Rabu, 26 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #11-2









Sebelumnya



* * *



“Ngomong-ngomong, Sabtu besok ini kamu mau nonton di mana, In?” Endra menoleh sekilas sambil tetap mengendalikan laju mobilnya.

“Gimana kalau di CineNine?” Ingrid menoleh, menatap Endra.

“Boleh.... Boleh...,” Endra manggut-manggut. “Habis ini coba aku pesankan tiketnya.”

“Mm.... Boleh tanya, nggak?” Suara Ingrid terdengar ragu-ragu.

“Apa, tuh?”

“Mm.... Tumben Mas Endra ajak aku midnight-an?” Ingrid meringis.

“Oh....” Endra mendegut ludah. Aduh, In.... Itu gara-gara si Joya! Tapi ditelannya juga kalimat itu. “Kayaknya kamu suka nonton midnight, film yang rada berat. Aku juga. Jadi... kenapa kita nggak nonton bareng?” Endra kembali menoleh sekilas. Berharap Ingrid memercayai ‘kebohongan’-nya.

Sebetulnya, Endra tidak berbohong terlalu banyak. Ia juga gemar menikmati film horor, thriller, dan tema-tema agak berat lainnya. Apalagi yang diputar midnight di bioskop. Selama ini, ia sering ditemani dan menemani Joya, saat Ibeng sedang berada di Surabaya. Sayangnya, belum pernah terpikir untuk mengajak Ingrid. Sudah lebih dulu kalah set daripada Bimbim. Mengingat Bimbim, Endra menghela napas panjang.

“Ngomong-ngomong lagi, mm... Bimbim nggak apa-apa kamu pergi nonton sama aku?” ujarnya, setengah menggumam.

Ingrid tertegun sejenak sebelum menjawab, “Nggak apa-apalah. Apalagi, kan, Mas Endra duluan mengajakku.”

Perlu waktu beberapa detik bagi Endra untuk mencerna jawaban Ingrid dan menarik sebuah kesimpulan. Jadi....

“Oh, jadi Bimbim mau ajak kamu juga?”

“Hehehe.... Iya. Tapi beneran, sudah keduluan Mas Endra kemarin ngajaknya.”

“Oh....”

Kemudian hening. Cukup panjang karena mereka seperti dibelit pikiran masing-masing.

* * *

Sungguh, rasanya Ingrid seperti mendapat kejutan yang menyenangkan ketika mendapati bahwa Endra-lah yang menjemputnya. Ia tahu seperti apa kesibukan Endra. Dan, pemuda itu menyempatkan diri untuk menjemputnya, rasanya bolehlah ia sangat ge-er.

Mendapati bahwa Endra mengajaknya nonton film midnight, itu juga kejutan yang menyenangkan. Jujur, ia butuh suasana baru. Ia butuh teman nonton yang baru, meskipun Bimbim adalah teman nonton yang sangat menyenangkan. Mendapati bahwa Endra ternyata juga hobi menonton film midnight dengan genre yang juga disukainya, itu adalah kejutan menyenangkan yang lain.

Rasa-rasanya, ia seperti menemukan harta karun dalam diri Endra. Harta karun yang tergali sedikit demi sedikit. Endra tidak seperti Bimbim yang lumayan ‘ramai’. Endra cukup pendiam, sikapnya selalu tenang. Mungkin terbawa oleh keadaan bahwa ia adalah seorang pemimpin dari dua perusahaan besar dengan sekian ribu anak buah. Meskipun begitu, Endra yang dikenalnya bukanlah sosok yang membosankan. Obrolan mereka selama ini bisa dibilang sangat ‘nyambung’. Dengan mudahnya mereka bisa tertawa bersama karena hal yang sama-sama mereka anggap lucu.

Ia juga tak perlu jaim berada di samping Endra. Ia sudah kenal Endra saat ia masih SD. Kalau teman-teman Erwin lainnya lebih sering menggodanya sampai ia merasa jengkel, Endra tidak. Endra sama seperti Erwin. Memperlakukannya dengan sangat baik. Berubah menjadi lebih dewasa dengan mengemban tugas berat sebagai seorang pemimpin tak pernah membuat sikap rendah hati Endra berubah. Pemuda itu tetaplah Endra yang sama seperti Endra yang dikenal Ingrid selama ini. Bukan pemuda arogan yang sok kuasa. Semua itu mau tak mau menimbulkan perasaan hormat dalam hati Ingrid terhadap sosok seorang Endra.

Gema suara lembut Endra mendadak saja membuat Ingrid tersentak. Ia menoleh. Menatap Endra yang masih sibuk dengan kemudi mobilnya.

“Melamun?” tanya Endra, tanpa menoleh.

“Euh....”

Ingrid jadi malu sendiri karena dipergoki sedang membiarkan isi benaknya berkelana dan berhamburan ke segala arah.

“Tadi Mas Endra ngomong apa?”

“Mau nggak, mampir makan bakso dulu yang di dekat rumahmu itu?”

“Mau!” Ingrid menjawab seketika dengan nada sangat antusias. Sikap yang membuatnya jadi malu sendiri. Duh! Dasar doyan makan!

“Cak Blek, kan, ya?”

“He eh,” angguk Ingrid. “Bakso paling enak se-Jakarta.”

Endra tergelak ringan mendengarnya.

* * *

Selesai memesan tiket bioskop dan sudah menghadapi mangkuk bakso masing-masing, Endra menimbang-nimbang apakah perlu untuk membahas sesuatu dengan Ingrid. Tapi rasa penasarannya jugalah yang menang.

Dengan suara halus, ia kemudian berucap, “Mm.... Dengar-dengar, Ken sudah balik ke sini, ya?”

“Iya, sudah,” jawab Ingrid acuh tak acuh sambil menggigit sebuah siomay goreng.

