Minggu, 09 September 2018

[Cerpen] Rumah Jacaranda








Kuhela napas lega begitu mendengar kabar dari Mas Diar. Dia sudah dapat rumah baru untuk tempat tinggal kami.

"Cukup besar, Bu." Suaranya berlanjut kembali menyusup ke telingaku melalui ponsel. "Rumah pojok dua lantai. Ada di tepi jalan raya. Semi furnished. Halamannya lumayan luas. Kamar tidur ada empat di atas, satu di bawah buat ART. Ada kamar mandi di dalam kamar utama. Dua lagi di luar, satu di atas, satu di bawah. Garasi muat untuk dua mobil. Listrik, air, kondisi keseluruhan semua prima. Bukan rumah baru, sih. Tapi bangunannya sangat kokoh. Aku yakin Ibu pasti suka."
  

"Daerah mana?"

"Seroja. Tahu daerah itu, kan?"

Seketika aku ternganga.

Seroja? Itu....

Tiba-tiba saja jantungku seolah terpacu untuk berdebar lebih kencang.

"Harganya, Yah? Pasti mahal banget."

Hanya itu yang bisa kupikirkan kemudian. Dengan fasilitas yang terdengar menggiurkan seperti itu, aku yakin harganya pasti tak main-main. Apalagi daerah lumayan elit macam Seroja.

"Tenang saja.... Setara dengan rumah kita sekarang, kok. Nggak nombok terlalu banyak."

Sekali lagi kuhela napas lega. Masih dengan sisa debar di dalam dada.

Sudah tujuh bulan ini, Mas Diar - suamiku - dipindahkan ke Regentum untuk mengepalai pabrik baru. Ini promosi, bukan dibuang. Karena aku tahu betul kondisi kota tempat Mas Diar harus bekerja. Sebab, aku lahir dan besar di sana. Kota yang makin berkembang, terutama pembangunan kawasan industri di pinggirnya. Kota yang kutinggalkan sejak aku menikah dengan Mas Diar dan meniti karier baru. Kota yang kemudian hanya kukunjungi setahun sekali untuk nyekar.

Tiga bulan LDR dengan Mas Diar membuatku memutuskan untuk mengakhiri saja karierku sebagai staf sebuah bank swasta terkemuka. Lagipula, aku masih punya pekerjaan sampingan sebagai editor lepas sebuah penerbit papan atas, yang bisa kulakukan di mana saja. Hidup berjauhan dengan Mas Diar sungguh tak enak. Apalagi anak-anak sering merindukan ayah mereka. Solusinya hanya satu. Pindah ke Regentum, mengikuti Mas Diar ke tempat tugas baru.

Lalu, aku mulai mempersiapkan anak-anak. Yang sulung akan masuk SMA, yang bungsu akan masuk SMP. Urusan sekolah kini sudah beres. Tinggal menjual rumah dan menyelesaikan berbagai urusan lain. Mas Diar pun segera berburu rumah baru, karena selama ini dia tinggal di mess pabrik.

Empat bulan berlalu. Akhirnya kami pun siap untuk pindah. Tahun ajaran lama sudah berakhir. Yang baru belum mulai. Ijazah anak-anak belum keluar, tapi bukan masalah besar. Masih bisa diurus nanti. Toh, mereka sudah diterima di sekolah lanjutan. Sekolah yang yayasan induknya sama dengan sekolah mereka sekarang.

Rumah lama ini sudah laku dengan harga bagus dan sudah dibayar lunas. Pemilik barunya memberi kelonggaran kepada kami untuk pindah kapan saja. Dan akhirnya, rumah baru pun sudah didapat. Urusan packing dan kirim barang-barang akan dibereskan sepupuku, Jody, yang memang punya usaha ekspedisi. Semua terjadi pada waktu yang pas sesuai rencana.

"Aku pulang seminggu lagi, Bu."

Suara lembut Mas Diar kembali menyentuh telingaku.

"Aku dapat cuti khusus untuk pindahan," lanjutnya.

"Oke, Yah," jawabku.

"Oh, ya, segera kukirim foto rumah baru kita, ya? Tunggu."

"Baiklah."

Mas Diar kemudian mengakhiri pembicaraan kami dengan membisikkan kalimat rindunya. Kalimat yang masih bisa membuat jantungku terasa melompat-lompat nyaris tak terkendali.

Tak lama setelah ponsel kuletakkan di atas meja, benda itu berbunyi. Ada pesan masuk dari Mas Diar. Ia mengirimkan foto yang dijanjikannya. Seketika aku tercekat.

Rumah itu masih seperti yang pernah kukenal dulu. Warna catnya sudah berubah. Bentuk pagarnya juga. Tapi guratan wajahnya tetap sama. Juga...

Sepasang pohon palem di depan pagar.

Aku terduduk.


Ya, Tuhan.... Jadi, rumah itu...?

* * *

Untuk terakhir kalinya, kutatap rumah ini. Rumah yang sudah kutinggali selama hampir tujuh belas tahun lamanya, sejak aku menikah dengan Mas Diar. Rumah dengan begitu banyak kenangan manis yang sungguh menghangatkan hati. Rumah tempat Mas Diar dan aku saling mengenal dan menerima dengan lebih baik lagi. Rumah tempat Ansel dan Ilda tumbuh dan berkembang jadi remaja yang tampan dan cantik. Untung saja selama ini kami sudah banyak mengabadikan kebersamaan kami di sini dalam bentuk jepretan foto.

Aku menoleh ketika seseorang menyentuh tanganku. Ilda. Ia menempelkan kepalanya di lengan kiriku. Kedua tangannya menggendong Muffin, anjing corgi kesayangan kami. Mendung tebal menggayuti wajahnya. Matanya pun terlihat sembap. Aku tahu, dia menangis semalaman.

Dua sosok lagi mendekatiku. Wajah-wajah tampan yang terlihat cukup bersedih. Bahkan aku melihat mata Ansel memerah dan berkaca-kaca. Suara lembut Mas Diar kemudian memecahkan atmosfer hening di sekitar kami. Terdengar sedikit serak di telinga.

"Ayo, kita berangkat. Nanti kita kesiangan. Perjalanan kita cukup panjang."

