Minggu, 24 Februari 2019

[Cerpen] Majalah Dinding







Senin pagi, seisi SMK Mitra Wiyata gempar. Pasalnya, ada sesuatu yang tak biasa menghiasi sudut kanan atas majalah dinding di seberang pintu lobi.

Ukuran majalah dinding dalam kotak kaca berkunci itu cukup besar. Panjangnya 2,5 meter, sedangkan lebarnya 1,5 meter. Terlihat sangat jelas dari arah pintu masuk.

Seminggu sekali isi majalah dinding berganti. Ramai pembaca saat hari Senin pagi. Isinya bermacam-macam. Cerpen, puisi, rangkuman berita sepekan, aneka artikel ringan, cuplikan iptek, dan lain sebagainya. Disajikan dengan tata letak sangat menarik. Selama ini, majalah dinding memang menjadi semacam ajang jor-joran kreativitas antar kelas.

Dan, pagi ini?

Metta terpaku ketika tatapannya jatuh pada sudut kanan atas. Ada fotonya di sana. Berukuran 5R. Close-up dengan senyum yang tampak sangat manis. Tertempel pada lukisan daun berbentuk hati.

Tak hanya itu. Ada semacam sajak pendek tertulis pada bagian bawah lukisan daun itu. Huruf-hurufnya dibuat seindah mungkin, tapi masih bisa terbaca dengan jelas.

Godhong[1] godhong waru
Tanda cintaku padamu

Seketika wajah Metta terasa hangat. Apalagi ketika beberapa teman yang mengetahuinya terselip di tengah kerumunan menyapanya dengan senyum lebar menggoda.

"Cieee.. Mettaaa... Cieee..."

Metta buru-buru meyingkir dari tempat itu. Ia berlari ke kelasnya. Mengatur napas.

Bagaimana mungkin bisa ada sisipan ngaco itu di majalah dinding? Siapa yang menyelipkannya?

Hari Sabtu lalu, kelasnyalah yang menggarap majalah dinding itu sampai sore. Sama sekali tak ada tayangan kenthir di pojok kanan atas.

Metta menggeleng bingung. Menatap telapak tangannya yang terbuka di atas meja. Bahkan, kunci majalah dinding itu hingga detik ini masih ada di sana. Di tangannya.

* * *

Rapat mendadak yang diadakan Metta saat istirahat pertama tak menunjukkan hasil. Keenam anggota tim mading kelasnya tak ada yang tahu. Metta menghempaskan tubuhnya ke kursi.

Tersangkanya terlalu banyak. Itu karena ia memang bersekolah di sebuah SMK teknik yang minim cewek. Dalam satu kelas yang rata-rata berisi 30 orang, maksimal hanya ada 5 orang remaja putri. Bahkan ada kelas yang sama sekali tak ada remaja putrinya. Dan, jumlah kelas paralel lima jurusan dari kelas 10 sampai 12 seluruhnya ada 30. 20 kelas bila mengesampingkan adik-adik kelas 10. Bagaimana tidak pusing?

Selama ini belum ada tanda-tanda ia ditaksir oleh teman sendiri atau kakak kelas. Setidaknya, ia berpikir seperti itu. Kalau ia yang naksir...

Hmm...

Metta meringis dalam hati.

Tapi mana mungkin?

Metta kembali menatap kunci kotak mading yang saat ini masih ada dalam genggamannya. Ia belum mengembalikan kunci itu ke TU. Sedang menimbang-nimbang apakah hendak mencabut goro-goro[2] di sudut kanan atas mading ataukah tidak. Tapi sepertinya tidak.

"Biarin aja, sih, Met." Begitu ucap Harry tadi. "Biar tetep ramai mading kita."

Ucapan yang segera disetujui seluruh tim redaksi periode ini. Membuat Metta seketika kalah suara.

Ia menggelengkan kepala. Tak ada pilihan lain kecuali mengembalikan kunci kotak mading ke TU tanpa mengutak-atik tayangannya lagi.

* * *

Hari Selasa, lobi heboh lagi. Isi majalah dinding yang pada akhir pekan kemarin dikerjakan oleh kelas 10 Teknik Mekatronika B masih tetap. Masa tayangnya memang satu minggu penuh. Hanya saja tempelan lukisan daun waru kemarin sudah berganti dengan lukisan rangkaian bunga melati, yang membingkai foto close-up Metta dalam pose lain. Senyum yang terkembang masih sama. Manis dan menyenangkan hati.

Tulisan di bagian bawahnya sudah ditutup dengan tulisan baru yang tertera pada sehelai kertas putih. Bentuk tulisannya masih sama. Dibentuk dengan sangat indah.

Kembang kembang m'lati
Cinta ini tulus murni

Wajah Metta merah melihatnya. Malu bercampur geram. Dirayu di depan umum oleh seseorang yang belum jelas siapa seperti ini sungguh absurd! Ia bergegas ke ruang TU.

Mono, salah satu petugas TU yang sudah datang menoleh ketika mendengar pintu terbuka diiringi ucapan permisi. Ia segera menyapa Metta dengan ramah.

"Ya, Metta, selamat pagi...."

Metta menghampiri laki-laki berusia akhir 40-an yang duduk di balik meja tinggi itu.

"Selamat pagi, Pak. Mm... Mau tanya, kunci mading ada di mana ya, Pak?"

"Oh, kayaknya masih di lemari. Belum saya buka kuncinya. Mau pinjam?"

"Enggak, sih, Pak. Cuma mau cek aja. Soalnya ada yang ubah isi mading kelas saya."

Tanpa diminta, Mono segera bangkit dari duduknya dan memeriksa lemari. Benar. Lemari belum dibuka alias masih terkunci. Semua kunci fasilitas sekolah yang disimpan di lemari setiap akhir jam kerja masih lengkap. Termasuk kunci kotak mading. Masih ada di tempatnya.

"Kemarin ada yang pinjam, nggak, Pak, setelah saya kembalikan?"

Mono menggeleng. "Nggak ada, tuh. Soalnya langsung saya masukkan ke lemari."

"Oh...."

Dengan sedikit kehilangan semangat, Metta pun berpamitan. Langkahnya gontai menuju ke kelas. Belum ada petunjuk apa pun. Masih nihil.

* * *

"Minta tolong Orry aja, suruh selidiki," bisik Intan.

