Sabtu, 29 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #12-2









Sebelumnya



* * *



Dari balik kaca gelap mobilnya yang parkir di tepi taman, tepat menghadap ke arah jalan menuju rumah Ingrid, Ken bisa melihat keadaan di luar mobil dengan sangat jelas. Apalagi lampu jalan di pertigaan itu terang benderang. Juga ketika sebuah mobil yang sudah diingatnya betul bentuk dan jenisnya, mengurangi kecepatan saat hendak berbelok masuk ke jalan. Itu mobil Syailendra Norman seperti yang dilihat dan dibuntutinya beberapa hari lalu.

Jadi benar, dia ada hubungan khusus dengan Syailendra Norman. Buktinya....

Ken termangu sejenak. Dihelanya napas panjang. Ia masih duduk diam. Menimbang-nimbang.

Kariernya baru akan dimulai dalam hitungan beberapa hari lagi. Ia sudah berkorban banyak untuk menata pondasi masa depan. Setidaknya, ia merasa seperti itu. Termasuk mengorbankan perasaannya terhadap Ingrid.

Apakah aku harus diam lagi kali ini?

Tapi, mengingat siapa yang menjadi rivalnya, nyali Ken sedikit menciut. Samar, ia menggelengkan kepala. Kembali menyesali pengabaiannya terhadap kesempatan yang sudah ada di depan mata, bertahun yang lalu.

Kesempatan jarang datang dua kali, Ken!

Kesempatan yang mana?

Ia terhenyak ketika salah satu sisi hati kecilnya berseru-seru, dan sisi lainnya justru mempertanyakan.

Kesempatan...

Ken mengerjapkan mata. Kesempatan untuk meraih sukses, dan kesempatan untuk meraih Ingrid. Dua sisi mata uang. Mencapai yang satu, bisa berarti kehilangan lainnya. Sungguh, ia belum bisa memutuskan.

Saat hendak meninggalkan tempat itu, ia melihat mobil yang diintainya mendekat, dan berbelok di mulut jalan. Tapi arahnya berlawanan dengan tujuannya, pulang ke rumah.

Mau membuntuti lagi? Ngapain? Bikin tambah sakit hati saja!

Maka, ia menetapkan hati untuk meluncurkan mobil ke arah yang seharusnya. Pulang.

* * *

Sesungguhnya, Endra sedang bersiap diri untuk move on setelah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana manisnya hubungan Ingrid dengan Bimbim. Niat sudah ada, tapi belum ada gadis yang bisa menggantikan posisi Ingrid di hatinya, memang. Sebab, Ingrid sungguh masih bisa menggoyahkan hati. Tapi Joya mengacaukan rencananya. Karenanya, ia memutuskan untuk mencari tahu.

“In, boleh tanya, nggak?” gumamnya sambil menghentikan mobil saat lampu lalu lintas menyala merah.

“Apa, tuh?” Ingrid menoleh, menatap Endra di sebelah kanannya.

“Mm...,” Endra menoleh sekilas. “Sebenarnya... hubungan kamu sama Bimbim itu gimana, sih?”

“Oh?” Ingrid mengalihkan tatapannya. “Ya..., samalah kayak kita sekarang. Teman, abang. Belum bisa lebih.”

“Kenapa?”

“Apanya?”

“Belum bisa lebihnya, kenapa?” ulang Endra, dengan nada sabar.

“Ya....” Ingrid berpikir-pikir. “Waktu itu, sebetulnya, Mas Bimbim juga bilang suka sama aku. Pas nyaris barengan sama Mas Endra ngomong hal yang sama. Waktu itu..., kan, aku masih menyimpan fantasi tentang Mas Ken. Jadi...,” Ingrid menggantung kalimatnya.

“Mm...,” Endra manggut-manggut. “Kalau... misalnya... aku ulang lagi, gimana?”

“Apanya?” Entah kenapa Ingrid telmi sekali sore ini.

“Nggak aku ulangi, sih,” Endra meringis sekilas. “Kayaknya kalimatku tempo hari salah. Aku perbaiki saja.”

Ingrid terbengong. Benar-benar tak mengerti arah bicara Endra. Sayangnya, Endra memutuskan untuk menunda sejenak ucapan berikutnya, karena lampu lalu lintas sudah menyala hijau.

* * *


“In, aku sayang kamu. Sudah lama. Aku lihat kamu dari kecil sampai tumbuh dewasa, dan aku sadar, aku punya perasaan lebih padamu. Makin lama, perasaan itu makin kuat. Aku banyak bertemu gadis lain. Tapi selalu membuatku justru kembali memikirkanmu. Jadilah kekasihku, In. Aku nggak bisa janji akan mampu memberikan segalanya yang kamu mau. Tapi aku akan berusaha bikin kamu selalu bahagia.”


Ingrid mengerjapkan mata. Dalam berbagai kecamuk perasaan, ia membenamkan wajahnya ke bantal di atas ranjang.

Ucapan Endra saat mereka menikmati makan malam di sebuah depot Chinese food kecil legendaris di dekat bioskop CineNine itu benar-benar mampu melelehkan hati Ingrid. Kalau mau terhanyut perasaan, ingin ia mengangguk seketika. Apalagi secara utuh matanya menangkap kerlip cahaya yang berlompatan keluar dari mata Endra.