Masih dalam hening, kami masuk ke mobil. Sudah lewat dari pukul tujuh pagi. Truk terakhir yang mengangkut barang kami sudah berangkat setengah jam lalu bersama Jody dan timnya, yang membawa MPV sendiri. Untuk terakhir kalinya, aku menatap rumah itu sebelum Mas Diar mulai meluncurkan mobil kami.

Selamat tinggal....

* * *

Perjalanan dari Mairino ke Regentum makan waktu hampir sepuluh jam berkendara dengan mobil pribadi. Itu sudah diseling dengan istirahat makan dan sekadar meregangkan tubuh. Kami memang memilih jalur reguler yang tidak terlalu banyak melewati jalan tol. Supaya perjalanan kami menjemput kehidupan baru sedikit terlihat lebih berwarna. Setiap dua jam, Mas Diar dan aku bergantian menyetir MPV ini. City car-ku sudah dibawanya ke Regentum saat pertama kali berangkat ke sana dulu.

"Nanti kita ke mess dulu, ya," ujar Mas Diar. "Barang-barang kita biar dibereskan dulu sama Om Jody."

Kami bertiga hanya mengangguk sekadarnya. Masih terlalu sedih karena harus meninggalkan Mairino dan rumah pertama kami. Muffin pun sepertinya merasakan hal yang sama. Dia hanya duduk diam di antara Ansel dan Ilda di jok belakang. Sesekali tertidur di pangkuan Ansel atau Ilda.

Pada etape terakhir perjalanan kami, Mas Diar-lah yang memegang kemudi. Matahari sudah condong sekali ke arah barat di sebelah kiri kami. Sudah hampir sampai ke peraduannya. Kubiarkan sinar yang dipancarkannya menghangatkan wajahku.

Sepanjang perjalanan tadi, saat aku tidak sedang menyetir, kubiarkan lamunan membawaku ke mana pun dia suka. Pun kini. Ujung-ujungnya selalu jatuh ke rumah itu. Rumah yang akan kami tempati entah sampai kapan. Rumah Jacaranda, aku menyebutnya, karena letaknya menghadap ke Jalan Jacaranda. Rumah yang aku pernah impikan untuk tinggal di dalamnya. Rumah dengan sejuta kenangan manis dan pahit. Kenangan yang membuatku menerima pinangan Mas Diar tanpa pernah yakin apakah aku mencintainya atau tidak. 

Dan, sepasang palem itu masih ada. Masih tegak berdiri di depan pagar. Setidaknya seperti itu yang kulihat dari fotonya.

Pelan-pelan, rasa pahit itu kembali memenuhi hatiku. Rasa pahit yang kukira sudah kusingkirkan jauh-jauh. Tapi ternyata? Masih ada sisanya. Masih banyak.

* * *

Langit sudah gelap sempurna ketika kami tiba di mess. Selama tujuh bulan ini, Mas Diar memang hidup bak seorang bujangan di mess, tak jauh letaknya dari pabrik. Ketika dia muncul di Mairino dua hari lalu, kulihat tubuhnya sedikit menyusut. Tampak agak kurang terurus.  Sungguh, hatiku teriris melihatnya. Pada saat seperti itu, aku makin mensyukuri keputusanku untuk kembali bersamanya di tempat baru.

Beberapa penghuni lainnya mess itu menyambut kami. Setelah berkenalan dan basa-basi sejenak, Mas Diar pun menggiring kami masuk ke mess. Beberapa orang membantu mengeluarkan sebuah koper, beberapa travel bag, dan sangkar Muffin dari bagasi.

Ruangan itu tak terlalu besar. Disekat menjadi tiga bagian. Ruang duduk yang nyaris menyatu dengan pantry, satu kamar tidur, dan ruang belakang berisi kamar mandi dan tempat menjemur baju. Sesederhana itu.

"Nanti kita tidur di mana, Yah?" celetuk Ilda.

"Di kamar Ayah," jawab Mas Diar sambil mengambil alih Muffin dari tangan Ilda. "Tapi di lantai, ya? Pakai kasur busa tipis. Sudah Ayah siapkan. Nggak apa-apa?"

"Nggak apa-apa." Ilda dan Ansel menjawab serempak.

"Atau kalian mau menginap di hotel malam ini? Coba Ayah carikan."

"Nggak usah, Yah!" Ansel buru-buru mencegah. "Anggap saja kita lagi kemping."

"Iya, betul!" sahut Ilda. "Asal kita semua kumpul, di mana saja asyik, kok."

Kulihat Mas Diar tersenyum dengan berkas-berkas keharuan melompat keluar dari matanya. Ah, betapa manisnya anak-anak kami!

* * *

Malam berlalu nyaris tanpa aku bisa memejamkan mata. Anak-anak tidur nyenyak dalam pelukan ayah mereka. Makin malam menggelincir menuju pagi, makin aku resah. Ada banyak debar yang nyaris tak bisa kutampung dan kukendalikan lagi.

Rumah itu....

Yang seolah menggantung abadi di kedua pelupuk mataku adalah rumah itu. Rumah Jacaranda. Rumah beserta kehangatannya yang pernah menjadi bagian dari hidupku. Bagian begitu besar. Yang harus kulepas agar aku bisa terus melangkah ke depan. Bersama Mas Diar, dan kemudian bersama anak-anak pula.

Akan kembali lagi ke rumah itu? Hidup di dalamnya seperti impianku? Apakah aku akan mampu menghela dan melepaskan napas secara normal di sana? Bukankah pada akhirnya impianku untuk menjadi ratu di rumah itu tercapai?

Dengkingan pendek Muffin dari luar kamar menyentakkan aku. Kuraih ponselku yang tergeletak di lantai dekat kaki meja. Sudah pukul setengah lima pagi. Jadwal Muffin untuk buang hajat.

Sambil menguap aku bangun. Menggeliat sejenak. Sekadar melepaskan rasa pegal setelah puluhan ribu detik terkungkung dalam mobil kemarin. Pelan-pelan aku keluar dari kamar. Mas Diar dan anak-anak masih terlelap.

Muffin mendengking riang sambil mengibas-ngibaskan ekornya di dalam sangkar. Terpaksa semalam dia harus dikandangkan di tempat sempit itu. Dia segera meraihku dengan kaki depannya ketika kubuka pintu sangkar. 