Metta hampir tersedak potongan lemper ayam yang baru saja digigitnya. Sementara itu, Intan meringis sambil menyendok nasi dan lauk dari kotak makannya. Keduanya memang menyingkir dari selasar depan kelas yang biasanya difungsikan sebagai 'ruang makan lesehan' siswa-siswi SMK Mitra Wiyata, yang nyaris semuanya membawa bekal makanan dari rumah. Keduanya kini duduk berdua di bawah pohon trembesi di dekat kantin.

Orry? Metta berpikir sambil mengunyah potongan lemper dalam mulutnya.

Sedetik kemudian Metta menggeleng samar.

"Lainnya Orry, nggak ada?" Ia menoleh sekilas.

Tanpa Intan menggeleng pun Metta sudah tahu jawabannya. Memang hanya Orry satu-satunya 'detektif' terekomendasi. Orry adalah ketua kelas sebelah, kelas 10 TMK A. Sedang naik daun karena berhasil memecahkan misteri pencurian alat tulis berseri yang menimpa sebagian besar kelas 11. Barang-barang remeh sebenarnya. Seperti jangka, drawing pen, penggaris set, dan sejenisnya. Tapi cukup penting untuk para pelajar SMK itu.

Orry....

Secara tak sengaja, sosok yang sedang dipikirkan Metta itu melintas tak jauh darinya dan Intan. Membuat Metta hampir tersedak untuk kedua kalinya.

Diakui atau tidak, Metta sedikit segan beberurusan dengan Orry. Cowok itu tampan (pakai banget) dengan postur tubuh ideal, otaknya encer (pakai banget lagi), ditambah dengan sikap 'woles' dan pendiamnya. Bohong kalau Metta tidak naksir pada cowok dari kelas sebelah itu. Karena itulah ia sebisa mungkin membatasi diri untuk berinteraksi dengan Orry. Supaya pikirannya tetap fokus pada urusan sekolah, tidak pada urusan lain-lain.

Tapi, tampaknya kali ini ia tak punya pilihan lain.

"Orry!"

Metta sendiri kaget mendapati dirinya menyerukan nama itu. Saat Orry berbalik, semua perbendaharaan kata dalam benak Metta menguap seketika.

* * *

Pasti masalah mading, tebak Orry dalam hati begitu mendengar panggilan Metta.

"Ya?" Ia berbalik. "Ada apa, Met?"

"Euh...," desah Metta ketika Orry menghampirinya.

"Ini, Ry," Intan mengambil alih kendali pembicaraan. "Tahu, kan, mading kami disusupi oknum perayu Metta? Nah, bisa nggak, kami minta tolong kamu selidiki kasus ini?"

"Mm...," Orry manggut-manggut. "Boleh, sih. Coba nanti aku intai."

Intan menarik napas lega. Sementara Metta masih membisu di sebelahnya. Intan terpaksa menyenggolkan sikunya ke lengan Intan, membuat sang sahabat tersentak.

"Tuh, Orry mau, tuh!" ujar Intan.

Metta salah tingkah. Perasaannya saat ini campur aduk. Malu karena terlibat kasus rayuan absurd di majalah dinding. Senang karena berhasil memuaskan diri menatap senyum Orry dari jarak sangat dekat. Bingung karena tak tahu harus bagaimana bersikap di dekat Orry. Dan, entah perasaan apa lagi. Maka, ia cuma bisa membisikkan ucapan terima kasih.

* * *

Keesokan harinya, hari Rabu, dengan harap-harap cemas Metta turun dari boncengan motor abangnya. Besar harapannya agar Orry sudah berhasil memecahkan kssus itu. Bukankah Orry tinggal di asrama putra yang menyatu dengan kompleks SMK mereka? Tentunya lebih leluasa melakukan pengintaian.

Tapi sepertinya harapannya kandas. Area depan kotak majalah dinding tetap meriah seperti hari-hari yang lalu. Perasaan Metta sudah tidak enak. Apalagi ketika ada salah satu teman yang melihat kedatangannya dan berseru, "Met! Ajegileee... Makin maut aja rayuan buat kamu!"

Dengan setengah hati, Metta melirik sudut kanan atas mading. Lukisan sudah berganti jadi beberapa kuntum mawar merah yang terkesan sangat segar. Foto close-up Metta yang menyertainya juga sudah lain lagi. Pun rangkaian kata di bawahnya.

Kembang kembang mawar
Cintaku t'lah makin mekar

Metta mundur, dan bergegas mencari Orry.

* * *

"Ya, maaf, Met." Orry mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.

Metta menggigit bibir. Memang berlebihan rasanya mengharapkan Orry sudah berhasil memergoki si pengubah isi mading dalam waktu semalam. Tapi rasa sebal telanjur menguasai hatinya.

"Sampai hampir gelap aku intai sambil kerjain tugas di situ," lanjut Orry, menunjuk jajaran bangku beton di bawah kerindangan pepohonan. "Tapi nihil. Sebelum pintu lobi ditutup Pak Satpam pukul enam, aku juga sempat cek mading. Belum ada perubahan. Tadi aku tungguin Pak Satpam buka pintu lobi, terus aku lihat mading, isinya sudah berubah."

Metta menghela napas panjang. Teringat 'semprotan'-nya tadi pada Orry. Ada rasa bersalah yang terselip di hati. Ia kemudian mengedikkan bahu.

"Ya, sudah," gumamnya. "Maaf, aku keburu nafsu."

"Ya," angguk Orry. Tersenyum. "Nggak apa-apa. Coba nanti aku pikirkan lagi cara yang lebih jitu."

Metta mengangguk sambil menggumamkan ucapan terima kasih. Setelah itu ia berbalik dan melangkah ke arah kelasnya.

* * *

Suket suket teki
Rindu sangat hati ini

Metta menggeleng pasrah ketika rayuan berseri itu kembali bertengger manis di sudut kanan atas mading. Diembuskannya napas keras-keras melalui mulut.

Kalau ada perlombaan jumlah pengunjung mading, pastilah kelasnya menang kali ini. Sudah hari Kamis. Pengunjung mading yang diterbitkan kelasnya belum juga surut. Selalu ada suasana berdesakan setiap pagi. Tapi tentu saja konten-konten yang ada di dalamnya sudah dianggap agak kedaluwarsa. Yang terkini hanyalah rayuan gombal berseri itu. Dan, Metta sama sekali tak punya gambaran siapa pelakunya.

Saat hendak melanjutkan langkah menuju ke kelas, suara Orry menahan gerakan kakinya.