Tapi....

Seusai Endra mengungkapkan kembali perasaannya, pikiran Ingrid sempat melayang ke sosok seorang Bimbim. Di atas kertas, poin Bimbim memang lebih unggul daripada Endra. Bimbim lebih tampan, lebih mandiri, lebih berani mengambil risiko. Ia pun merasa nyaman berada di samping Bimbim. Ia juga tetap bisa menjadi dirinya sendiri. Tapi, ia justru lebih merasakan hal yang ‘lebih’ saat bersama Endra. Dan, perasaannya itu tak bisa bohong. Itu yang diungkapkannya kepada Endra tadi. Maka....


“Aku sebenarnya nggak ingin membandingkan Mas Endra dengan Mas Bimbim,” ucapnya, dengan nada sangat berhati-hati. “Bagaimanapun, kalian adalah dua sosok yang berbeda. Jujur, berada di samping masing-masing dari kalian membuatku nyaman. Aku tetap bisa jadi diriku sendiri. Nggak perlu jaim. Tapi, aku merasakan hal yang lebih di samping salah satu dari kalian berdua. Dan, itu.... Mas Endra-lah orangnya. Ini bukan masalah materi, ya, Mas. Seandainya Mas Endra orang biasa-biasa saja, aku pasti tetap merasakan hal yang sama. Jadi.... apakah aku bersedia jadi kekasih Mas Endra? Mm.... Ya, aku bersedia,” angguk Ingrid, akhirnya. “Tapi dengan satu syarat.”

“Apa itu?” sahut Endra cepat.

“Aku minta waktu untuk membiasakan diri sedikit menjauh dari Mas Bimbim. Bisa?”

“Tentu saja bisa!” jawab Endra dengan kegembiraan yang jelas-jelas meluap dari hatinya. “Walaupun kamu tidak harus menjauh dari Bimbim.”

“Tidak bisa begitu....,” tatapan Ingrid jadi berubah, setengah menerawang.

“Ya, aku paham,” angguk Endra. “Aku sendiri, nggak apa-apa kamu tetap berteman dengan Bimbim. Aku yakin kamu tahu batas. Yang jelas, aku akan berusaha meluangkan waktu untukmu.”

“Aku cukup mandiri, kok!” Ingrid meringis lucu, membuat Endra tertawa geli. “Nggak harus ke mana-mana ditempel Mas Endra.”

“Iya, aku tahu,” angguk Endra lagi. “Tapi, kan, tetap ada konsekuensinya. Aku harus bisa meluangkan waktu untukmu. Mungkin nggak selalu bisa. Jadi, di awal seperti ini, aku mohon pengertianmu. Apalagi...,” Endra berhenti sejenak.

Tatapannya berubah jadi sedikit menerawang. Dihelanya napas panjang sebelum kembali mengarahkan tatapannya kepada Ingrid.

“Saat ini, di kantor pusat sedang ada proses pergantian pemimpin,” ucap Endra dengan suara lebih lirih. “Papa... Kami – kakakku dan aku – menghendaki Papa untuk pensiun secepatnya. Bukan karena ingin kudeta atau apa, tapi karena faktor kesehatan Papa. Ada sedikit badai yang melanda perusahaan beberapa tahun lalu. Cukup membuat guncang korporasi, terutama dalam hal keuangan. Sangat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan Papa, terutama jantungnya. Apalagi pada saat yang hampir sama, Eyang Kakung berpulang. Padahal selama ini yang jadi rujukan Papa untuk mengambil keputusan adalah Kakung. Jadi, suksesi memang harus dipercepat. Apalagi sepupuku yang senior-senior memang sudah sejak lama dipersiapkan. Karena itu, mungkin sampai beberapa waktu ke depan, aku lebih sibuk daripada biasanya, In. Tapi, sebisa mungkin akan tetap ada waktu buatmu. Buat kita.”

“Tapi benar-benar jangan jadi beban buat Mas Endra,” ucap Ingrid, halus. “Aku paham, kok. Apalagi Mas sudah jelaskan di awal kayak gini. Jangan khawatirkan aku. Jangan khawatirkan kita. Asal niat kita baik, kita pasti bisa melewati semua kesulitan.”


Dan, Ingrid tak akan bisa melupakan betapa indahnya kerlip yang mewarnai tatapan mata Endra seusai ia mengungkapkan itu. Kini, ia mengerti kenapa bisa berani memutuskan untuk menerima Endra. Karena ia merasakan hatinya ikut teduh saat menerima tatapan lembut Endra. Keteduhan yang membuatnya tak khawatir tentang apa pun selama ada Endra di sampingnya. Kali ini, memang ia membiarkan hatinya yang bicara dan memilih.

Ingrid menguap. Kantuk menghampirinya tiba-tiba. Sudah lewat dari pukul empat dini hari. Sambil memeluk guling dan bergelung nyaman di bawah selimut, Ingrid berharap bahwa keputusannya tepat. Setidaknya, ada kelegaan tersendiri yang melingkupi hatinya saat ini. Tinggal bagaimana nanti ia akan menyampaikan tentangnya dan Endra pada Bimbim. Tapi ia yakin akan menemukan jalan. Sambil mengulas senyum, ia pun memejamkan mata. Menyilakan alam mimpi menguasai tidurnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)