk lebih lagi. Apalagi ketika Banyu menunjukkan padanya tangkapan layar melalui ponsel yang sempat diambil Yossie. Di bawah foto itu, ada komentar pedas dari seorang emak-emak lain yang menyoroti tindakan kebablasan dan tak sopan Pakde Rebo. Komentar yang membuat Pakde menurunkan fotonya dari lapak Yossie.

Kalau aku yang mengalami itu, sudah pasti kuanggap sebagai pelecehan, pikir Iwuk geram.

Penuturan Banyu kemudian, Yossie memang belum memberitahu suaminya soal ini. Ia lebih dulu menyasar Banyu yang beristrikan keponakan Pakde Rebo. Bukan mengadu, hanya memberitahukan bahwa ulah Pakde Rebo kali ini sudah di luar batas kesopanan.

“Kali ini terjadi padaku, Dik Banyu,” begitu ujar Yossie. “Masih terhitung kerabat sendiri walaupun sama sekali tak ada hubungan darah. Tapi bisa saja bablas terjadi terhadap orang lain. Kasihan Dik Iwuk. Dia pasti malu banget.”

Benar! Iwuk malu. Malu sekali. Sekaligus marah. Harus ada yang menegur Pakde. Kakung dan Uti sebagai orang tua Pakde sudah lama tiada. Satu-satunya jalan cuma...

Iwuk menimang ponsel di tangannya. Hampir menangis ia kemudian mengadu kepada Ibu. Melaporkan segala ulah Pakde yang sudah membuatnya malu.

* * *

”Simbah Rebo kenapa lagi, Ma?” bisik Winka yang baru saja pulang dari sekolah.

“Sst....” Iwuk meletakkan telunjuknya di depan bibir. Ia kemudian mengajak Winka ke lantai atas.

Di lantai bawah, di ruang tengah, Wulan – ibu Iwuk – dan Kusuma menyidang abang sulung mereka. Dengan berapi-api penuh emosi, Wulan menumpahkan kemarahannya kepada Pakde. Berkali-kali ia harus ditenangkan oleh Kusuma. Walau sayup, Iwuk masih bisa mendengar gelegar suara ibunya.

Wuyung[5], ya, wuyung! Tapi nggak begitu caranya! Bikin malu keluarga saja! Kalau aku atau Kus yang ketiban pulung Mas bikin malu, sudah biasa! Tapi ini Pertiwi dan Winka yang sudah Mas bikin malu! Anak dan cucuku sendiri! Aku juga malu sama Banyu! Malu banget! Nggak terima aku, Mas! NGGAK TERIMA! Kalau aku jadi Pertiwi, sudah tak’pecat[6] njenengan[7] sebagai pakde. Nggak punya pakde kayak njenengan gak pathek’en[8]! Sudah mbah-mbah masih juga kebanyakan tingkah! Mbok yao ingat umur! Ingat dosa! Tobat! Bukannya genit begitu! Masa tiap ketemu perempuan semlohai bawaannya mau nyosor melulu! Adanya malah perempuan gilo, jijik sama kelakuan njenengan! Nggak bakal ada respek!

Iwuk mendengar pula ibunya menyuruh Pakde Rebo untuk minta maaf kepada Yossie dan Tulus. Entah apa jawaban Pakde, yang jelas, Wulan terdengar meradang lagi. Suaranya tetap menggelegar.

“Heeeh??? Takut??? Takut sama Tulus??? Ya, memang! Bisa mampus njenengan dihajar sama Tulus! Ora maido[9]. Wong njenengan memang sudah melecehkan istrinya! Makanya, to, makanya! Kalau mau berbuat itu mikir dulu! MIKIIIRRR!!! Jangan bisanya cuma jarkoni! Iso ajar, ra iso nglakoni[10]. Ngomong sampai munthuk[11] soal yang muda harus menghormati yang tua! Sendirinya yang tua nggak bisa menempatkan diri! Ya, sekarang konsekuen, dooong! Konsekueeen!!!”

Puas sekali rasanya Iwuk mendengar ibunya mengomeli Pakde Rebo. Tapi sesungguhnya ia merasa bahwa omelan ibunya akan sia-sia belaka. Pakde Rebo adalah model orang yang tak pernah mau mendengarkan orang lain. Sak’karepe dhewe. Sak’penake udele dhewe. Alias semau gue. Seenaknya sendiri. Keras kepala. Mau menangnya sendiri. Selalu merasa dirinya benar hanya karena ia sudah berusia tinggi. Makin diingatkan makin ndablek alias bandel.

Usia boleh tua, tapi pola pikir dan kelakuan masih kayak anak TK! Iwuk mencibir dalam hati.

Omelan ibunya baru berangsur berhenti ketika terdengar suara mobil menderum masuk ke carport. Banyu pulang setelah menjemput Jodi yang harus latihan PBB seusai jam sekolah.

Iwuk dan Winka berpandangan sejenak sebelum saling melempar senyum.

“Untung Papa orangnya nggak kayak Simbah,” bisik Winka dengan nada jahil.

Iwuk terkikik. “Kalau Papa kayak simbahmu itu, barangkali Mama mati muda dari dulu-dulu.”

Ganti Winka yang terkikik.

“Makanya, cari pendamping hidup nanti yang kayak Papa, jangan model kayak simbahmu itu.” Iwuk menyelipkan sebuah pesan.

Iwuk kemudian merengkuh bahu Winka. Gadis remaja itu pun melingkarkan sebelah tangan ke belakang pinggang ibunya. Berdua mereka turun ke lantai bawah.

Selanjutnya Iwuk belum bisa meraba, apakah Pakde Rebo akan menyadari kelakuan negatifnya dan mau berubah. Melihat usia Pakde Rebo yang sudah hampir mencapai tujuh puluh tahun, tampaknya sifat seenaknya sendiri itu sudah mendarah daging.

Tapi menaruh harapan, boleh juga, kan?

* * * * *

(Terinspirasi dari kisah yang dituturkan sendiri oleh Mbak Iwuk, salah seorang kenalan saya. Matur nuwun, Mbak Iwuk...)

(Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.)

Catatan :

[1] Pakde = paman; abang dari ayah atau ibu (bude = bibi; kakak dari ayah atau ibu, bisa juga istri dari pakde. Begitupun sebaliknya.)
[2] Kapundhut = dipanggil Tuhan; meninggal dunia.
[3] Mbah = kakek/nenek; orang yang sudah tua.
[4] Simbah = (golongan) kakek-kakek/nenek-nenek.
[5] Wuyung = kasmaran.
[6] Tak’pecat = kupecat.
[7] Njenengan (dari kata ‘panjenengan’) = anda (ungkapan yang lebih halus daripada ‘kowe’ ataupun ‘sampeyan’)
[8] Gak pathek’en = tidak jadi masalah; tidak ambil pusing.
[9] Ora maido = (ungkapan yang sama artinya dengan) tidak menyalahkan / bisa dimengerti betul.
[10] Iso ajar (o)ra iso nglakoni = hanya bisa bicara atau mengajarkan, tapi tidak bisa bertindak sesuai yang diucapkan/diajarkan.
[11] Munthuk = berbusa; berbuih.