"Metta!"

Ia menoleh. Mendapati Orry tengah bergegas menghampirinya.

"Ada apa, Ry?"

"Nanti istirahat bisa kita ngobrol?" Orry menatap Metta dengan serius. "Soal kasusmu."

Metta pun mengangguk.

* * *

Untungnya hari ini jadwalnya 'mbengkel' seharian. Kegiatan praktek yang sangat disukai Metta. Jadi ia berhasil mengusir keluar segala masalah rayuan gombal itu jauh-jauh dari benaknya. Tapi ketika bel istirahat berbunyi, tak urung jantung Metta berdebar lebih kencang. Itu karena ia hendak berjumpa secara khusus dengan Orry.

Ia melangkah ke loker yang berderet di bagian belakang ruang praktek sebelum keluar. Mengambil kantung berisi kotak makan dari dalam tasnya. Tak dinyana, ia keluar nyaris berbarengan dengan Orry dari ruang sebelah.

"Sebentar, Met. Aku ke kantin dulu," ucap Orry begitu melihat Metta.

"Mm... Aku ada roti ekstra," sahut Metta. Sedikit ragu-ragu. "Sama susu kotak. Mau?"

"Boleh, deh!"

Tak disangka Metta, Orry langsung mengangguk. Mereka kemudian memilih untuk mengobrol di bawah sebuah pohon rindang di tepi lapangan basket.

"Ada, nggak, yang bisa kamu jadikan tersangka?" tanya Orry sambil menggigit roti isi pisang coklat-keju yang tadi disodorkan Metta.

Metta menggeleng sambil menyuapkan sesendok nasi dan lauk ke dalam mulutnya.

"Terlalu banyak, ya?" Orry tersenyum lebar.

Hati Metta seketika terasa kebat-kebit melihat senyum itu. Tapi ia masih ingat untuk mengangguk.

"Kalau yang kamu taksir, ada nggak?" Kali ini Orry meringis.

Metta sempat tertegun sejenak sebelum menjawab, "Oh, banyak." Wajahnya terlihat polos. "Aku, kan, masih cewek normal. Cowok bening dikit, bolehlah aku lirik."

Orry tertawa mendengar kejujuran Metta. Tapi Metta sama sekali tak merasa terlecehkan. Entahlah, ia merasa nyaman saja bicara dengan Orry.

"Jadi, selanjutnya gimana?" Metta menatap Orry. "Dibiarin dulu sampai dia puas menggombaliku?"

"Coba nanti aku tanya TU sama Pak Satpam. Oh, ya, kamu sudah lapor Pak Alo soal ini?" Orry menyebutkan nama salah seorang guru yang juga jadi pembimbing redaksi mading sekolah mereka.

"Sudah," angguk Metta. "Aku laporin gitu, boro-boro nanggepin serius. Dia malah ngakak." Metta mengerucutkan bibirnya.

Orry mengulum senyum melihat wajah Metta. Ia kemudian berjanji untuk lebih serius menyelidiki masalah ini.

* * *

Jumat pagi, Metta terpaksa pasrah ketika area sudut kanan atas mading kelasnya berubah penampakan lagi.

Kembang kembang s'runi
Lihatlah aku di sini

Kali ini tanpa fotonya. Hanya ada gambar karangan bunga seruni yang dicetak cukup besar dan dua baris tulisan indah berima seperti di atas.

Metta menggeleng samar. Ia memutuskan untuk beranjak. Sekolah masih sepi. Baru ada beberapa orang siswa-siswi saja yang ada di situ. Melemparkan senyum penuh arti kepadanya. Ketika ia berbalik dan melangkah, ia menubruk seseorang yang sedari tadi rupanya berdiri tepat di belakangnya.

Metta mendongak. Mendapati Orry mengulas senyum 'indah' sambil menatapnya. Sejenak kemudian cowok itu meringis dan menggeleng.

"Sorry, Met. Masih nihil usahaku," gumam Orry.

Metta mengangkat bahu dengan wajah lempeng. Ia melanjutkan niatnya untuk meninggalkan tempat itu. Orry menjajari langkahnya.

"Kelihatannya si oknum pengagummu itu punya kunci duplikat kotak mading," ucap Orry, dengan suara rendah. "Masalahnya, TU nggak tahu siapa pelakunya. Satpam pun nggak pernah lihat ada penyusup masuk ke lobi yang pintunya sudah terkunci."

"CCTV?"

Orry mengerutkan kening. Setahunya, yang berwenang mengakses rekaman CCTV adalah satuan keamanan sekolah, jajaran pengurus sekolah, dan para guru.

"Hm... Coba aku nanti tanya Pak Alo dulu," putus Orry. "Kalau gagal juga, coba aku tembus Bruder[3]."

Metta menggeleng dengan wajah pasrah.

"Terserah kamu, deh, Ry." Nada suara Metta terdengar menyerah. "Nggak ketemu juga biarin, deh. Biar mading tetep laris."

Orry terdiam. Tak tahu harus tertawa ataukah prihatin mendengar ucapan Metta. Tapi sifat usilnya mendadak kambuh.

"Seandainya..., cuma seandainya, nih, ya.... Seandainya pelakunya aku, gimana? Hehehe...."

"Jangan bercanda!"

Keras dan ketusnya suara Metta langsung membuat Orry mengkeret. Apalagi mata indah Metta masih terbelalak menatapnya.

"Iya, iya, sorry... Aku cuma bercanda, Met. Cuma bercanda. Sorry...," Orry mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada.

Metta hanya mendengus. Kemudian meninggalkan Orry. Masuk ke kelasnya sendiri. Orry masih menatap punggungnya.

Kalau bukan karena kamu, Mas, aku ogah terlibat urusan kayak gini!

Hanya itu yang bisa digumamkannya dalam hati.

* * *

Hingga hari keenam penayangan mading kelas 10 MTK B, hari Sabtu, oknum perayu absurd itu masih tetap absurd bentuknya. Gerombolan pembaca sudut kanan atas mading tetap bergerombol pada pagi hari. Tapi kali ini ada beberapa desah kecewa. Pasalnya...

Uwoh[4] uwoh pari[5],
Sampai di sini dulu gombalan ini

Tampaknya rayuan berseri itu akan segera berakhir. Metta menghela napas lega ketika Intan menunjukkan sebuah foto di ponselnya. Foto sudut kanan atas mading kelas mereka.