"Ayo, pis dulu, Fin," bisikku. 

Dengan patuh Muffin mengikuti langkahku ke kamar mandi di bagian belakang. Sambil menunggu Muffin selesai, aku memeriksa pantry. Hanya ada mesin kopi, sebuah galon air tanpa dispenser, sebuah kompor gas bertungku tunggal dengan sebuah panci kecil bertengger di atasnya, sebuah kulkas satu pintu, dan sebuah lemari plastik kecil di sana. Ketika kubuka pintu kulkas, hanya kujumpai sekotak susu cair, dua botol air dingin, bungkusan roti tawar yang entah kapan kedaluwarsanya, dan sebotol kecil selai kacang.

Aku beralih ke lemari plastik kecil di sebelah kulkas. Hanya ada dua buah piring melamin, setengah lusin sendok, dan dua buah mug keramik di dalamnya. Bahan makanan? Hanya ada sebuah stoples berisi sebungkus kecil gula pasir, satu kemasan besar kopi bermerek favorit Mas Diar, dan teh celup dalam kemasan sachet. Lainnya? Aku menggeleng prihatin. Benar-benar 'tidak ada apa-apa' di mess ini.

Dengking pendek Muffin membuatku beralih dari pantry ke kamar mandi. Dia sudah selesai dan aku segera membersihkan kloset. Bersamaan dengan itu, kudengar suara Mas Diar dan anak-anak. Beberapa detik kemudian, Mas Diar muncul.

"Nggak ada apa-apa, Bu," celetuknya dengan raut wajah 'berdosa'.

Aku terkekeh ringan. Lalu, anak-anak dikasih sarapan apa ini nanti? Seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku, Mas Diar berucap lagi.

"Nanti sekalian kita berangkat ke rumah baru, mampir makan dulu di ujung sana. Ada depot yang buka 24 jam. Aku hampir tiap hari makan di sana."

"Enak?"

"Cukup enak dan bersih." Ia mengangguk.
 "Tapi masih jauuuh rasanya dari masakanmu, Bu."

"Halaaah...." Kucocol pipi kirinya yang sudah lama membulat dengan ujung telunjuk kananku. Ia tergelak.

Setelah itu kami bersiap untuk antre mandi. Sementara Ansel dan Ilda sedang berbagi giliran, Mas Diar mengajakku berpamitan ke para penghuni mess. Senyampang mereka belum berangkat kerja. Ketika kami kembali, Ansel dan Ilda sudah rapi. Bahkan sudah menggulung kasur dan merapikan kembali kamar.

"Ini semua barang mau dimasukkan ke mobil?" tanya Ansel.

"Jangan semua," jawab Mas Diar. "Itu semua kopor dan tas Ayah yang harus dibawa ada di dekat pintu. Juga semua barang yang kalian bawa. Kasur, semua perabot dan alat dapur, tinggalkan saja. Biar diurusi orang-orang di sini. Toh, kita sudah punya semuanya."

Setelah aku dan Mas Diar bergiliran mandi, kami pun siap meninggalkan mess itu. Penanggung jawab mess sudah ada di depan pintu ketika kami keluar. Kami pun berpamitan, dan Mas Diar menyerahkan kunci mess. Mobil kami makin penuh karena ditambah dengan barang-barang pribadi Mas Diar. Pelan-pelan, Mas Diar meluncurkannya meninggalkan halaman mess.

Bersamaan dengan mobil yang melaju makin kencang, makin kencang pula pacuan jantungku. Jeda yang ada saat kami mampir ke depot untuk sarapan tak mampu meredakan debar-debar liar dalam dada.

Ah, Rumah Jacaranda.... Dengan sepasang palem di depan pagar. Masihkah tetap menyimpan kehangatan yang sama?

* * *

Memasuki Jalan Flamboyan, jantungku makin liar melompat-lompat. Di samping itu, aku terkesima. Rentang waktu sekitar tujuh belas tahun sudah banyak mengubah kawasan itu.

Dulu, pada saat-saat mendekati akhir episode hidupku di Regentum, kawasan Seroja yang merupakan daerah dengan nama jalan aneka vegetasi masih menyisakan banyak sekali kaveling tanah kosong. Kini, rumah-rumah beraneka warna, wajah, dan ukuran sudah tumbuh merapat. Beberapa blok di tepi jalan sudah menjadi slot niaga. Sebutlah toko busana, kafe, depot, bengkel besar, swalayan midi, laundry, pengecer buah dan sayur organik, agen sembako, toko perabot, toko elektronik, toko alat tulis, SPBU, kantor pengacara, dan masih banyak lagi, semua ada di sana.

Dan, Jalan Flamboyan yang berpangkal di Jalan Munggur itu berujung di Jalan Jacaranda. Gerbang ucapan selamat datang di kawasan pemukiman Jacaranda sudah terlihat. Masih berbentuk sama seperti dulu. Hanya saja sudah dicat ulang dan diperbarui penampilannya.

Rumah Jacaranda tak jauh dari gerbang. Rumah dengan urutan ketiga di sebelah kiri. Rumah nomor 5. Begitu melewati gerbang, aku sudah melihat sepasang palem berdiri tegak di depan pagar Rumah Jacaranda.

Hatiku hampir runtuh. Kuingkari dengan cara apa pun, aku tak bisa mengelak. Aku merindukan rumah itu. Sangat merindukannya! Terutama sepasang palem itu. Salah satunya, aku yang menanamnya.

Pelan-pelan, Mas Diar menepikan mobil. Pintu pagar terbuka. Truk yang parkir di samping dua buah MPV masih ada di halaman. Sebagian barang kami yang terkemas dalam dos-dos besar masih bertumpuk di teras depan. Mas Diar tidak membelokkan mobil masuk ke halaman, melainkan terus sedikit lagi, barulah berbelok ke kiri, masuk ke Jalan Anthurium. Aku tahu, pintu masuk ke garasi Rumah Jacaranda ada di Jalan Anthurium.

Jody membuka pintu garasi dan pagar ketika Mas Diar membunyikan klakson dengan ringan. Kemudian kami masuk ke Rumah Jacaranda melalui garasi, dan mulai berkeliling ke seluruh pelosok rumah itu.

