Jumat, 07 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #5-2











* * *


Sesungguhnya, walaupun berhubungan kekerabatan cukup dekat, Rakai juga tidak terlalu akrab dengan sepupunya yang bernama Andru itu. Apalagi memang ayahnya dan ibu Andru hanya bersaudara tiri, dengan status ‘bawaan’ dari kedua pihak orang tua yang menikah lagi. Jadi mereka sebetulnya tidak ada hubungan darah. Akibatnya, Rakai juga kurang tahu banyak soal keseharian Andru.

Ide untuk mengenalkan Andru dengan Ingrid datang dari Erma. Beberapa bulan lalu, mereka bertemu Andru pada sebuah acara yang melibatkan keluarga besar. Sebelumnya memang sudah pernah beberapa kali bertemu. Hanya saja, Erma tidak menaruh perhatian cukup besar kepada kerabat Rakai yang satu ini.

Ketika melihat lagi sosok Andru, sedikit banyak Erma teringat pada Ken. Apalagi Andru pun ternyata juga mendalami seni tari. Sikap Andru cukup manis. Membuat Erma berpikir untuk membantu Ingrid mengurangi pengaruh Ken dalam kehidupan Ingrid.

Tapi ternyata....

Rakai menatap Ingrid. Sorot matanya dipenuhi rasa bersalah. Andru ternyata menyebalkan. Belum-belum sudah berani mendebat Ingrid soal pemuda yang datang ke rumah Ingrid kemarin. Di meja makan saat makan malam bersama pula! Tempat dan waktu yang cukup ‘sakral’ bagi Ingrid dan keluarganya. Sia-sia ia memberi kode kepada Andru untuk sedikit saja menahan diri. Ingrid benar, Andru memang lumayan arogan, tak mau mengalah, dan kurang peka suasana.

“Maafin Mas, ya, In,” gumam Rakai.

Ingrid tersenyum. Sedikit sumbang.

“Mas nggak salah, kok,” Ingrid menanggapi. “Namanya juga usaha.”

“Aku juga yang salah,” sahut Erma yang sedang menutup pintu kamar pelan-pelan. Baru saja selesai mengeloni Inez. “Seharusnya kupastikan dulu gimana orangnya sebelum dikenalkan padamu.”

“Aku lebih salah lagi, Ma,” Rakai menatap Erma.

“Sudah...,” Ingrid menengahi. “Aku bilang, namanya juga usaha. Kalau gagal, ya, itu risiko. Bukan salah Mas, bukan salah Kakak. Apalagi, kan, sebelumnya aku juga sudah setuju walaupun belum tahu siapa orangnya.”

Erma menjatuhkan diri di sofa panjang, di sebelah Ingrid.

“Kamu mau pulang malam-malam begini?” tanya Erma. Tangannya terulur, mengelus kepala Ingrid.

“Enggaklah,” Ingrid menyambungnya dengan tawa ringan. “Itu tadi, kan, akal-akalanku biar dia cepat pulang.” Ingrid menatap Rakai. “Maaf, lho, Mas. Aku terpaksa usir dia.”

“Hehehe...,” Rakai terkekeh. “Santai saja. Aku juga sebetulnya sebal, kok, sama dia.”

Mereka tertawa bersama. Mengurai rasa jengkel setelah bertemu dan berinteraksi selama beberapa puluh menit dengan Andru.



Ingrid menarik tangannya dengan sedikit menyentak agar cepat lepas dari genggaman jabat tangan Andru. Kurang ajarnya, Andru seolah menahan tangan Ingrid agar bisa menggenggamnya lebih lama.

“Kalau Ingrid, sih, aku sudah kenal baik, Mbak,” Andru menatap Erma. “Kan, tempo hari barengan pentas di Perth. Sudah berteman baik. Ya, kan, In?”

Ingrid memilih untuk tidak menjawab. Kehadiran Rakai yang sudah berganti pakaian menyelamatkan Ingrid. Ia segera membuntuti Erma yang beralasan hendak ke belakang sebentar untuk menyiapkan minuman.

“Lho, ngobrol sana! Malah ikut,” gerutu Erma.

“Aduh, Kaaak.... Kalau sebelumnya aku tahu dia yang bakal Kakak dan Mas kenalin ke aku, pasti aku menolak.”

“Memangnya kenapa?” Erma menatap Ingrid.

“Dia itu nyebelin orangnya. Ih! Amit-amit!” Ingrid bergidik.