Ha... Tampaknya hidupku akan tenang lagi mulai minggu depan...

Metta tersenyum. Tak lagi terlalu peduli bahwa hingga detik ini Orry belum berhasil memecahkan kasus itu.

* * *

'Beneran, kan, hari ini terakhir?' tulis Orry melalui pesan WA.

'Ya. Kalau kelamaan bisa ketahuan bahwa kamu pelakunya.' Begitu balasan yang diterimanya.

Orry meringis geli. Untunglah Metta type klien yang cukup 'nrimo' bahwa ia sudah gagal jadi detektif top kali ini. Tak berhasil menemukan perayu 'tanpa modal' itu. Tak apa dia tak lagi dianggap sebagai penyelidik jempolan, asalkan misinya sukses.

'Mas, Metta cewek baik. Jangan dimainin kalau Mas memang suka sama dia,' pesannya lagi.

'Enggaklah, Ry. Aku serius, kok. Tinggal tunggu waktu yang tepat saja.'

Orry tersenyum. Menggeleng samar. Sesuai perjanjian, tugasnya belum selesai. Yang selama hampir seminggu ini dilakukannya baru awalan.

Orry kembali meringis ketika mengingat petualangannya selama beberapa hari belakangan ini. Petualangan yang membuatnya sempat pernah kucing-kucingan dengan salah seorang bruder. Petualangan yang pernah dipergoki salah seorang satpam, hingga si 'Mas' terpaksa turun tangan menjelaskan, dan berhasil membuat satpam itu setuju untuk bungkam.

* * *

Orry tinggal di asrama siswa yang ada di sebelah SMK-nya. Satu kompleks dengan tempat tinggal para bruder. Diapit oleh kompleks gedung SMK dan SMA milik kongregasi yang sama.

Hanya ada tujuh siswa SMK dari total hampir empat puluh orang yang tinggal di asrama itu. Jadi, hanya sedikit yang tahu bahwa ada akses masuk ke dalam area SMK melalui pintu belakang bruderan, tembus ke belakang bangunan gudang. Area yang memang jarang sekali terjamah.

Selama hampir satu minggu ini, setiap selesai makan malam bersama, sebelum jam belajar dimulai kembali, ia menyelinap melalui tembusan itu. Melakukan tugasnya. Memasang pernak-pernik rayuan gombal sesuai jadwalnya.

Kuncinya? Orry meringis dalam hati. Kalau tidak melibatkan 'orang dalam', mana bisa ia memegang kunci duplikat kotak mading dengan bebas?

Senin malam, ia sempat tepergok salah seorang bruder. Baru saja tangannya hendak menjangkau handel pintu tembusan dari arah asrama ketika ia mendengar ada yang berdehem di belakangnya. Ia menoleh mendapati Bruder Lambang menatapnya dengan alis terangkat. Ia meringis.

"Mau ngapain, Ry?" tegur bruder berusia limapuluhan itu.

Orry sempat gugup sejenak. Tapi otaknya secepat kilat mencari alasan.

"Jangka set saya tertinggal di kelas, Bruder," jawabnya.

"Pinjam teman dulu bisa, kan?"

"Mm... Ya, bisa, Bruder," angguknya patuh. Tapi otaknya terus berputar.

Keduanya kemudian meninggalkan tempat itu. Mereka berpisah di ujung selasar samping aula. Bruder Lambang berbelok ke kanan ke arah biara, sedangkan Orry ke kiri ke arah asrama.

Ketika sudah sampai di ujung selasar, Orry menengok ke belakang. Bruder Lambang sudah tak tampak lagi. Secepat kilat ia berbelok ke kiri. Melangkah hampir berlari memutari aula dan kembali ke pintu belakang.

Sejenak ia merapatkan diri ke pohon belimbing dalam kegelapan di dekat pintu belakang. Setelah memastikan bahwa keadaan aman, ia menyelinap dan secepatnya menyelesaikan tugas.

Ia berhasil kembali ke ruang belajar beberapa belas detik sebelum bel tanda jam belajar dimulai. Masih dengan napas ngos-ngosan, ia membuka laptop, hendak mengerjakan tugas kelompok secara daring. Sambil menunggu rekan-rekan sekelompoknya masuk dalam jaringan, ia sempat mengirimkan sebuah pesan singkat melalui WA.

'Sudah beres, Mas.'

Malam itu ia berhasil. Entah besok, besoknya lagi, dan besoknya lagi.

* * *

Selasa sore, Orry terpaksa berakting mengintai. Itu karena siang harinya, Metta sudah memintanya untuk menyelidiki kasus rayuan gombal nan absurd itu. Benar ia bercokol di bawah pohon. 'Mengintai' sembari mengerjakan tugas. Benar ia menyaksikan satpam menggembok pintu lobi. Benar bahwa tak ada siapa pun yang menyusup untuk menambah isi mading kelas 10 MTK B. Hanya saja...

Kecuali ia sendiri beberapa saat kemudian. Mengendap-endap masuk kembali ke area sekolah melalui jalan belakang sebelum waktu makan malam tiba. Dengan kewaspadaan penuh ia mendekati kotak mading. Menambah isinya sebelum gelap benar-benar datang dan lampu lobi menyala secara otomatis pada pukul enam petang tepat.

Ia menghela napas lega ketika misinya hari ini kembali sukses. Pun keesokan harinya, Rabu malam. Sayangnya, ia benar-benar tepergok salah seorang satpam bernama Jayakardi pada Kamis sore.

Cukup mulusnya aksi yang dilakukannya pada hari-hari lalu membuat kewaspadaannya berkurang. Ia terlambat menyelinap karena terlalu asyik berselancar mengunjungi aneka blog melalui laptopnya. Ketika ia baru saja hendak mengunci kembali kaca kotak mading, lampu lobi menyala.

"Hei! Siapa di situ?!"

Terlambat untuk melarikan diri. Satpam senior tinggi besar dengan kumis melintang dan janggut lebat itu sudah membuka kembali pintu lobi. Orry hanya bisa pasrah di depan kotak mading. Ditatapnya Jayakardi. Wajahnya terlihat polos, tapi otaknya terus berputar.

"Maaf, Pak, saya dapat tugas khusus dari salah seorang guru untuk menyelidiki oknum yang mengubah isi mading," ucap Orry, sesopan mungkin.

Jayakardi menyipitkan mata. Ekspresinya tak percaya. Ia kemudian meraih bahu Orry.