“Kita ke atas dulu saja." Jody menyarankan. “Yang paling penting harus selesai dulu, kan, penataan kamar tidur. Terutama milik anak-anak.”

Kami pun menurut, dan langsung naik ke lantai atas.

Sebagian besar isi kamar utama sudah tertata. Masih perlu sentuhan lagi. Tapi untuk sementara sudah cukup. Tim pertama Jody yang mengatur semua itu. Mereka berangkat bersama truk pertama dua hari lalu.

Aku tertegun-tegun dalam setiap langkahku. Dadaku terasa sesak. Keseluruhan fungsi ruangan dalam Rumah Jacaranda sepertinya masih sama seperti dulu. Semua kamar tidur ada di lantai dua, kecuali kamar untuk ART. Ruang luas di antara kamar-kamar, yang dulu dipakai sebagai ruang baca yang nyaman, kini masih dipenuhi aneka barang dan kardus-kardus besar.

Aku kembali tercekat. Masih ada sebuah rak buku panjang dan tinggi di salah satu sisi dinding. Kosong. Entah ke mana koleksi buku yang dulu pernah menghuni rak itu.

"Mbak, aku belum bisa menentukan hendak menyingkirkan barang yang mana," celetuk Jody yang mengiringi langkah kami. "Masih ada beberapa barang besar di sini. Standing cooker, aneka peralatan makan berbahan keramik, dan macam-macam loyang kue ada di dapur. Standing cooker-nya model lama, sih. Tapi masih bisa berfungsi dengan baik."

Serasa ada yang menyumbat saluran napasku. Kucoba untuk mendegut ludah. Kerongkonganku terasa nyeri.

"Oh, ya, ada satu ruang kosong di lantai bawah. Entah bekas ruang kerja atau apa. Yang jelas ada grand piano di sana. Steinway. Kalau...."

Tanpa menunggu Jody mengakhiri ucapannya, aku segera 'terbang' ke lantai bawah.

* * *

Kali ini air mataku benar-benar runtuh. Kompor gas besar itu masih berdiri kokoh di tempat biasanya. Mendadak aroma wangi-gurih-lezat bika ambon tercium samar oleh hidungku. Sama seperti dulu ketika oven kompor itu sedang mematangkan dua-tiga loyang bika ambon dengan bentuk, tekstur, dan rasa yang sangat sempurna menurut mata dan lidahku.

Kuhapus air mataku. Seketika aroma lezat itu menghilang. Pelan, kudekati lemari tinggi terbuat dari kayu jati di sudut dapur. Dengan tangan sedikit gemetar kubuka pintunya. Tumpukan mangkok, piring aneka ukuran, cangkir beserta tatakannya dalam satu setel corak yang sama dan tertata rapi sesuai jenisnya, segera menyergap pandanganku. Di rak sebelah bawah, ada tumpukan loyang beraneka jenis, bentuk, dan ukuran.

Kususut lagi air mataku yang masih tersisa ketika kudengar langkah beberapa pasang kaki. Benar. Jody, Mas Diar, dan Ilda muncul di belakangku.

"Bu, aku pilih kamar yang di sebelah kamar utama," celetuk Ilda. "Mas Ansel yang  di seberangnya."

Aku mengangguk sambil menutup pintu lemari. Tapi tangan Mas Diar menahannya. Ia melongokkan kepala dari belakang bahuku untuk melihat isi lemari.

"Wah, sayang kalau ini disingkirkan," gumamnya. "Disimpan saja, Bu."

Aku kembali mengangguk tanpa suara. Mereka bertiga berpindah untuk melihat-lihat teras belakang. Aku sendiri beringsut ke ruang yang ada di sebelah dapur. Tanganku masih gemetar ketika membuka pintunya. Dua hal yang kemudian menyergap mata dan hatiku adalah sebuah grand piano berwarna hitam mengilap yang berdiri tegak di sudut dekat jendela, dan suasana kosong.

Kulepaskan sandal ketika masuk ke ruangan itu. Kehangatan lantai kayu menyapa telapak kakiku. Sensasinya tetap sama seperti dulu. Kehangatan yang menjalar hingga ke hati. Pelan, aku mendekati grand piano itu. Kubuka tutupnya, dan mencoba mendetingkan beberapa tuts secara acak. Suaranya masih terdengar bening, mungkin perlu disetem ulang, tapi secara keseluruhan masih cukup sempurna.

"Wah, aku sudah lama ingin punya Steinway grand, Bu!"

Seruan Ansel membuatku tersentak.

"Boleh ruang ini buat ruang musik saja?"

Aku tersenyum sembari mengangguk. Ansel dan Ilda memang menguasai alat musik piano, keyboard, dan gitar dengan sangat baik. Mereka kuleskan secara privat sejak masih berusia tiga tahun. Tanpa paksaan, karena mereka memang berbakat dan memiliki minat tinggi.

"Nanti biar Ibu minta tolong Om Jody masukin upright piano kita dan semua alat musik ke sini," ujarku.

Dengan langkah lebar tanpa suara, Ansel mendekati piano itu. Ia juga melepaskan alas kaki sepertiku.

"Wow!" desahnya sambil mengelus grand piano itu. "Ini harganya bisa lebih dari setengah M, lho, Bu! Kok, bisa ditinggalin begini saja sama pemiliknya?"

Gumaman Ansel seketika membuatku tersentak.

Pemiliknya???

Yang kutahu, salah satunya sudah dimakamkan sekitar dua puluh tahun yang lalu. Lalu yang lainnya?

Tanpa berpikir panjang, aku berlari keluar untuk menemukan penjelasan dari Mas Diar. Dan, laki-laki belahan jiwaku itu hampir saja kutubruk di ambang pintu.

* * *

"Itu Ibu Siti, Bu," ucap perempuan berseragam putih yang kuiringi langkahnya.

Kami sudah sampai di ruang luas semacam aula. Ada beberapa kelompok lansia perempuan dalam berbagai usia dan kegiatan di sana. Ada yang sudah harus berkursi roda dan didampingi penjaga khusus, ada juga yang kelihatan masih bugar dan sehat. Golongan kedua ini tampak asyik menekuni kegiatan masing-masing. Ada yang duduk santai membaca, ada yang duduk menghadap meja dan laptop, ada yang mengobrol secara berkelompok, ada yang merajut sambil mengobrol dalam kelompok lain, ada yang sibuk mengerjakan patchwork, dan masih banyak lagi.

