Selasa, 25 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #11-1









Sebelumnya



* * *


Sebelas


Rapat dengan para manajer Mediserve berjalan dengan lancar. Tepat pukul setengah empat, Endra mengakhiri rapat itu. Dengan langkah cepat ia kemudian kembali ke ruang kerjanya. Sambil duduk, ia mengaktifkan kembali notifikasi ponselnya. Baru saja hendak meletakkannya ke atas meja, benda itu berbunyi pendek. Notifikasi WhatsApp. Endra pun segera membukanya. Pesan dari Erwin.

‘Lu sibuk, nggak, Ndra?’

Dibalasnya segera. ‘Enggak. Kenapa?’

‘Gue harusnya jemput Ingrid sore ini di sanggar, jam lima. Tapi jam segini gue masih ketahan di Balaraja. Lu bisa bantuin gue jemput Ingrid?’

‘Bisa. Dia nggak bawa mobil?’

‘Mobilnya dipinjam Ernest. Ada acara penting sama Sierra. Jadi tadi dia nge-drop Ingrid di sanggar, terus jatah gue jemput Ingrid.’

‘Nggak dijemput sama Bimbim?’

Tapi sebelum disentuhnya kotak send, ia menghapus kalimat itu dari layar. Digantinya dengan ‘Oke, deh! Gue bisa out sekarang. Daripada kena macet malah telat.’

Thanks, Bro.

‘Yoi....’

Setelah itu, ia membuka pesan yang posisinya ada di bawah pesan Erwin. Dari Joya.

‘Mas, cuma mau ngingetin, ini sudah hari Kamis. Sudah pesan tiket nonton belum?’

Endra menggelengkan kepala sambil tersenyum lebar. Ingat keisengan Joya kemarin siang. Ia pun menunda sejenak maksudnya untuk segera meninggalkan kantor. Dibukanya laman pembelian tiket bioskop daring dari ponselnya. Saat hendak memilih lokasi bioskop, ia teringat bahwa ia belum menghubungi lagi Ingrid sesuai ‘janji’-nya melalui WhatsApp. Maka, diurungkannya niat untuk memesan tiket.

Nanti saja, ngomong dulu sama Ingrid.

Setelah memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja, Endra pun meringkas mejanya. Laptop masuk ke dalam tas. Beberapa berkas yang belum sempat dibacanya pun ikut masuk. Ia cukup senggang hari ini. Bisa pulang sebelum pukul empat.

Setelah berpamitan kepada sekretarisnya, ia pun melangkah cepat menuju ke lift untuk turun ke tempat parkir di basement gedung. Biasanya ia lebih suka naik turun melalui tangga. Tapi kali ini kebiasaan itu dilewatkannya. Ingrid jauh lebih penting daripada sekadar menjaga stamina. Beberapa menit kemudian, mobilnya sudah meluncur membelah jalan raya. Terus melaju ke arah sanggar tempat Ingrid biasa berlatih menari.

* * *

Tak puas-puas Ken menatap Ingrid yang tengah melatih beberapa gadis remaja menarikan tari Retno Pamudya di salah satu studio. Tari yang menggambarkan latihan perang dan terinspirasi dari kisah Srikandi melawan Bisma itu dibawakan para gadis dengan sangat indahnya. Sedangkan Ingrid, terlihat sangat luwes ketika memberikan contoh gerakan. Terpantul melalui cermin yang melapisi ketiga dinding ruangan.

“Jadi, bagaimana?”

Ken menoleh sekilas ketika telinganya menangkap bisikan dari arah samping kirinya itu. Cindra menatapnya penuh harap. Ken mendesah. Seutuhnya ia memahami arah bicara ibunya.

“Rumit, Ma,” jawabnya kemudian. Berbisik pula.

Keduanya sudah beberapa menit duduk diam berdampingan di sebuah bangku rendah di dekat pintu studio. Sama-sama menonton para gadis berlatih. Lebih khusus lagi, ‘menonton’ Ingrid.

Cindra menghela napas panjang. Terlihat tak puas.

“Kamu ini mikir apa lagi?” gerutu Cindra, masih dalam nada berbisik. “Sekolah sudah selesai. Kerjaan sudah dapat. LDR jaman sekarang, sih, kecil, Ken. Apalagi cuma sejauh Jakarta-Singapura.”

Ken tercenung. Soal Ingrid, tak perlu diragukan lagi bagaimana hatinya bicara. Hanya saja.... Ken mengerjapkan mata.

Ia masih perlu waktu untuk mengenal Ingrid lebih dekat lagi. Lebih tepatnya, mereka berdua butuh waktu untuk saling mengenal. Diam-diam, ia menyesali keputusannya untuk membiarkan waktu lampau berlalu tanpa ia pernah melabuhkan ungkapan perasaannya kepada Ingrid. Ketika ia menyadari hal itu, agaknya sudah agak terlalu terlambat. Sudah ada orang lain yang jelas-jelas mengharapkan hal yang sama dengannya. Sudah dua orang yang ia tahu. Yang satu mungkin bisalah dikatakan setara dengannya. Tapi satunya lagi? Lagi-lagi pesan Lulu berlayar di depan matanya.