"Ayo, ke pos," ucapnya pendek dengan nada rendah.

Orry terpaksa mengikuti perintah itu. Tapi, di kepalanya mulai tersusun rencana darurat.

Sesampainya di pos satpam, Jayakardi menunjuk sebuah kursi, kemudian menyodorkan sehelai kertas dan sebatang bolpoin.

"Nama dan kelas," ujarnya pendek. Tegas.

Orry mengangguk. Tak punya pilihan lain.

"Siapa guru yang menyuruhmu?"

Orry menyebutkan sebuah nama sembari masih menulis. Jayakardi menatap ke salah satu sisi dinding pos. Ada daftar nama semua jajaran guru dan TU di sana, lengkap dengan nomor kontak yang bisa dihubungi. Jayakardi pun segera mengangkat gagang telepon dan menghubungi sederet nomor.

"Halo, selamat sore, Pak. Saya Jayakardi, kepala satpam SMK Mitra Wiyata. Saya memergoki salah seorang murid Bapak masih ada di area sekolah saat seharusnya pintu lobi sudah dikunci. Apa Bapak yang memintanya?"

Tentu saja Orry tak bisa mendengar jawaban dari seberang sana. Ia hanya bisa berharap si Mas cukup cerdas dan pandai berkelit.

"Namanya--, Jayakardi menarik kertas kecil yang masih dipegang Orry, "--Gregorius dari kelas 10 TMK A."

Orry menahan napasnya. Baru mengembuskannya pelan-pelan saat Jayakardi mengakhiri pembicaraan.

"Gurumu akan segera datang ke sini," ucap Jayakardi. Kali ini terdengar lebih sabar.

Dan, masalah itu beres setelah si Mas benar-benar datang dan menjelaskan kepada Jayakardi. Tepat sesuai dengan yang sudah dikatakan Orry.

"Bikin sport jantung kamu, sih, Ry," bisik si Mas sambil menyalakan mesin motornya.

Orry hanya bisa meringis.

"Besok aku akan lebih hati-hati, Mas Yus," gumamnya. "Cuma, aku khawatir soal CCTV."

"Oh, tenang saja!" si Mas tersenyum lebar. "Sudah diakalin sama Pak Ganang." Disebutnya nama salah seorang guru senior yang sudah kondang sebagai ahli IT sekolah mereka.

Mau tak mau, Orry menggeleng sambil tertawa. Yus kemudian mengantarkannya ke asrama. Sekaligus menjelaskan alasan kenapa Orry bisa terlambat pulang. Untungnya bruder kepala asrama memahami. Apalagi tahu bahwa Yus adalah saudara dekat Orry.

* * *

Orry tak heran bila untuk urusan cinta, Mas Yus-nya bisa seribet ini. Yang disebutnya sebagai 'Mas Yus' adalah salah seorang abang sepupunya. Ibu Yus adalah kakak ayahnya.

Dalam lingkup keluarga besar, Yus memang dikenal sebagai pemuda pendiam yang cukup serius dan tidak neko-neko. Setelah tiga kali berhasil loncat kelas karena masuk kelas akselerasi saat SD, SMP, dan SMA, Yus lulus jadi sarjana pada usia 19 tahun. Tak tanggung-tanggung, dua gelar kesarjanaan sekaligus, dari jurusan teknik elektro dan jurusan sastra Inggris. Dan, sudah setahun ini ia menjadi guru junior yang mengajar mata pelajaran fisika di SMK Mitra Wiyata.

Untungnya, entah apakah hal ini bisa dibilang untung ataukah tidak, Yus mengajar di sekolah yang minim pelajar putri. Acara di-gebet murid sendiri pun bisa diminimalisir. Apalagi secara fisik penampilan Yus 'cukup menjanjikan'. Bisalah lolos dari seleksi pemilihan model pria ala majalah-majalah remaja.

Tapi bukan berarti Yus lantas tidak merasa tertarik pada salah seorang muridnya. Dan, gadis belia itu yang dijatuhinya hati itu adalah Metta yang manis dan cerdas.

Sayangnya, status sebagai guru Metta membuat Yus harus setengah mati membatasi harapannya. Hanya saja hatinya perlu juga pelampiasan agar konsentrasi dan semangat mengajarnya terbangun kembali. Oleh karena itu ia terpaksa mengerahkan tenaga dan akal sang adik sepupu untuk sekadar membantu menebar rayuan gombal nan absurd melalui mading. Yang, sayangnya, harus segera berakhir setelah tepat satu minggu. Masa tayang majalah dinding kelas Metta sudah selesai. Lagipula, terlalu riskan rasanya meneruskan 'kehebohan' itu tanpa membuat kegaduhan lebih lanjut.

Lalu, apakah hanya akan berhenti sampai di situ saja?

Orry menggeleng samar sembari mengulas senyum.

Tentu saja tidak!

* * *

Sudah hampir dua minggu berlalu sejak rayuan gombal di sudut kanan atas mading tak lagi mengudara. Seharusnya Metta merasa lega. Tak lagi terganggu.

SEHARUSNYA.

Tapi kenyataannya?

Metta masih penasaran walaupun rasa itu tak lagi seganas saat rayuan itu masih rajin terbit. Hingga detik ini, Orry tak juga berhasil memecahkan teka-teki itu. Hasil intip CCTV pun tak memberikan hasil. Hanya saja, diam-diam Metta curiga.

Jangan-jangan pelakunya Orry sendiri?

Tapi Metta menggeleng samar. Rasanya tak mungkin. Dengar-dengar, Orry sudah punya gebetan di kota asalnya sana. Sahabat sejak TK yang 'makan tanaman'. Lagipula, Orry yang dikenalnya tak pernah punya perhatian lebih padanya. Alias cuek-cuek saja. Sikapnya biasa. Apa adanya. Tak ada yang aneh.

"Good morning, everybody!"

Suara berat dan empuk itu seketika menarik Metta keluar dari alam lamunannya. Ia segera menegakkan punggung. Membuang jauh-jauh rasa penasarannya. Yang ada di depan kelas saat ini terlalu 'indah' untuk dilewatkan.