Kuikuti arah jempol Bu Sam, salah seorang pengurus panti wreda. Dan, aku pun terpaku menatap ke arah itu dari seberang ruangan.

Perempuan sepuh bersanggul cepol bertubuh ramping itu masih terlihat tegak dan gesit melayani sesama lansia seusianya. Tampak kesabaran memancar dari wajah beliau saat mendengarkan seseorang berbicara. Wajah beliau yang sudah mulai berkeriput masih jelas menunjukkan sisa-sisa kecantikan di masa lalu. Kuhitung-hitung, usia beliau sudah sekitar 69-70 tahun saat ini. Aku tercekat.

"Monggo...," ucap Bu Sam halus sebelum meninggalkan aku.

Dengan langkah pelan, sedikit ragu, kudekati perempuan sepuh nan ayu yang dipanggil sebagai 'Ibu Siti' itu. Nama lengkapnya Siti Nastiti. Sepanjang aku mengenal beliau, aku menyebutnya sebagai Bu Titik.

Makin dekat, kakiku terasa makin lemah. Hingga jarakku tinggal semeter lagi dari beliau, yang tengah menunduk, memotongkan seporsi keik untuk seorang perempuan yang duduk di kursi roda. Kudegut ludah terlebih dulu, sebelum membisikkan namanya.

"Bu Titik...."

Sejenak perempuan itu tertegun sebelum menegakkan punggung. Beliau menoleh dan menatapku.

"Ya?" sahut beliau dengan rasa heran memenuhi wajah.

Hanya sedetik, sebelum beliau menyadari sesuatu. Perempuan berwajah teduh itu lalu ternganga, dan menutup mulut dengan sebelah tangan. Menatapku dengan mata dibuka lebar-lebar.

"Astaga! Tessa? Tessa? Benar Tessa-kah?" bisiknya kemudian, dengan nada tak percaya.

Beliau masih mengenaliku!

Aku hanya bisa mengangguk dan menghambur ke dalam pelukan beliau. Pelukan yang selalu terasa hangat hingga ke dalam hati. Entah kenapa, sebersit aroma wangi bika ambon tiba-tiba saja mengelus hidungku.

* * *

"Jadi Pak Hediarto itu suamimu, Nduk?" tanya Bu Titik lembut, sambil menyodorkan piring kecil berisi dua potong bika ambon yang baru saja diirisnya.

Aku mengangguk sembari menggumamkan terima kasih. Diam-diam, kuhirup aroma wangi-gurih-lezat bika ambon itu dalam-dalam. Bika ambon buatan Bu Titik. Yang tak pernah berubah dalam ingatanku.

Beliau duduk di sofa di dekatku. Tangan beliau menumpu di atas lututku.

"Jadi, selama ini kamu menghilang ke mana?"

Aku mengerjapkan mata. Terasa hangat dan basah.

"Saya... pindah ke... Mairino, Bu. Segera setelah... menikah dengan... Mas Diar," jawabku, terbata-bata.

"Ah, dia laki-laki yang baik, gumamnya setelah mendesah lega. "Dia pernah ke sini dengan Mas Rama."

Dua hari lalu, saat pertama menginjakkan kaki di Rumah Jacaranda, dan menemukan begitu banyak serpihan-serpihan kenangan, aku mendapatkan penjelasan dari Mas Diar, bahwa dia memperoleh rumah ini dari agen properti bernama Rama. Mas Diar sempat bertemu Ibu Siti Nastiti, pemilik Rumah Jacaranda, dan mendapatkan aneka wejangan, termasuk agar Mas Diar merawat beberapa barang yang masih tertinggal. Tapi Bu Titik tidak memaksa. Kalau memang Mas Diar terganggu dengan barang-barang itu, beliau minta agar Mas Diar mengirim barang-barang itu ke sini.

Bu Titik sudah sepuluh tahun lamanya meninggalkan Rumah Jacaranda dan tinggal di sini. Panti wreda swasta di pinggir kota Regentum ini dulunya milik salah seorang bibi Bu Titik. Ketika sang bibi berpulang, Bu Titik pun mengambilalihnya dan tinggal di sini.

"Aku kesepian setelah ayahmu berpulang." Beliau menyandarkan punggung ke sofa.

Ingin rasanya aku menangis tersedu ketika beliau menyebutkan Pak Waluyo sebagai ‘ayahmu’.

"Arina...," disebutkannya nama putri bungsu beliau. "Sebetulnya dia sudah berkali-kali mendesakku agar mau ikut dia, hidup di Austria. Tapi ini tanah airku, Tessa. Semua kerabatku ada di sini. Makam ayahmu dan Drian pun di sini.”

Mendengar Bu Titik menyebut nama Drian, pertahananku pun runtuh. Air mataku meleleh tanpa bisa kucegah. Bu Titik menegakkan punggungnya, mengulurkan tangan, dan menarikku ke dalam pelukannya.

* * *

Seandainya Drian tidak berpulang begitu cepat di usia mudanya, barangkali sudah sejak dulu aku tinggal di Rumah Jacaranda. Barangkali Bu Titik tidak harus 'mengungsi' ke panti jompo karena aku pasti akan mengurus beliau sebaik-baiknya.

Aku bersahabat dengan Drian sejak pertama kali bertemu di ruang kelas sebuah TK. Dan, sesudahnya kami bagai tak terpisahkan. Kami tidak melulu bersekolah lanjutan di tempat yang sama, tapi kami tetap sedekat semut dan gula. Ketika Drian menyatakan cintanya padaku, saat itulah aku mulai merajut mimpi tentang tinggal di Rumah Jacaranda bersamanya kelak.

Drian mengajakku main ke Rumah Jacaranda sesering dia main ke rumahku. Ketika keluargaku 'habis' karena jadi korban kecelakaan lalu lintas beruntun, Drian dan keluarganyalah yang mendampingiku.

