Senin, 21 Januari 2019

[Cerbung] Portal Triangulum #13-1









Sebelumnya



* * *



Tiga Belas


Apakah benar-benar seperti ini rasanya mengecap cinta?

Diam-diam pipi dan telinga Kana dijalari rasa hangat. Selama beberapa hari, sejak Gematri datang mengunjunginya secara mendadak, ia seolah-olah dikelilingi warna-warni indah semburat pelangi. Bukan itu saja. Ia juga seolah-olah berenang dalam kantong besar berisi berondong jagung yang menebarkan wangi karamel. Terkesan manis, renyah, dan lezat.

Dan, ia tersentak ketika interkom yang ada di meja besarnya berbunyi cukup nyaring. Ia segera menerima panggilan itu.

“Kanaka Kamala di sini, selamat siang,” sapanya dengan sopan dan resmi.

“Hei, Kana! Sedang sibukkah?”

Bibir Kana mengembangkan senyum ketika mendengar suara hangat bernada kebapakan dari seberang sana. Suara Orinid.

“Tidak terlalu, Prof. Ada apakah?”

“Bisa ke ruanganku sebentar? Sekarang?”

“Bisa, Prof,” tegas Kana.

Mereka mengakhiri pembicaraan antar ruang itu. Kana segera bergegas melangkah ke ruang kerja Orinid yang ada di sebelah ruang kerjanya. Dan, laki-laki ramah itu menyambut dengan sikap hangat ketika Kana muncul.

“Duduk, Na,” ujarnya seraya tangannya mengarah ke kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Kana pun mengikuti ‘perintah’ itu dengan patuh.

“Kamu tahu apa yang akan kubicarakan?” Sinar mata Orinid tampak jenaka ketika menatap staf ahlinya itu.

Sejenak Kana hening. Mencoba menyelaraskan frekuensi pikirannya dengan pikiran Orinid. Sayangnya nihil. Justru tawa profesor itulah yang kemudian menggema dalam ruangan.

“Jangan coba-coba!” Orinid menggoyangkan telunjuk kanannya, dengan masih tertawa

Kana pun ikut tertawa. Sedikit malu karena sudah tepergok bermaksud menelusuri pikiran atasannya itu.

“Oke, aku tak mau basa-basi.” Suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh Orinid seketika berubah menjadi serius. Memaksa Kana pun melakukan hal yang sama.

“Ini tentang kerjamu belakangan ini, dan masa depanmu.” Tegas sekali suara Orinid. Membuat Kana jadi merasa sedikit tegang.

Aduh! Kesalahan apa yang aku buat kali ini?

Tatapan Kana berubah jadi resah. Tapi Orinid tidak memedulikan hal itu.

“Kamu kerja berapa jam sehari?” Orinid menyipitkan matanya.

“Delapan jam, Prof. Terkadang malah lebih. Karena tanggung, saya selesaikan saja sekalian. Mm ... Bagian mana yang salah, ya, Prof?”

“Selama delapan jam itu, kamu ngapain saja?”

Kana melengak. Tentu saja bekerja! Dikiranya masak soto, apa? Tapi Kana berusaha menjawabnya dengan sabar.

“Banyak, Prof. Mulai dari melakukan penelitian dan pengamatan sendiri, menyeleksi data mentah dari staf-staf saya maupun para penjelajah, mengolahnya, menuliskan laporan dan jurnal, terkadang ikut mengolah data yang masuk dari stasiun angkasa kita.” Kana mengedikkan sedikit bahunya. Seperti itulah.”

Orinid manggut-manggut.

“Jadi ...,” Kana memberanikan diri bertanya. “Apakah jurnal atau laporan saya banyak yang tidak beres?”

“Oh, enggak!” sergah Orinid. Membuat kerut di kening Kana terlihat makin dalam. “Bukan itu. Justru karena semua pekerjaanmu terlalu beresnya agak tidak normal, maka aku ingin tahu, Na. Sebenarnya kamu ini kenapa?”