Pak Alo adalah salah satu guru muda SMK Mitra Wiyata yang penampilannya cukup moncer. Sama sekali bukan type pesolek. Dandanannya biasa saja, tapi terlihat selalu pas. Apalagi saat hari Jumat seperti ini, saat para guru tak mengenakan seragam, melainkan batik bebas. Kemeja batik lengan pendek berwarna dasar merah hati berpotongan ramping nan trendi itu tampak begitu pas membalut tubuh bagian atas sang guru. Belum lagi wajahnya yang selalu terlihat bersemangat dan memancarkan seri memikat. Pokoknya tampan memesona.

Kehadiran Pak Alo dalam kelasnya selalu membuat mata Metta pedas. Itu karena ia merasa terlalu sayang untuk sekadar mengedipkan mata. Belum lagi ia harus menahan debar liar jantungnya yang tak lagi bisa dikendalikan.

"Metta!"

Metta nyaris terjengkang dari duduknya.

"Would you like to read the next paragraph, please?"

Tatapan Pak Alo lurus ke arahnya. Terlihat serius. Tapi Metta bisa melihat ada senyum samar pada sudut-sudut bibir guru itu.

Ia tahu sebabnya. Saat teman-temanya tekun reading, ia hanya bengong saja menatap sang guru.

Bodoh! Tolol! Dodooolll!!! Dalam hati, Metta memaki dirinya sendiri.

* * *

Di tengah keriuhan lobi sekolahnya, Metta mencoba untuk sejenak mengheningkan diri. Ia tetap tersenyum dan tertawa ketika mengabadikan momen kebersamaan dengan teman-temannya. Tapi jiwanya terasa sunyi.

Pada satu detik, ia mencoba untuk menatap berkeliling. Merekam setiap sudut sekolah yang bisa tertangkap oleh matanya. Sekolah tempatnya menimba ilmu, pengetahuan, dan keterampilan selama empat tahun terakhir ini. Ya, empat tahun. Bukan karena ia pernah tinggal kelas, tapi karena jurusannya memang menerapkan pendidikan selama empat tahun. Sekolah yang juga memberikan kenangan manis cinta pertama, yang ...

... sayangnya, kandas sebelum berkembang.

Metta meringis dalam hati.

Episode kehidupannya di tempat bersejarah ini sudah penuh ia selesaikan. Siap untuk menapakkan langkah ke tingkat yang lebih tinggi.

Dihelanya napas panjang. Ia tak akan ke mana-mana. Masih akan melanjutkan pendidikan dengan kuliah di kota yang sama. Itu artinya...

Metta mendegut ludah.

Semoga nggak sering-sering ketemu dengannya.

Ia kembali meringis dalam hati. Pahit.

Saat itu, sosok yang sedang dipikirkannya melintas. Tak jauh. Hanya sepelemparan apem jaraknya. Metta mengalihkan tatapan. Untungnya, salah seorang temannya mengajak bicara.

Tapi, dengan ekor mata, ia masih bisa melihat sosok itu tengah mengobrol dan bercanda di kelompok yang lain di sana, di bawah keteduhan sebatang pohon trembesi.

Ah, Pak Alo....

Metta tertunduk.

Aku memang dodol. Jatuh cinta, kok, sama guru sendiri!

* * *

Sejak pagi, Yus sudah bersemangat bangun, mandi, dan berdandan serapi mungkin. Hari ini adalah detik-detik terakhir penantian panjangnya. Metta dan angkatannya akan dilepaskan secara resmi oleh pihak sekolah. Sudah lulus. Tak lagi berstatus sebagai murid SMK Mitra Wiyata.

Desas-desus yang berhasil dikumpulkan oleh Orry dari sumber tepercaya, Metta 'suka' dengan salah satu guru pria. Guru bahasa Inggris. Tapi sayangnya gadis itu terpaksa patah hati karena sang guru menikah saat Metta kelas 11.

Pantas dia banyak melamun saat aku jadi guru pengganti bahasa Inggris.

Yus menghela napas panjang. Diterima atau ditolak mentah-mentah oleh Metta nanti, tak terlalu jadi pikiran. Paling tidak, 'bisul' yang sudah dipeliharanya selama hampir empat tahun ini bakal dipecahkannya segera.

* * *

"Sudah ngomong?" tanya Orry dengan suara rendah.

Ia agak heran juga mendapati bahwa suasana sekolah adem ayem saja. Tanpa kehebohan apa pun. Padahal, kan, rencananya Yus akan menembak Metta lewat majalah dinding.

Tapi, Yus meggeleng. Seketika Orry menatapnya, setengah melotot.

"Gimana, sih, Mas?" suara tertahan Orry menyiratkan kejengkelan.

"Aku pikir, kurang elegan nembak dia via mading," jawab Yus, dalam gumaman. "Kudatangi saja langsung nanti sore ke rumahnya."

Orry serta merta tersenyum lebar.

Jantan juga kamu, Mas! pikirnya.

"Ayo, ah, pulang," ajak Yus.

"Aku belum pamit Bruder," Orry meringis.

"Sana, pamit dulu. Aku tunggu di depot bakso seberang SMA, ya."

Orry menganguk. Keduanya sama-sama meninggalkan sekolah yang sudah sepi itu. Sambil berjalan ke arah asrama, Orry mengirimkan pesan kepada seseorang melalui ponselnya. Sejenak kemudian, ia tersenyum simpul.

* * *

"Oi! Bangun, oi!"

Metta tergeragap mendengar seruan itu. Ia seolah dilanda gempa. Setelah memaksa diri membuka mata, didapatinya Intan-lah yang sedang membangunkan dirinya dengan menguncangkan tubuhnya.

"Berisik banget, sih, Tan!" gerutu Metta.

"Lha, lupa lagi nih anak sama omongan sendiri!" omel Intan. "Kan, kamu dah janji mau jadi model make over."

Metta menepuk keningnya. Sahabatnya yang satu ini memang rada ajaib. Alih-alih jadi tomboi karena bersekolah di SMK teknik yang mayoritas cowok, Intan malah girly banget. Bahkan, belakangan ini Intan sedang keranjingan jadi MUA, alias make up artist. Siapa korbannya? Ya, sahabat-sahabatnya sendiri, terutama Metta.

"Ya, deh, aku mandi dulu," ujar Metta sambil bangun dari ranjang.

Sempat diliriknya jam digital di atas meja belajarnya. Belum genap pukul tiga menjelang sore. Ia pun menyeret langkah ke kamar mandi.

Berarti nggak ada setengah jam aku merem tadi! sungutnya dalam hati. Halah, si Intan!