Saat itu aku baru kelas dua SMA. Berkeras tinggal di rumah sendirian sementara ayah, ibu, dan kedua abangku pergi menghadiri resepsi pernikahan salah seorang sepupuku di luar kota. Dalam perjalanan pulang, sebuah truk trailer yang oleng menabrak sebuah bus, dan menyeretnya hingga ganti menghantam mobil yang dikendarai Ayah. Ketika berita itu sampai di telingaku, aku pun limbung. Banyak kerabat yang menemaniku, tapi yang benar-benar mendampingiku adalah keluarga Drian. Bahkan Bu Titik dan Pak Waluyo memintaku untuk tinggal di Rumah Jacaranda. Kerabatku setuju. Aku pun pindah ke sana untuk sementara waktu.

Selewat seratus hari kepergian orang-orang terdekatku, aku kembali ke rumahku sendiri, walaupun keluarga Pak Waluyo merasa keberatan. Tapi aku merasa sudah cukup kuat untuk hidup sendiri.

Drian makin sering mengajakku ke Rumah Jacaranda. Bu Titik suka sekali membuat kue. Andalannya adalah bika ambon yang selalu sempurna rasa dan penampilannya. Bika ambon yang masih mengepulkan asap dan aroma wangi tak terlupakan saat dikeluarkan dari oven standing cooker.

Hingga semua impianku buyar berantakan ketika Drian harus berpulang.

* * *

Tepat sebulan setelah Drian dan aku berulang tahun ke-21 (bahkan kami pun berbagi tanggal ulang tahun yang sama), Drian jatuh sakit. Vonis yang dijatuhkan oleh empat dokter yang berbeda adalah sama. Kanker kelenjar getah bening.

Dan, hari-hari selanjutnya adalah berbagai episode perjuangan yang panjang dan melelahkan. Drian masih bisa menyelesaikan skripsi, masih mampu memberikan les privat piano, masih berusaha sekuat tenaga menjalani kesibukan seperti layaknya Drian yang 'normal', di sela-sela jadwal kemoterapinya. Aku dan Rumah Jacaranda menjadi saksi perjuangan itu.

Hingga Yang Punya Hidup pun menggunakan hak vetoNya dalam berkehendak. Memanggilnya pulang setelah hampir tiga tahun Drian berjuang untuk bertahan hidup. Pak Waluyo dan Bu Titik kehilangan putra sulung mereka, Arina kehilangan satu-satunya abang yang dia sayangi dan meyayanginya sepenuh hati, Rumah Jacaranda kehilangan pendenting piano penyemarak suasana, dan aku kehilangan seluruh matahariku.

Satu-satunya hal yang membuatku merasa terikat dengan Rumah Jacaranda adalah Drian. Setelah Drian pergi, terurai sudah ikatan itu. Setidaknya begitulah bagiku.

Seusai peringatan seratus hari berpulangnya Drian, aku memutuskan untuk mengundurkan diri selamanya dari Rumah Jacaranda. Membangun kehidupanku sendiri dengan menjual rumah peninggalan orang tuaku, dan hijrah ke sebuah kompleks daerah satelit di tepi kota Regentum. Menempati sebuah rumah mungil berkamar satu. Mulai meniti karier di sebuah bank swasta. Hanya menengok makam Drian pada saat yang tak tentu. Dan, ujungnya adalah aku menerima begitu saja pinangan Mas Diar, laki-laki yang dikenalkan oleh salah seorang kerabatku.

Tepat pada peringatan seribu hari berpulangnya Drian, aku menikah dengan Mas Diar, dan langsung diboyong ke Mairino. Tak sehuruf pun undangan dan kata pamit kusampaikan kepada keluarga Rumah Jacaranda. Matahariku sudah telanjur tenggelam di sana.

Pada akhirnya aku memang menemukan matahari yang lain. Matahari yang kemudian tak pernah putus menyinari kehidupanku. Bahkan matahariku itu pula yang membawaku kembali ke Rumah Jacaranda.

Apakah aku berhak untuk meminta lebih?

* * *

"Bu, pulanglah bersama kami, ke Rumah Jacaranda," ucapku tiba-tiba. Tapi benar, aku bersungguh-sungguh.

Bu Titik menatapku lama. Aku tak bisa menyelami apa yang beliau pikirkan.

"Saya akan mengurus Ibu baik-baik," lanjutku. "Menemani Ibu sepanjang waktu. Memberi Ibu apa pun yang Ibu inginkan. Sama sekali bukan balas budi, Bu. Karena saya benar-benar ingin melakukannya tanpa alasan. Saya menyayangi Ibu. Mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya pernah menghilang dari kehidupan Rumah Jacaranda. Saya tidak akan melakukannya lagi."

Bu Titik tampak tercenung.

"Anak-anak saya pasti bahagia bisa punya nenek," gumamku. "Selama ini kata 'nenek' cuma sekadar bayangan yang mereka tak bisa jangkau, karena Mas Diar pun yatim piatu seperti saya."

Sekilas, kulihat ada bersit-bersit keinginan berpendar dalam mata beliau. Bu Titik mengerjapkan mata beberapa kali. Tampak basah.

"Nduk...," ucapnya dengan suara bergetar. "Rumah Jacaranda itu sebetulnya memang untuk Drian. Untuk kalian. Sekarang Drian sudah tidak ada. Tapi hidupmu masih terus berjalan. Tampaknya, apa yang memang sudah seharusnya jadi milikmu, akan tetap menjadi milikmu. Bagaimanapun caranya."

Sebutir air mata menggelincir di pipi kiri Bu Titik. Airmataku sendiri? Sudah membanjir sedari tadi.

"Buatlah kenangan baru bersama keluargamu di sana," lanjut beliau, dengan suara tetap bergetar. "Aku sudah cukup bahagia melihat kebahagiaanmu dari jauh. Biarkan matahari kembali menyinari Rumah Jacaranda. Mataharimu dan keluarga kecil kalian. Janji?"

Aku tak mampu menjawab. Hanya bisa menenggelamkanku dalam pelukan hangat beliau. Entah untuk keberapa kalinya sepanjang hidupku.

* * *

Perlahan, Rumah Jacaranda kembali menemukan sinarnya. Sedikit demi sedikit aku pun mengikis rasa pahit yang masih tertinggal setitik-setitik di hatiku.

