Sebelumnya
* * *
“Jadi... Gimana kamu dengan Ken?”
Ingrid hampir saja tersedak teh lemon hangat yang disesapnya. Matanya bulat menatap Bimbim. Pemuda itu balik menatapnya. Mengirimkan senyum manis tanpa dosa. Ingrid menarik napas cukup panjang sebelum menjawab.
“Aku nggak tahu,” gelengnya.
“Lho?” Bimbim terbengong sejenak. Dikerjapkannya mata.
“Aku baru sekali kemarin itu ketemu lagi,” lanjut Ingrid. “Dia antar oleh-oleh dari Inggris buat aku.”
“Oh...,” Bimbim manggut-manggut. “Lagi libur?” Nadanya terdengar sambil lalu. Apalagi Bimbim melanjutkan gerakan mulutnya dengan melahap sesendok nasi goreng daging asap pedas.
“Enggak,” Ingrid kembali menggeleng. “Sudah selesai.”
Hening sejenak. Sebelum mencoba menikmati makanan yang terhidang di depannya, Ingrid menatap Bimbim. Serius.
“Jadi, apa saja yang diceritakan Abang soal Ken?”
Bimbim menghentikan kunyahannya. Ia menelan makanan dalam mulut dan balik menatap Ingrid.
“Cuma soal kamu suka sama Ken, dan dicuekin Ken. Itu saja.”
Mendadak telinga dan pipi Ingrid menghangat. Mulut ember bener si Abang! Diam-diam ia ingin mengunyah Ernest.
“Cuma itu?” Ingrid berusaha memastikan dengan suara seolah terjepit di tenggorokan.
“Iya,” Bimbim mengangguk tegas. “Cuma itu.” ... dan soal ketidakmampuanmu melepaskan diri darinya, sambung Bimbim dalam hati.
Ingrid menghela napas panjang. Sedikit tersentak ketika suara Bimbim menggema lagi di telinganya dengan nada rendah.
“Dia sekarang sudah pulang, mencarimu, dan...,” Bimbim membuka kedua telapak tangan dan mengedikkan bahu. “Masalah selesai, kan?”
Ingrid tercenung.
* * *
Bimbim menatap punggung Ingrid yang kian menjauh. Pada akhirnya, pembicaraan soal dia jadi pengemudi ojol bergulir juga. Beberapa saat lalu. Ketika mereka menikmati makan pagi berdua di sudut belakang Erbim Jaya. Sejauh ini, tanggapan yang didapatnya dari Ingrid cukup positif.
“Buatku, gila aja, Mas,” senyum Ingrid. “Mas Bimbim, anak petinggi bank swasta terkemuka, anak bos katering terkenal, punya usaha sendiri yang nggak main-main skalanya, masih mau ngojol.”
Bimbim mengangkat wajah. Ditatapnya Ingrid.
“Menurutmu, jadi ojol itu pekerjaan rendah?”
“Oh, enggak!” Ingrid menyahut cepat. “Menurutku itu pekerjaan halal yang sama derajatnya dengan pekerjaan-pekerjaan halal lainnya.”
Dan, Bimbim menemukan kesungguhan dalam sorot mata Ingrid.
“Kebanyakan pelakunya, kan, bukan dari kalangan mapan,” lanjut Ingrid. “Kebanyakan, lho, ya? Yang pegang motor. Kalau taksol lain lagi ceritanya. Minimal pegang mobil, kan? Dan Mas Bim? Wow!” Ingrid menggeleng. “Nggak gengsi ambil pekerjaan ojol walaupun cuma buat sambilan, sekadar nutup uang bensin. Buatku, itu keren!”
Bimbim takjub menatap binar dalam mata Ingrid.
Keren? Ingrid bilang aku keren? Mimpi apa aku semalam?
Bimbim mengulum senyum.
Bunyi ponsel yang menggema dalam kabin mobil mungil Ingrid membuat lamunan Bimbim terputus. Dikeluarkannya benda itu dari dalam saku kemeja lengan pendeknya. Pesan dari Ernest.
‘Lu lagi di mana?’
‘Ini tungguin Ingrid ketemu dosennya,’ balasnya. ‘Lu lagi di Tangsel sama emak lu, ya?’