* * *

Dengan jantung berdebar kencang, sudah sampai pada batas nyaris tak terkendali, Yus memencet bel pada dinding di sisi kanan kusen pintu. Rumah bercat kuning gading dengan model Mediterania itu terlihat sangat asri. Taman depannya tertata rapi.

Dan, jantungnya nyaris saja melorot jatuh ke lutut ketika pintu di depan hidungnya terbuka. Tapi... Bukan Metta! Dihelanya napas lega.

"Cari siapa, Mas?" tanya si pembuka pintu.

"Metta ada?" Yus memasang senyum termanis yang ia punya.

Perempuan berumur pertengahan tiga puluhan itu pun mengangguk dan membuka pintu lebih lebar lagi.

"Sebentar saya panggilkan Mbak Metta-nya, Mas," ujar perempuan itu. "Dengan Mas siapa, ya?"

"Yus."

Dan, detik-detik berikutnya adalah waktu terpanjang yang pernah ia lalui. Mengalahkan waktu sepanjang hampir empat tahun saat ia menunggu kesempatan ini tiba.

* * *

Metta menatap pantulan wajahnya pada cermin. Kali ini rupanya Intan bereksperimen dengan rias wajah smokey. Lumayan bagus menurutnya. Tidak terlalu menor, tapi tetap terlihat. Dan, tak berhenti sampai di situ. Intan mencatok rambut bob pendek Metta hingga membentuk juntaian-juntaian ikal yang menggemaskan.

Tengah Intan asyik mengabadikan penampilan Metta dalam berbagai pose, pintu kamar diketuk. Metta pun menjangkau handel dan membuka pintu. ART-nya melongokkan kepala.

"Ya, Yu?" tanyanya.

"Mbak Metta dicari temennya, tuh!" jawab Poninten. "Sumpah, cakep bangeeet, Mbaaak!" Mendadak Poninten jadi heboh sendiri.

Metta mengerutkan kening. "Siapa, Yu?"

"Namanya Yus."

Yus? Metta mengerutkan kening. Sejak kapan Yustinus jadi cakep?

Pikiran Metta langsung melayang pada sosok jangkung Yustinus, teman sekelasnya. Yustinus tidak jelek-jelek amat. Tapi 'cakep bangeeet'? Metta menggeleng samar.

"Udah, sana!" Intan mendorong bahu Metta.

Metta pun segera beranijak. Meninggalkan Intan yang segera membenahi peralatan kecantikannya. Dengan langkah cepat, Metta menuju ke ruang tamu.

Tapi saat sampai di sebelah rak pajang tinggi dan panjang yang memisahkan ruang tamu dengan ruang tengah, langkah Metta terhenti. Orang yang tengah duduk di sofa itu benar-benar membuatnya nyaris tak bisa bernapas. Ia terbelalak.

Hah??? Pak... Alo???

* * *

"Bukan Yus!"

Intan yang masih asyik membenahi peralatan 'tempur'-nya tertegak kaget. Pintu kamar Metta mendadak saja terbuka dari luar. Ditatapnya Metta yang baru saja berseru tertahan itu.

"Maksudmu?" Gadis itu membelalakkan mata.

"Yang ke sini mencariku itu bukan Yus. Bukan Yustinus," jawab Metta, dengan napas sedikit terengah.

"Lha, bukannya tadi Yu Poninten bilangnya Yus?" Intan mengerutkan kening.

"Itu dia! Makanya kukira beneran Yustinus." Metta menghenyakkan diri di ranjang. Menggumam, "Masa Yu Pon salah dengar, sih?"

"Terus, yang datang siapa?"

"Pak... Alo...," jawab Metta, dengan suara seolah terjepit di tenggorokan.

"Oh...."

Metta membelalakkan mata melihat Intan menanggapi dengan sangat santai.

"Pak Alo, Tan! Pak Alo!" seru Metta dengan suara tertahan.

"Ya, terus? Kenapa?"

"Mau ngapain coba, dia ke sini?"

"Lha! Belum kamu tanyain?"

Metta menggeleng dengan ekspresi dungu. "Aku langsung balik kanan."

"Astaga, Meeet...," Intan menepuk keningnya. "Kamu temuin dulu, kek!"

Metta tergeragap. Seketika isi benaknya serasa kosong melompong. Tapi Intan sudah menariknya berdiri dan mendorong punggungnya.

"Sana! Temuin!"

Langkah Metta tampak berat.

"Deg-degan, tahu!" gerutunya.

Intan tertawa lebar. Ia tahu benar seberapa besar Metta 'naksir' Pak Alo. Tangan Metta sudah menjangkau handel pintu. Tapi suara Intan menghentikan gerakannya.

"Kamu tahu nama panjang Pak Alo, kan?"

Metta mengangguk.

"Siapa?" Intan nyengir.

"Aloy...." Seketika Metta menepuk keningnya. "Astaga!"

"Sudah! Sana!" usir Intan.

Ya, nama panjangnya, kan, Aloysius..., gumam Metta dalam hati sambil melangkah meninggalkan kamar.

Baru kali ini, ia serasa melangkah di tengah guncangan gempa bumi. Goyah sejadi-jadinya.

* * *

Intan menunggu semenit lamanya. Kelihatannya Metta tidak kembali lagi ke kamar. Ia segera menarik ponsel dari dalam tas. Menghubungi Orry. Sejenak kemudian, keduanya sudah terlibat pembicaraan dengan suara berbisik, diselingi kikik-kikik geli.

Untuk sementara ini, misi keduanya bisa dianggap beres. Intan sudah berhasil mempercantik Metta secara 'tidak sengaja', dan Orry berhasil mengerjai sang abang sepupu.

"Kalau nggak gitu, cuma terima beres, dong, dia," bisik Orry. "Kurang berjuang, kan, bisa berabe. Nggak adil buat Metta."

Intan kembali terkikik geli. Seutuhnya bisa menangkap maksud Orry.

* * *

Kembali melangkah ke ruang tamu, Metta menghela napas panjang tiga kali ketika melintasi ruang tengah. Di perbatasan ia berhenti sejenak. Sekadar meredakan debar liar jatungnya, walaupun gagal juga. Dengan sedikit berat, ia meneruskan gerakan kakinya.

"Pak, selamat sore...," sapanya. Nyaris tak terdengar.

Yus yang tengah tertunduk menatap lantai mengangkat wajah. Seketika terpana menatap Metta. Gadis itu tak lagi polos seperti biasa, tapi sedikit lebih 'berwarna'. Dan, itu membuat Metta jadi...