Seringkali menjelang sore hari, saat menunggu anak-anak pulang dari sekolah dan Mas Diar pulang kerja, aku hanya duduk diam di teras depan. Seperti juga menjelang sore ini. Tatapanku selalu tertuju pada sepasang pohon palem di depan pagar. Sepasang pohon palem raja yang mendiang Drian dan aku tanam tepat saat ulang tahun ke-21 kami. Sepasang pohon palem yang tumbuh besar, tinggi, dan tegar berdampingan, seolah menjaga Rumah Jacaranda. Seperti juga dulu harapanku dan Drian. Ingin bersama menjaga Rumah Jacaranda selamanya.

Aku masih mencintai Drian? Mungkin iya hingga detik ini. Tapi aku pun masih memiliki cinta yang lain. Mas Diar. Hediarto. Belahan jiwa yang dikirimkan oleh Tuhan padaku. Cinta yang nyata dan bukan sekadar bayang semu sisa romantika masa lalu seperti kisahku dengan Drian.

Aku sudah lama mengikhlaskan kepergian Drian. Awalnya aku tak menyadari hal itu. Tapi kembali ke Rumah Jacaranda membuatku benar-benar memahaminya. Bahwa Drian dikirim Tuhan untuk membuatku bahagia di masa lalu. Dan, tugasnya sudah selesai. Sudah lama selesai.

Bahagia itu diciptakan, bukan dicari. Mas Diar selalu mengajakku untuk menciptakan kebahagiaan itu dalam rumah kami, terlebih di Rumah Jacaranda ini. Keluasan hatinya untuk menerima semua kenanganku di rumah ini membuatku makin tak mampu berpaling darinya.

"Bu, kerjaan saya sudah selesai."

Suara halus itu menyentakkan aku. Lho, sudah waktunya Mak Supi pulang? Kok, anak-anak belum datang?

"Saya pulang dulu, ya, Bu?" lanjut Mak Supi.

Aku buru-buru mengangguk sembari mengucapkan terima kasih. Kutatap punggungnya yang makin menjauh. Lalu kulihat layar ponselku. Sudah hampir pukul lima sore. Seharusnya anak-anak sudah pulang sejak sejam yang lalu.

Kuhubungi ponsel Ansel. Mati. Kemudian ponsel Ilda. Tak terjawab. Aduh! Ke mana anak-anak ini?

Aku hampir terloncat kaget ketika mendadak saja ponselku berbunyi nyaring. Telepon dari Mas Diar.

"Anak-anak ada sama aku," ujarnya setelah membalas salamku. Bahkan sebelum aku mengutarakan kekhawatiranku. "Ini kami sudah mau pulang, kok."

Segera saja aku bernapas lega.

"Tadi kami habis cari kado buat Ibu," ujar Mas Diar lagi.

"Ih! Aku ultah sudah kemarin, kadonya baru sekarang. Itu juga harus ditagih dulu." Aku berlagak menggerutu.

Di seberang sana, Mas Diar tertawa panjang. Dan, aku pun ikut tertawa bersamanya.

* * *

Menjelang pukul setengah enam, barulah kulihat mobil Mas Diar berkelebat melintas di depan pagar. Aku segera berlari masuk untuk membuka pintu garasi dan pagar samping. Beberapa detik kemudian, Mas Dian sudah meluncurkan mobilnya masuk ke garasi. Mas Dian pun turun dari mobil dan menghampiriku.

"Mana anak-anak?" tanyaku.

"Sini, Ibu aku tutupin dulu matanya," ujarnya seraya meraihku. "Kan, mau kasih kejutan."

Baiklah.... Aku menurut ketika Mas Diar melingkarkan lengannya dari arah belakang tubuhku, dan menutupi kedua mataku rapat-rapat dengan jemarinya. Kudengar pintu mobil terbuka dan tertutup. Tak ada hitungan detik, sebersit aroma yang kukenal betul mengelus indra penciumanku.

Aroma wangi-gurih-lezat itu....

"Aaah! Bika ambon Eyang Titik!!!" seruku nyaris histeris.

Kudengar Mas Diar tetawa di belakangku. Ia masih saja menutupi mataku rapat-rapat. Lalu, sebuah ciuman lembut menyapu kedua pipiku. Aku mengernyit. Tunggu! Ini bukan ciuman anak-anak, apalagi ciuman Mas Diar. Tepat saat itu, Mas Diar menyingkirkan tangannya dari depan mataku.

"Selamat ulang tahun, Nduk.... Maaf, terlambat sehari."

Senyum teduh itu menyambutku. Kutatap Bu Titik dengan mata bulat dan mulut ternganga. Sambil tertawa, disodorkannya kotak besar terbuka berisi bika ambon itu ke hadapanku. Aku segera meraih kotak itu dan menyerahkannya kepada Mas Diar, kemudian memeluk Bu Titik.

Pada saat itu, mataku tertumbuk pada sesuatu. Anak-anak tengah sibuk mengeluarkan beberapa barang dari bagasi. Koper-koper, beberapa tas besar, beberapa dos. Mereka nyengir ketika aku masih susah mengerjapkan mata.

"Eyang mau pindah ke sini, Bu!" seru mereka berbarengan.

Seketika kulepaskan pelukanku. Kutatap Bu Titik. Beliau kembali menyimpulkan seulas senyum teduh, kemudian mengangguk.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Hadiah ini terlalu indah buatku. Aku pun kembali memeluk Bu Titik.

* * *

Seharusnya aku curiga ketika sebulan lalu secara mendadak Mas Diar berniat mengubah dan memperluas kamar ART di lantai bawah. Kamar dan ruang kosong di sebelahnya, yang awalnya berfungsi sebagai gudang, dirombaknya. Dijadikan satu ruangan cukup besar. Tidak seluas kamar utama, tapi lebih luas daripada kamar anak-anak. Barang-barang yang ada di gudang, dipindahkan dan ditata rapi di garasi yang masih sangat longgar. Katanya, hendak difungsikan sebagai kamar untuk tamu.

"Kan, kita sudah punya kamar kosong buat tamu di atas," protesku.

"Kamar yang itu mau aku pakai buat ruang kerja, Bu," kilahnya. "Kamar untuk tamu dipindah ke sini saja."

Aku terpaksa menyetujuinya. Bekas kamar Drian di lantai atas memang tak ada yang menempati. Ansel sudah memilih kamar yang dulu disediakan untuk tamu, sedangkan Ilda memilih bekas kamar Arina.

