Sebelumnya
* * *
Lima
Ingrid mengakhiri sesi latihan untuk anak-anak itu dengan hati riang. Sekitar lima minggu lagi grup anak-anak yang dilatihnya akan ikut pentas di TMII. Ketika tadi dicobanya untuk memadukan gerakan dengan formasi baru, tampaknya anak-anak sudah cukup memahami, sehingga latihan berjalan dengan cukup lancar walaupun masih harus diperbaiki di sana-sini.
“Mau langsung pulang, In?”
Gadis itu menoleh. Mendapati Cindra sudah ada di dekatnya. Menatapnya sambil mengulas senyum.
“Iya, Bu,” angguk Ingrid, sembari membalas senyum itu. “Nggak ke rumah, sih. Mau menginap di rumah Kakak.”
“Oh...,” Cindra manggut-manggut. “Tadi gimana latihan anak-anak?”
“Untuk gerakan, mereka sudah hafal sepenuhnya. Formasi, baru saya coba ini tadi. Tapi anak-anak sudah paham pakemnya, sih. Cuma saya minta untuk lebih menghafal lagi. Coba minggu depan saya teter terus.”
“Oke.... Oke....”
Setelah memasukkan jarik dan sampur ke dalam ranselnya, Ingrid pun berpamitan. Begitu menyelinap masuk ke dalam mobil, dengan gerakan ringan, ia melemparkan ranselnya ke jok belakang. Beberapa belas detik kemudian, ia sudah meluncurkan mobil mungilnya meninggalkan area parkir Sanggar Tari Cipta Kencana.
Rumah Erma dan Rakai tak terlalu jauh dari sanggar. Setelah mampir membeli sesuatu di swalayan mini dekat sanggar, sekitar dua puluh menit lagi mengendarai mobil, sampailah Ingrid di rumah Erma. Ia tak perlu menekan klakson agar salah satu orang di rumah itu membukakan pintu pagar, karena pintu pagar sudah terbuka lebar.
Ketika Ingrid meluncurkan mobilnya pelan-pelan masuk ke carport, Erma muncul di teras depan dengan menggendong Inez. Ia memberi kode pada Ingrid agar langsung memasukkan mobilnya ke garasi. Ingrid pun menurut.
“Nanti kalau Mas Rakai pulang, gimana?” tanya Ingrid begitu keluar dari garasi.
“Mobilnya lagi dipinjam adiknya. Baru balik besok."
"Oh...."
"Oh...."
Begitu melihat bibinya, Inez segera mengulurkan tangan minta digendong. Bayi menggemaskan itu pun segera berpindah dalam gendongan Ingrid. Tak habis-habis Ingrid menciumi pipi gembul Inez. Membuat bayi itu berkali-kali terkekeh kegelian.
“Kamu jadi nginep, kan?” Erma membuntuti langkah Ingrid masuk ke dalam rumah.
“Jadilah....”
“Kok, nggak bawa apa-apa?”
“Oh, iya, harta bendaku masih di mobil.”
“Suruh Mak Entik saja ambil.”
Begitu menyelesaikan kalimatnya, Erma segera memanggil ART-nya. Perempuan berusia awal empat puluhan itu datang menghampiri mereka.
“Mak, minta tolong ambil tas Ingrid di mobil, ya?” ucapnya.
“Tasku di jok belakang, Mak. Ransel batik,” ujar Ingrid sembari mengulurkan kunci mobilnya pada Entik. “Sekalian ambil juga kantong plastik di dekat ransel. Itu oleh-oleh buat Emak.”
“Wah, Mbak Ingrid repot-repot,” ucap Entik, nyengir senang.
“Halah.... Basa-basiii...,” Ingrid mendorong lembut bahu kiri Entik.
Perempuan itu tertawa lebar sambil mengucapkan terima kasih dan berlalu.
“Aku nggak kamu oleh-olehin?” usik Erma.
“Ish! Rugi bandar,” sahut Ingrid seenaknya.
Erma pun terbahak.
Sambil mencandai Inez, keduanya mengobrol di ruang tengah. Rakai belum pulang. Menunggu jemputan dari sepupunya. Orang yang akan dikenalkan pada Ingrid.
“Namanya siapa, Kak?” celetuk Ingrid.
“Yang mana?” keasyikan Erma menikmati kuaci terjeda sejenak.
“Ya, yang mau Kakak kenalin ke aku itu.”
“Oh.... Nanti juga kamu tahu sendiri.”
“Hiiih!” Ingrid geregetan sendiri, membuat Erma tergelak.
“Bu, martabaknya sudah datang, nih!” tiba-tiba Entik menyela.
“Oh...,” Erma buru-buru meraih dompet di atas meja. Diambilnya dua lembar seratus ribuan dan selembar dua puluh ribuan.
Ia kemudian beranjak untuk membayar tagihan martabak pesanannya, layanan jasa ojek GreatFood, sekaligus tipsnya. Bersamaan dengan itu, terdengar derum mobil memasuki carport.
Walaupun didera rasa penasaran, tapi Ingrid berusaha untuk menahan keingintahuannya akan sosok pemuda yang hendak diperkenalkan padanya. Ia tetap duduk manis di sofa ruang tengah bersama Inez. Apalagi Inez tengah tertawa-tawa karena Ingrid mengajaknya main ayun-ayun kaki.
“Halo, In!”
Ingrid menoleh mendengar sapaan abang iparnya. Laki-laki tinggi besar itu kemudian menghampiri dan menepuk lembut puncak kepala Ingrid. Inez yang melihat ayahnya pulang segera merengek aleman dan mengulurkan tangan ke arah Rakai.
“Tuh, disuruh kakakmu ke depan, tuh,” goda Rakai.
Ingrid salah tingkah. Ketika Rakai hendak beranjak, buru-buru ditariknya sebelah tangan Rakai yang masih bebas. Membuat laki-laki itu terduduk di sofa.
“Ini benar, aku mau dikenalin?”
“Iyalah...,” wajah Rakai tampak serius.
“Itu sepupu Mas?” tanya Ingrid dengan nada menyelidik.
“Iya,” angguk Rakai. “Mamanya adik papaku.”
“Namanya?”
“Tanya sendirilah sana,” Rakai tertawa sambil bangkit dari duduknya.
Sambil mencandai bayinya, laki-laki itu pun beranjak. Bersamaan dengan itu, Erma masuk dari arah ruang tamu.
“Lha! Masih bengong-bengong di sini?” gerutu Erma. “Ayo!”
Ingrid tak bisa menolak ketika Erma menarik tangannya dan memaksanya berdiri. Dengan langkah sedikit terseret, Ingrid pun membuntuti Erma.
“Nah, ini Ingrid, Dru,” ujar Erma.
Pemuda yang duduk di sofa yang menghadap ke arah pintu depan itu pun bangkit dan berbalik. Seketika Ingrid ternganga melihat siapa pemuda itu.
Astaga, kambing bandot kutuan! Ingrid mengumpat sekenanya dalam hati. Andru???
“Hai, Ingrid!”
Senyum semringah Andru merekah tepat di depan mata Ingrid. Kalau saja tidak ingat akan sopan santun yang selalu digariskan oleh mamanya, ingin Ingrid segera angkat kaki dari situ. Terpaksa, dengan sangat malas, Ingrid membalas jabat tangan Andru.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Tidak ada komentar:
Komentar baru tidak diizinkan.