Astaga! Cantiknyaaa...

Yus hampir lupa bernapas.

"Pak, selamat sore," Metta mengulangi sapaannya. "Mm... Kok, malah bengong? Hehehe...."

Metta memaksa diri terkekeh untuk mencairkan suasana, sekaligus menenangkan diri sendiri. Ia melangkah lebih dekat lagi. Mengulurkan tangan.

"Apa kabar, Pak?"

Dengan sedikit gemetar, ia menempelkan punggung tangan di pipinya. Kebiasaan murid-murid SMK Mitra Wiyata bila bertemu guru di manapun juga.

"Baik, Met," senyum Yus. "Kamu mau pergi, ya? Dandan cantik banget."

"Oh...," Metta sedikit tersipu. "Ini kerjaan si Intan, nih, Pak. Lagi hobi jadi MUA. Terus difoto, diunggah di Instagram dia."

"Oh...," Yus tersenyum lebar.

Metta mendegut ludah. Kelamaan Pak Alo di sini, aku bisa jantungan! Ia meringis dalam hati.

"Jadi gini, Met," Yus berdehem sedikit. "Aku... Mm... Soal mading kelasmu dulu itu... Ingat, nggak? Waktu kamu kelas 10."

Metta mengerutkan kening. Mading? Tapi sejenak kemudian ia paham.

"Yang disusupi rayuan itu, Pak?" Metta memberanikan diri menatap Yus. "Kenapa memangnya?"

"Aku mau minta maaf. Sebetulnya... sudah lama aku tahu siapa pelakunya."

Seketika Metta ternganga. Matanya bulat, masih menatap Yus.

"Jadi... pelakunya... Bapak sendiri?" gumam Metta, benar-benar tak percaya.

"Bukan aku," Yus meringis. "Aku suruh sepupuku yang melakukannya. Ya, aku tahu aku pengecut. Cuma, kupikir... bagaimanapun, nggak boleh ada hubungan istimewa antara guru dan murid. Jadi... aku cuma menunggu saat yang tepat seperti ini. Saat kamu sudah lulus, dan aku bukan lagi gurumu. Tapi kujamin, semua isi rayuan itu benar adanya. Aku... sayang sama kamu, Met. Walaupun sepertinya bertepuk sebelah tangan." Yus tertunduk.

Metta kembali ternganga.

Sepupunya? Siapa? Dan... apa tadi dia bilang??? Oh, my gosh...

Metta hampir lupa bernapas.

* * *

Metta tersenyum-senyum ketika melihat isi amplop cokelat berukuran dokumen yang tadi diberi oleh Yus. Semua tulisan dan fotonya yang pernah terpampang di majalah dinding ada di sana. Metta membacanya satu demi satu.



Godhong godhong waru
Tanda cintaku padamu

Kembang kembang m'lati
Cinta ini tulus murni

Kembang kembang mawar
Cintaku t'lah makin mekar

Suket suket teki
Rindu sangat hati ini

Kembang kembang s'runi
Lihatlah aku di sini

Uwoh uwoh pari
Sampai di sini dulu gombalan ini

.

Dan, ternyata semuanya itu bukan hanya sekadar gombalan! Yus menyimpan tulisan itu dengan rapi selama bertahun-tahun. Ternyata memang benar kecurigaan yang pernah muncul dalam hati. Bahwa Orry-lah oknum 'pengacau' terbitan majalah dinding kelasnya.

Metta menghenyakkan punggungnya ke ranjang. Rasanya masih tak percaya bahwa Pak Alo, atau mulai beberapa saat lalu ia harus memanggilnya Mas Yus, ternyata punya perasaan yang sama dengannya. Bahkan sudah secara terbuka menyatakan ingin pacaran secara serius dengannya. Tapi satu hal yang masih membuatnya heran.

Dari mana, sih, Orry dapat gosipan aku suka sama Pak Wirya? Metta mengerucutkan bibirnya. Kayaknya dari Intan juga enggak. Intan, kan, tahu banget aku naksir berat sama Pak Alo, eh, Mas Yus. Gila apa? Semua orang juga tahu bahwa Pak Wirya sudah punya tunangan. Apalagi umurnya sudah kepala tiga. Tua, bo'! Ganteng juga standar mepet minimal gitu...

Tapi itu tak penting lagi kini. Metta kembali mengembangkan senyum manisnya. Yang penting sekarang adalah ia tak jadi berstatus gadis yang patah hati. Rasa cinta terhadap Pak Alo-nya tidak bertepuk sebelah tangan.

Eh, Mas Yus! Metta meralat dalam hati.

* * *

"Ry, kamu dapat berita Metta naksir Pak Wirya, dari mana, sih?" gerutu Yus. "Katamu itu info valid dari ring satu?"

Di seberang sana Orry terbahak. Yus sampai harus menjauhkan sedikit ponselnya dari telinga. Terlalu berisik.

"Kalau aku bilang Metta juga naksir Mas Yus, keenakan Mas Yus, dong!" ujar Orry begitu tawanya mereda. "Semangat juang bisa kendur. Bisa gagal gaet si Metta. Makanya aku bilang Metta naksir Pak Wirya. Biar greget." Orry terbahak lagi.

"Iya juga, sih...," gumam Yus sembari menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Ya, deh, nggak jadi soal."

"Jadi, kapan aku ditraktir?"

Yus tertawa mendengar celetukan iseng Orry. Ia kemudian berjanji akan mentraktir adik sepupunya itu dua hari lagi. Pembicaraan lewat udara itu pun ditutupnya.

Tapi Yus tak lantas meletakkan kembali ponselnya. Ia mengetikkan sesuatu. Gombalan terbarunya. Dan, dikirimkannya kepada Metta.

Rumpun mawar tumbuh di pematang
I love you so much, Vimetta Gemintang...

* * * * *

Ilustrasi : pixabay, dengan modifikasi.


Catatan :
[1] Godhong = daun
[2] Goro-goro = sumber kehebohan.
[3] Bruder = biarawan (bukan pastor – Kat). Setara dengan ‘frater’. Penyebutannya terserah kongregasi/kelompok masing-masing. Dalam cerita ini, yang dimaksud dengan ‘Bruder’ adalah Kepala SMK Mitra Wiyata.
[4] Uwoh = buah/bulir.
[5] Pari = padi.