Dan, kamar baru di bawah itu? Tentu saja untuk Bu Titik. Entah sudah berapa lama mereka merencanakan kejutan ini.

Anak-anak antusias sekali walaupun harus berkali-kali bolak-balik dari garasi ke kamar Bu Titik untuk memboyong barang-barang. Tawa riang mereka sudah cukup mengisyaratkan betapa bahagianya mereka kini memiliki nenek.

Ketika Bu Titik ikut aku masuk ke dapur untuk membuat minuman, beliau terlihat berdiri diam di ambang pintu. Tatapannya jatuh ke satu titik. Standing cooker-nya masih berdiri tegak dan anggun, tepat di sebelah standing cooker kesayanganku yang kuboyong dari Mairino. Tampak sangat bersih, mengilat, dan terawat baik.

"Kenapa, Bu?' usikku.

"Kamu... tidak membuang komporku?" bisiknya.

"Dan, bakal kehilangan aroma bika ambon buatan Ibu?" Senyumku melebar. "Tentu saja tidak."

Beliau menghampiriku. Dipeluknya aku sambil membisikkan terima kasih. Kubalas dengan ucapan terima kasih serupa, karena beliau sudah bersedia tinggal kembali di sini. Di Rumah Jacaranda kami.

"Oh, berterima kasihlah pada suamimu, Tessa," ucapnya halus. "Dia negosiator yang handal."

Aku ternganga. Mas Diar? Apa yang sudah dia lakukan?

"Dan, satu lagi, dia sangat mencintaimu. Amat sangat mencintaimu."

Aku terkesima mendengar ucapan Bu Titik. Wajah beliau pun terlihat benar-benar serius.

* * *


EPILOG


Siti Nastiti menatap tajam laki-laki yang duduk di seberangnya itu. Sikap Hediarto cukup takzim, tapi tidak mengurangi ketegasannya. Dengan tegar, Hediarto menentang tatapan Siti Nastiti.

"Ibu mau paksa saya dengan cara apa pun, saya tetap tidak bisa, Bu," ucap laki-laki itu. Teguh. "Kecuali...."

Siti Nastiti menurunkan tegangan yang mengalir melalui sorot matanya.

"Kecuali apa?" sambarnya.

"Kecuali Ibu bersedia kembali ke Rumah Jacaranda, dan tinggal bersama kami."

Siti Nastiti mendegut ludah. Masih ditatapnya Hediarto.

"Kenapa?" gumamnya.

"Karena itu syarat yang saya ajukan bila Ibu bermaksud hendak mengembalikan uang saya."

"Bukan itu maksud saya," tukas Siti Nastiti, halus. "Kenapa Mas Diar rela saya tinggal di rumah Mas bersama keluarga Mas, sementara saya adalah bagian dari masa lalu istri Mas?"

"Oh," sekejap Hediarto tersenyum. "Karena saya mencintai Tessa, Bu. Lagipula, Tessa sekarang menjadi belahan jiwa saya justru karena adanya masa lalu itu. Dan, kebahagiaan Tessa adalah segalanya buat saya. Saya tahu, salah satu kebahagiaan Tessa adalah bila Ibu bersedia kembali ke Rumah Jacaranda. Jadi, kita barter. Saya bersedia menerima kembali uang pembelian Rumah Jacaranda, asal Ibu bersedia tinggal bersama kami."

Siti Nastiti terdiam sejenak.

Ia sudah menjalani pembicaraan panjang dengan putri bungsunya yang sudah menjadi WN Austria, ikut suaminya. Arina setuju ibunya mengembalikan uang pembelian Rumah Jacaranda kepada pemilik barunya. Bukankah jatuhnya Rumah Jacaranda ke tangan Tessa juga pada akhirnya?

Ikut Tessa....

Bukankah itu yang pernah ia impikan saat masih ada Drian? Menitipkan hidup pada Drian dan Tessa bila usianya makin lanjut kelak. Jauh hari ia sudah memahami impian Arina untuk melanglang jauh ke negeri-negeri asing. Rasa-rasanya, ia tak sanggup bila harus ikut Arina. Dan benar, Arina sudah sekian tahun berlabuh di Austria. Hanya sesekali pulang ke tanah air bersama suami dan anak tunggalnya untuk sekadar berlibur.

Siti Nastiti mengerjapkan mata. Kembali ditatapnya Hediarto. Laki-laki itu tetap tenang. Menunggu jawabannya. Dicarinya berkas-berkas penolakan dan pengingkaran dalam setiap lorong tersembunyi mata laki-laki itu. Tapi ia tak menemukannya setitik pun.

Maka, ia memutuskan untuk menjemput impiannya dan mengangguk. Membuat Hediarto mengembuskan napas lega dan mengembangkan senyum bahagianya.

"Kalau begitu, segera saya siapkan kamar untuk Ibu," Herdian hampir berseru saking antusiasnya. "Di lantai bawah saja, ya, Bu? Supaya Ibu tidak capek naik-turun."

Siti Nastiti tertawa lega. Ia kemudian mengangguk.

"Jangan lupa, nomor rekeningnya, Mas," ia kemudian mengingatkan dengan halus.

"Oh, itu nanti, Bu," Hediarto tetap mempertahankan senyum lebarnya. Kali ini diwarnai rona kemenangan. "Kalau nama Ibu sudah benar-benar tercantum di KK Rumah Jacaranda bersama kami."

Siti Nastiti tertawa lagi begitu menyadari arti ucapan Hediarto. Tawa yang sangat lebar dan lepas.

* * * * *



Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

3 komentar:

  1. It reminds me of THAT home nya. Miss her bika ambon and spicy mlinjo chips so much. RIP mom 'n dad Danto 'n their youngest son.
    Awak serius ngene jok diguyu ta nya !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ora... Aku ora ngguyu, mek sempat keselek ae moco komenmu. Nita meteng maneh tah? Kok tumben komenmu nggenah, Nyut? Biasane nek slendromu waras Nita pas meteng maneh 😆😆😆

      Hapus
    2. Wanyiiiiiik komen kapan balese kapan. Wkkkkkkkk GAK METENG AREKE HADOOOOOO wkkkkkkk
      Kandani es dibumpeti kok wkkkkkkkkk

      Hapus