‘Iya, nih! Eh, lu bisa gantiin gue ngurusin perpanjangan kontrak di Depok? Dokumennya dah gue siapin di kantor.’
‘Oke, deh! Habis Ingrid kelar urusannya coba gue anterin dia pulang dulu. Terus gue kelarin urusan kontrak.’
“Lu ajak dia aja, Bim. Biar gak ngerem melulu di rumah tuh anak.’
Bimbim tersenyum lebar.
‘Ya, nanti gue tanyain dia dulu, mau ikut apa kagak. Masa gue maksa?’
‘Ya, deh. Trims, bro!’
Dan, Bimbim langsung berdoa dalam hati. Semoga Ingrid mau diajaknya ‘mengukur jalan’ kali ini.
* * *
Ingrid termangu dalam hening. Lorong tempat ia duduk menunggu giliran konsultasi sungguh sepi. Pukul sembilan masih beberapa menit lagi. Rupanya ada yang terjadwal bertemu dengan dosen yang sama sebelum ia.
“Dia sekarang sudah pulang, mencarimu, dan masalah selesai, kan?”
Ucapan Bimbim terngiang lagi di telinganya. Sesuatu yang justru membuatnya merasa kebingungan.
Seharusnya, se-ha-rus-nya, ia merasa girang tak terperi bisa bertemu lagi dengan Ken. Pun menerima perhatian yang lebih dari Ken. Tapi kenapa ada perasaan mengganjal? Apakah hal itu, ia sungguh-sungguh tidak tahu. Hanya merasa saja, tanpa bisa menjabarkannya.
Ia senang bertemu kembali dengan Ken? Pasti. Hanya saja seusai pertemuan itu, ia merasa seolah menggelincir turun kembali dari titik tertinggi.
Sudah bertemu, lalu apa?
Ingrid mengerjapkan mata. Satu hal yang ia tahu pasti. Ia sungguh-sungguh belum mengenal Ken. Dan, itu membuatnya merasa kurang nyaman.
Pintu di dekatnya terbuka, dan seorang pemuda seusia dirinya keluar. Ingrid tersenyum menyambutnya.
“Kayaknya lagi enak hati, tuh, Pak Surya,” bisik pemuda itu.
“Oh...,” senyum Ingrid melebar.
Keduanya kemudian melanjutkan niat masing-masing. Pemuda itu meninggalkan lorong di depan ruang dosen, dan Ingrid masuk untuk menyelesaikan urusannya.
* * *
‘Kalau benar ciri-cirinya seperti yang kamu sebutkan, kayaknya itu Bimbim. Teman Ernest, abang Ingrid.’
Diulangnya membaca pesan balasan dari Lulu. Satu-satunya hal yang terpikirkan adalah mengirim pesan kepada Lulu, dan menanyakan siapa kira-kira pemuda yang mengantar Ingrid ke kampus pagi ini. Ia kemudian mengetikkan pesan berikutnya.
‘Memangnya ada yang lain, Mbak?’
‘Oh, ada!’ Balasannya cepat sekali muncul di layar. ‘Teman Erwin. Namanya Endra. Salah satu petinggi Eternal Corp..’
Ken terbatuk tiba-tiba.
Eternal Corp.? Eternal Corp.???
Ternyata saingannya tidak main-main. Nyalinya mulai menciut. Ia, Ken Prabata, beberapa detik lalu masih merasakan kebanggaan karena sudah diterima menjadi jajaran staf Eternal Trading yang berkantor cabang di Singapura, dan akan mulai bekerja bulan depan. Eternal Trading adalah salah satu anak perusahaan baru Eternal Corp.. Baru sekitar empat tahun berdiri. Tapi reputasinya jangan ditanya lagi. Dan kini, kebanggaan itu menguap entah ke mana. Ternyata....
Aku cuma sekadar keset di Eternal Corp..
Ken meringis. Nelangsa. Dan, pesan berikutnya membuatnya mati kutu.
‘Oh, ya, kalau nggak salah, yang namanya Endra itu bos Eternal Mediserve dan Eternal Trading. Kamu keterima di Eternal Trading, ya? Selamat bersaing sama big boss-mu, deh! Hehehe...’
Ingin rasanya Ken melesap ke dalam perut bumi. Sekarang juga.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)