“Jadi... gimana kamu sama Ken?”

Seketika Ingrid menghentikan acara makannya. Dengan mata bulat, ia menatap Endra.

“Sejauh apa, sih, Mas Endra tahu soal aku dan Ken?” tanyanya kemudian dengan nada sangat serius, setelah menelan kunyahannya.

Endra balas menatapnya. Terlihat sangat tenang. Sorot matanya terasa sangat teduh. Hingga mampu menyeret Ingrid sejenak dalam pesona itu.

“Mm... Ya, seperti yang abangmu tahu,” jawab Endra kemudian, dengan nada rendah.

Ingrid mengembuskan napas. Terlihat sedikit kesal. Endra jadi merasa bersalah karenanya.

Sorry, harusnya aku nggak lancang membahas ini,” gumamnya kemudian, dengan nada sangat tulus.

Ingrid menggeleng. “Nggak apa-apa.”

Dan, dengan jelas Endra bisa menangkap sinyal bahwa ada sesuatu yang Ingrid ingin sampaikan padanya.

“Kamu mau cerita apa?”

Tatapan Ingrid sejenak terlihat seperti menerawang. Menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengungkapkan perasaan apa yang selama disimpannya sendiri.

* * *

Tatapan Endra yang jatuh padanya terlihat begitu teduh. Membuat Ingrid seolah tak perlu lagi mengkhawatirkan apa-apa.

“Kamu mau cerita apa?”

Suara bernada halus itu kembali menyapa telinganya. Ia balas menatap Endra, walaupun tak sepenuhnya bisa fokus.

Ada hal baru yang didapatinya terkait dengan kembali bertemunya ia dengan Ken. Hal yang sebetulnya membuat ia terperanjat dan takut salah. Tapi entahlah, terhadap Endra, ia merasa bisa mengungkapkan perasaan itu. Kedua abangnya dirasanya terlalu jahil untuk memahami. Bimbim? Rasa-rasanya ia juga tak bisa mengungkapkan ini. Dihelanya napas panjang.

“Mas tahu, kan, aku suka sama Ken sudah sejak lama?” ujarnya kemudian.

“Iya,” Endra mengangguk, dengan mimik wajah beratensi penuh.

“Bisa dibilang, dia cinta pertamaku,” Ingrid sedikit tertunduk, dengan telinga dan wajah terasa menghangat. “Dan... kata orang, kan, first love never dies. Kupikir juga begitu.” Ingrid kembali menghela napas panjang. “Tapi... setelah bertemu lagi dengan dia, kok, rasanya malah justru hilang, ya? Padahal beneran, aku berharap bertemu dia lagi. Tapi habis bertemu, ya, sudah. Kayak balon menggelembung besar, terus tiba-tiba mengempis. Begitu saja. Nggak ada geregetnya. Aneh, nggak, sih?”

“Mm....” Endra meletakkan sendok dan garpunya. Ditangkupkannya kedua lengan bawah di atas meja. Wajahnya tetap serius. “Kamu nggak senang bertemu lagi dengannya?”

“Oh, senang,” Ingrid mengangguk tegas, “Senang sekali. Pada awalnya. Tapi setelah itu...,” Ingrid mengedikkan bahu.

“Nggak ada perasaan apa-apa?”

“Bener banget! Lalu apa, coba, perasaanku terhadap dia selama ini?”

“Mungkin ungkapan yang pas adalah...,” Endra berpikir sejenak, “... kamu seperti terlalu antusias bertemu dengan cowok mengagumkan, lalu kamu membiarkan fantasimu berkembang sedemikian rupa, dan ketika kembali menginjak bumi, ternyata fantasimu tidak sesuai dengan harapanmu. Begitu?”

Ingrid menatap Endra dengan takjub. Endra mampu menerjemahkan perasaannya dengan sangat pas.

“Bener banget,” desahnya. “Bener banget! Dan, pada akhirnya aku merasa enggan untuk memulai relasi sama dia karena rasa-rasanya terlalu banyak yang harus digali. Karena nyatanya aku sama sekali nggak tahu apa-apa tentang dia. Perasaan itu yang mengempiskan balonku itu tadi.”

Endra manggut-manggut.

“Aku pernah merasa kayak gitu,” ujarnya kemudian. “Adalah, sama seorang cewek. Dulu, waktu masih ABG. Ujungnya, aku merasa lebih cocok cuma berteman dengannya. Sama seperti yang kamu rasakan. Balonku mengempis begitu saja. Selewat rasa tertarik itu, semua jadi biasa saja. Jadi semacam perasaan yang ternyata kedaluwarsa kalau aku pikir, sih.”

“Yak! Tepat sekali!” Ingrid hampir tak bisa menahan seruannya. “Persis kayak gitu yang aku rasakan. Persis!”

“Jadi, sekarang apa masalahnya?”

Menerima pertanyaan itu, seketika Ingrid tertegun. Ya, apa masalahnya? Itu artinya....

“Aku sia-sia, ya, menghabiskan sekian banyak waktuku hanya untuk berfantasi?” ditatapnya Endra dengan putus asa.

“Enggaklah...,” Endra menggeleng. “Hidup jadi kering kalau tanpa fantasi, In. Apalagi ternyata fantasimu justru membawamu kembali ke suasana jernih dalam mengenali perasaanmu yang sebenarnya. Jadi kamu bisa menemukan sisi yang lain dari hidupmu sendiri. Sisi yang selama ini mungkin nggak terlalu kamu perhatikan.”

Ingrid terdiam. Rasa-rasanya, ia mulai menemukan sesuatu.

* * *

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



Silakan singgah juga ke artikel di AksaraLizz. Judulnya "Menyadur Pun Perlu Adab, Sebuah Opini".Terima kasih....