Jumat, 14 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #8-1









Sebelumnya



* * *


Delapan


Untuk kesekian kalinya Bimbim menatap Ingrid. Untuk kesekian kalinya pula ia terpaksa mengulum kembali pertanyaan yang sudah ada di ujung lidahnya. Sepanjang pesta ulang tahun Zora, Ingrid tetap terlihat riang gembira, tapi tak selepas biasanya. Berkali-kali ia mendapati Ingrid seolah tercenung sekejap-sekejap. Pun kini, saat ia tengah mengantre es krim di area pusat jajan seperti Sabtu lalu.

Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat tatapan Ingrid jatuh ke sebuah titik. Lama sekali tak berpindah, meskipun dunia di sekitarnya berputar sangat cepat dan cukup berisik. Dihelanya napas panjang. Ia tersentak ketika gilirannya tiba. Dipesannya dua cup es krim ukuran jumbo berlainan rasa. Ketika ia kembali dengan membawa dua gelas kertas cukup besar di kedua tangannya, Ingrid masih juga bergelung dalam alam lamunannya.

Pelan-pelan, Bimbim duduk di sebelah Ingrid. Sebuah gerakan yang cukup membuat Ingrid tersentak. Gadis itu menoleh, menerima satu cup es krim, dan menggumamkan terima kasih.

“Kamu lagi mikir apa, In?” tegur Bimbim, halus. “Kayaknya banyak melamun dari tadi.”

Ingrid kembali terlihat sedikit tersentak, sebelum menggeleng. Ia menoleh sekilas ketika merasa tatapan Bimbim jatuh padanya.

“Enggak.... Nggak kenapa-kenapa, kok.”

“Jangan bohong, ah!” Bimbim kembali menegur dengan nada lembut.

Ingrid kembali tercenung.

* * *

Sebetulnya, ia sudah menjatuhkan pilihan. Bukan pilihan yang benar-benar tepat, menurutnya. Tapi pilihan yang untuk sementara waktu harus ia ambil, agar ia tak terlalu lama menggantung nasib Bimbim dan Endra. Hanya saja, ia tak punya cukup keberanian untuk mengutarakannya kepada Bimbim.

Jujur, ia takut kehilangan Bimbim. Pemuda itu kawan nongkrong yang cukup menyenangkan. Apa lagi mereka dipersatukan oleh dua hobi yang sama. Kuliner, dan nonton film horor. Ia juga merasa nyaman berada di samping Bimbim. Bisa menjadi dirinya sendiri tanpa takut dicemooh atau sejenisnya oleh Bimbim. Tapi....

Dihelanya napas panjang. Kembali tersentak ketika suara Bimbim menggema lembut di telinganya.

“Ayolah, In, ngomonglah kalau ada apa-apa. Siapa tahu aku bisa bantu?”

Ingrid mengerjapkan mata. Menoleh sekilas. Bimbim tengah menatapnya. Tatapan yang membuatnya membulatkan tekad untuk berterus terang. Sedikit terbata-bata.

“Mm.... Mas....”

“Ya?”

“Mm.... Seandainya... aku ingin... kita tetap seperti ini..., gimana?”

Bimbim terdiam sejenak sebelum menggumam, “Maksudmu?”

“Mm.... Aku... selama ini nyaman sama Mas Bimbim. Justru karena... kita nggak ada apa-apa. Aku...,” Ingrid mendegut ludah. “Aku... belum bisa... lebih.”

Bimbim tercenung sejenak. Tapi ia secepatnya menguasai diri. Ia tersenyum dan mengangguk.

“Maaf, ya, Mas,” ucap Ingrid lagi.

“Nggak apa-apa, In,” Bimbim menanggapinya dengan nada sabar. Menutupi perasaan kecewa yang sebetulnya ada dalam hati. “Santai saja, nggak usah dipikir banget-banget. Mana yang bikin kamu lebih nyaman saja. Kayak gini juga oke, kok.”

Tak urung, rasa bersalah masih bermukim dalam hati Ingrid.

“Atau kalau Endra keberatan,” lanjut Bimbim, “ya, nggak apa-apa, kita nggak jadi sedekat ini. Asal dia bisa jaga kamu baik-baik.”

“Mas Endra?” Ingrid terbengong sejenak.

Kemudian ia menggeleng. Dihelanya napas panjang.

“Aku nggak sama Mas Endra, kok,” elaknya. “Hubunganku sama Mas Endra, ya, kayak aku sama Mas Bimbim gini. Sebetulnya.... iya, dia juga bilang suka sama aku, tapi...,” Ingrid menggeleng pelan, “... aku juga belum bisa.”