‘Selamat bersaing sama big boss-mu, deh!’

Ken meringis dalam hati. Hingga detik ini, soal itu masih disimpannya sendiri. Ia belum ingin mengungkapkannya kepada siapa pun, apalagi ibunya. Sosok yang tengah menaruh harapan penuh padanya.

Lalu, tatapannya terpaku pada sosok lain yang terpantul di cermin. Sosok yang berdiri di tengah ambang pintu studio. Menatap ke dalam dengan ragu-ragu. Walaupun baru sekali pernah melihatnya, ia ingat betul siapa sosok laki-laki muda itu. Apalagi ia baru melihatnya kemarin.

Ia mengerjapkan mata ketika merasakan gerakan ibunya di sebelah kiri. Dari pantulan cermin pula, ia melihat ibunya menoleh ke arah pintu. Dan, sosok yang tadi berdiri di ambang pintu, kini sudah menghilang entah ke mana. Diam-diam Ken menghela napas panjang.

Ia tahu kenapa sosok itu muncul di sanggar sore ini. Pasti karena Ingrid. Hendak menjemput Ingrid. Dilihat dari sisi mana pun, ia sudah kalah sekian langkah.

Ia tersentak ketika ada dengung-dengung bak suara lebah menggema dalam ruangan itu. Ia mendongak. Rupanya latihan sudah selesai. Diliriknya arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul lima tepat. Jantungnya berdebar kencang ketika Ingrid mendekatinya dan Cindra.

“Gimana, In? Sudah okekah anak-anak?” tanya Cindra.

Ingrid duduk di sebelah kiri Cindra sambil menjawab, “Sudah, Bu. Tinggal latihan formasi saja kalau memang diperlukan.”

“Kamu mau langsung pulang? Biar diantar Ken. Tadi kulihat sepertinya kamu nggak bawa mobil.”

“Oh, saya dijemput Abang, Bu,” jawab Ingrid dengan nada manis.

“Oh....”

Seutuhnya Ken menangkap sedikit nada kecewa dalam suara ibunya.

“Besok-besok, biar diantar jemput Ken saja, In,” ujar Cindra lagi. Pantang menyerah. “Mumpung Ken masih di sini.”

“Hehehe.... Nggak perlu, Bu. Merepotkan saja nanti,” Ingrid terkekeh ringan sambil memasukkan jarik dan sampur-nya ke dalam ransel batik kesayangannya.

Sekilas Ken melirik. Merasa sedikit kecewa karena Ingrid tidak memakai ransel oleh-olehnya dari Inggris.

Dengan gerakan cepat, Ingrid mengenakan kembali celana denimnya. Melapisi tungkainya yang tertutup legging berwarna merah marun. Beberapa detik kemudian gadis itu sudah siap untuk meninggalkan studio. Ia berpamitan kepada Cindra dan Ken. Ketiganya kemudian keluar beriringan dari studio.

Di luar, Ingrid terlihat sedikit bengong mendapati siapa yang menjemputnya. Dan, Ken? Ia hanya bisa diam menyaksikan kejadian itu.

“Lho, Mas Endra ngapain di sini?” Ingrid menghampiri Endra yang duduk di bangku beton yang membatasi selasar dengan taman.

“Ya, jemput kamulah...,” senyum Endra sambil berdiri. “Sudah selesai?”

“Sudah,” Ingrid mengangguk. “Memangnya Abang ke mana?”

“Masih di Balaraja.”

“Ish! Tahu begitu aku bisa naik ojol saja, kan,” gumam Ingrid. “Jadi bikin repot Mas Endra.”

“Enggaklah,” sahut Endra, masih dengan senyumnya. “Kebetulan lagi nggak sibuk. Gimana, mau pulang sekarang?”

Ingrid kembali mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Tak lupa ia berpamitan lagi kepada Cindra dan Ken yang masih berada tak jauh darinya.

Sepeninggal Ingrid, Cindra menatap perjaka bungsunya yang tampak termenung. Disenggolnya lembut lengan kanan Ken. Membuat pemuda itu sedikit gelagapan.

“Ternyata Ingrid sudah ada yang nggebet, to?” gumam Cindra.

Ken menghela napas panjang.

“Tapi sebelum janur melengkung, lho, Ken,” Cindra kemudian terkekeh sendiri.

Ken kembali menghela napas panjang.

“Mama tahu siapa dia?” Ken menatap ibunya.

Seketika Cindra menggeleng.

“Memangnya mamamu ini cenayang?” gerutu Cindra.

“Dia itu Syailendra Norman, Ma,” gumam Ken.

“Siapa?” Cindra mengerutkan kening. Ucapan Ken memang tak begitu jelas tertangkap telinganya.

“Syailendra Norman,” ulang Ken, lebih jelas artikulasinya. Dalam nada sangat terpaksa. “Bos besar Eternal Trading. Dan Mama tahu, kan, aku diterima kerja di mana?”

Seketika Cindra ternganga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)