Kana terperangah. Mulutnya ternganga. Tak ada sedikit pun suara ia bisikkan.

Mengaku kalau sedang kasmaran!

Kana menggeleng samar.

Yang ada Profesor justru akan menertawakan aku selama tujuh hari tujuh malam. Parah!

“Jadi, apa yang bisa kamu bagi denganku? Anggap saja aku ini ayahmu.”

Seketika rasa hangat mengelus kembali kedua belah pipi dan daun telinga Kana. Sejenak ia menimbang-nimbang. Tapi rupanya Orinid sudah tak sabar lagi. Ia segera menyergah pikiran Kana.

“Sudahlah!” Orinid tertawa kecil sembari mengibaskan tangan kanannya di depan wajah. “Aku sudah tahu. Cinta memang bisa membawa dua kemungkinan. Seseorang menjadi tidak produktif karena terlalu banyak melamun. Atau justru sebaliknya. Menjadi terlalu produktif karena berharap dengan menyibukkan diri, maka hari akan cepat bergulir, sehingga cepat kembali bertemu dengannya pada akhir Minggu. Dan, kamu termasuk orang yang terjeblos dalam kemungkinan kedua. Apakah aku benar?”

Kana meringis. Kalah telak. Orinid yang baik hati dan ramah itu kembali tertawa.

“Aku juga pernah muda, Na,” ujarnya kemudian. “Paham betul apa yang kamu rasakan saat ini. Aku salut, kamu tetap rasional dan berada dalam jalur yang benar.”

Kana tersipu malu.

“Jadi ...,” Orinid tiba-tiba saja menjadi serius kembali. “Apakah kamu akan meninggalkan tempat ini?”

Kana tercenung sejenak. Menghela napas panjang. Beberapa detik kemudian ditatapnya Orinid.

“Saya ... mencintai juga perkerjaan saya, Prof,” jawabnya lirih, setengah menggumam. “Saya suka meneliti, saya suka menemukan hal-hal baru yang berkaitan dengan semesta raksasa tempat kita cuma serupa setitik debu di dalamnya, saya suka mengolah data-data yang saya peroleh dan menuangkannya dalam bentuk kajian ilmiah yang menarik untuk dibaca, saya ... saya menyukai semua titik dalam kehidupan saya hingga detik ini. Tak pernah bisa membayangkan akan kehilangan semua renjana ini, walaupun demi kehidupan yang jauh lebih indah sekalipun. Saya ....”

Kana kehabisan kata. Dengan sikap pasrah ia menempelkan punggungnya ke sandaran kursi. Tatapannya masih terarah kepada Orinid. Terlihat menyerah.

“Hmm ....” Ujung jemari tangan kanan Orinid bergantian mengetuk meja dengan berirama. “Jadi, sebetulnya tidak masalah seandainya kamu tidak melakukan semua pekerjaanmu itu di sini?”

“Maksud Profesor?” Kana mengerutkan kening.

“Ini masalah renjanamu, kan? Bukan lagi sekadar masalah tempat? Maksudku, kamu masih bisa melakukan semua hal yang kamu sukai itu di ... tempat lain, kan?”

Perlahan kerut pada kening Kana terurai dan menghilang. Ia terpaksa mengakui kebenaran alur pikiran tentang renjana dan tempat yang baru saja diungkapkan Orinid.

“Kupikir ..., aku tahu solusinya,” gumam Orinid.

Ucapan yang hampir tak terdengar itu membuat Kana seketika terlonjak.

“Bagaimana, Prof?” ditatapnya Orinid dengan binar-binar antusiasme berlompatan keluar dari dalam matanya.

Orinid tersenyum lebar. Wajahnya terlihat jenaka dan menyimpan rahasia. Seperti menghadapi seorang balita menggemaskan yang sedang harap-harap cemas menanti diberi sebatang permen loli.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)