Bimbim terdiam. Benar-benar tak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan Ingrid. Ada dua kutub dalam hatinya. Kecewa, karena Ingrid nyata-nyata sudah lepas dari tangan. Lega, karena ternyata nasib rivalnya pun tak jauh beda.

“Sebetulnya...,” suara Ingrid masih diliputi keraguan. “Mm.... Jadi begini, jujur, aku sebetulnya belum bisa memutuskan. Mungkin masih perlu waktu lagi buat mengenali perasaanku. Cuma, kan, egois namanya kalau aku masih juga menggantung jawaban. Jadi..., mungkin suatu saat bisa jadi berubah. Tapi kalau Mas Bim menemukan cewek lain yang lebih baik sebelum aku kasih jawaban final, ya, ambillah kesempatan itu.”

Bimbim mengangguk-angguk. Situasi yang cukup fair buatnya. Bersamaan dengan itu, perlahan suasana mencair. Ingrid tampak sudah mulai lepas kembali.

Jadi beban ini yang memberatkanmu, In....

Samar, Bimbim menghela napas panjang.

Apa pun yang kamu inginkan, In. Apa pun.

Malam kian merambat. Menjelang pukul sebelas, setelah menghabiskan es krim dan aneka cemilan ringan maupun berat, keduanya pun beranjak, hendak melanjutkan niat semula. Kembali menonton film horor slot midnight.

* * *

“Itu bukannya gadis yang tempo hari makan siang sama kamu, Ndra?”

Suara lembut Laras mengalahkan ingar bingar yang ada di sekeliling mereka. Seketika, Endra mengikuti arah pandang Laras. Benar! Walaupun lumayan jauh dari tempat mereka sekeluarga duduk di tengah jajaran food truck, ia bisa melihat Ingrid tengah duduk di sebuah bangku beton di bawah sebuah pohon.

“Ajak ke sini saja, Ndra,” timpal Norman.

Setelah berpikir sejenak, Endra pun bangkit. Tapi sebelum langkahnya berlanjut, dilihatnya Ingrid kini tak lagi sendirian. Bimbim mendekati gadis itu dan menyodorkan sesuatu. Tampaknya minuman atau sejenisnya dalam sebuah gelas. Ia pun mengurungkan gerakannya.

“Itu, sudah ada temannya,” gumamnya sambil duduk kembali.

“Itu pacarnya?” tanya Laras.

Endra menggeleng. “Entahlah, Ma.”

Lalu, pembicaraan soal Ingrid tak berlanjut lagi. Mereka menggantinya dengan topik yang lain. Walaupun berusaha untuk meleburkan diri dalam kegembiraan perayaan sederhana itu, tak urung sepotong demi sepotong kilas balik melayang masuk ke dalam benak Endra.

Hmm.... Jadi itu alasannya?

Pagi tadi, ia menerima pesan panjang dari Ingrid. Pesan panjang yang berisi penjelasan bahwa Ingrid belum bisa meningkatkan hubungan ke arah yang ‘lebih’. Gadis itu juga mengungkapkan bahwa untuk sementara ini ia masih merasa nyaman menjalin relasi secara bebas dengannya, tanpa terikat bentuk lain apa pun.

Sore ini tadi, saat masih ada di rumah, di sela-sela acara kumpul bersama keluarga, ia menyempatkan diri mengirim pesan kepada Erwin. Iseng, ia bertanya tentang keberadaan Ingrid.

‘Ingrid lagi keluar sama Bimbim, Ndra.’ Begitu balasan Erwin. ‘Ke ultah keponakan Bimbim. Kayaknya, sih, tadi pamitan mau sekalian nonton midnight.’

Dihelanya napas panjang. Setidaknya, sudah tiga malam Minggu ia menemukan Ingrid sedang berkencan dengan Bimbim. Entah bagaimana dengan malam Minggu lainnya. Ia tak punya keberanian untuk membayangkan.

Ketika mereka berenam sudah selesai makan dan hendak pulang, sekilas ia melayangkan pandang ke arah Ingrid dan Bimbim. Keduanya tampak masih asyik berdua. Belum ada tanda-tanda hendak beranjak pula. Padahal sudah menjelang pukul sepuluh.

Kelihatannya benar, mereka mau nonton midnight lagi.

Sebersit kesedihan membelit hati Endra.

Jadi, seperti ini rasanya kalah?

Ia termangu sejenak sebelum mengikuti langkah kedua orang tua, kakak, dan abang iparnya yang menggendong sang putri kecil. Samar, dihelanya napas panjang.

* * *

Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)