Ia kemudian menceritakan bagaimana sikap Andru yang ia kenal selama ini. Pada awalnya Erma sedikit tidak mempercayai penuturan Ingrid. Tapi setelah mengalami sendiri berinteraksi dengan Andru, Erma pun mengambil kesimpulan yang sama.

Andru terlalu banyak mengoceh saat mereka makan malam bersama. Terlalu mendominasi. Banyak mengunggulkan diri sendiri. Sekilas, Erma melihat wajah Rakai seolah menyesal sudah mengundang Andru. Jadi memang benar, bukan hanya Ingrid dan ia saja yang lama-lama enek dengan sikap Andru. Tampaknya Rakai juga. Bahkan berkali-kali Rakai secara tersirat mencoba untuk mengendalikan Andru, agar acara makan malam mereka berlangsung lebih menyenangkan. Tapi jelas saja gagal. Andru benar-benar tidak peka kondisi dan suasana. Benar-benar ndablek.

“Berarti, yang kemarin kamu kenalin ke aku itu, bukan cowokmu, dong, ya?” celetuk Andru, mengambil kesimpulan secara congkak.

“Memangnya kenapa kalau dia bukan pacar aku?” Ingrid mengerutkan kening.

“Berarti, kan, kita masih bisa jadian.”

“Memangnya sudah pasti aku mau sama kamu, gitu?” Ingrid mencibir.

“Yaelah, In, kamu mau cari yang gimana lagi, sih?” nada suara Andru kental dengan celaan terselubung. “Hobi kita sudah sama, lho! Sama-sama suka nari. Kamu pindah saja dari sanggarmu ke sanggarku, biar kita bisa barengan. Aku antar-jemput tiap hari, deh!”

“Enak saja!” seketika Ingrid menaikkan nada suaranya. “Kayak ngisep tebu, habis manis sepah dibuang. Sudah, deh, nggak usah ngelunjak.”

Dan, masih banyak lagi. Yang membuat Ingrid makin lama makin muak. Sehingga seusai makan malam, ia ‘mengusir’ Andru.

“Dah, ah! Aku mau pulang. Mobil kamu halangin mobilku, tuh!”

Rakai yang peka situasi pun membantu Ingrid.

“Iya, nih! Sudah lumayan malam,” ujar Rakai. “Kasihan Ingrid kalau masih juga di jalan hari gini.”

Pertemuan mereka pun usai. Dengan meninggalkan kejengkelan menumpuk dalam hati Ingrid, dan perasaan tak enak dalam hati Rakai.



“In, kalau dia nanti ganggu kamu, bilang sama Mas, ya?” ucap Rakai serius. “Nanti Mas yang atasi.”

“Kayaknya bakalan iya, deh,” Ingrid meringis. “Pas di Perth itu saja, kalau aku nggak nempel terus sama Onkel, dia juga maunya dekat-dekat melulu.”

Rakai menggeleng beberapa kali.

* * *

Ingrid melemparkan diri di atas kasur empuk di kamar tidur tamu rumah Erma dan Rakai. Entahlah, rasanya hari ini ia makin lelah saja gara-gara bertemu dengan Andru yang makin enggak banget di matanya itu.

Berarti....

Situasinya kembali mentah lagi. Nama calon ketiga dicoretnya dengan cat hitam tebal. Ingrid mengembuskan napas keras-keras. Saat itu ia ingat bahwa ponselnya perlu di-charge. Diambilnya benda itu dari dalam sling bag yang ada di ransel. Ketika hendak mencolokkan kabel charger ke ponsel, matanya menangkap munculnya simbol aplikasi WhatsApp di sudut kanan atas layar ponsel. Dibukanya aplikasi itu. Pesan teratas berasal dari....

Wow, Mas Bimbim!

Dibacanya unread message dari Bimbim.

‘In, kamu lagi nginep di Erma, ya? Pulang kapan? Ini, aku mau minta waktumu Sabtu depan, bisa? Temenin aku ke ultah Zora. Terus, Sabtu ini kita nonton lagi, yuk! Ada horor bintang lima.’

Ingrid tersenyum membaca pesan itu. Seingatnya, hari-hari Sabtunya yang akan datang masih kosong. Sanggar tidak terlalu sibuk. Jadi ia punya waktu luang cukup banyak. Tanpa pikir panjang, dibalasnya pesan itu.

‘Iya, aku di rumah Kak Erma. Boleh, deh! Aku temani Sabtu depan. Nonton hari Sabtu ini, boleh juga. Mas Bimbim tahuuu saja aku lagi butuh hiburan.’

Tanpa menunggu balasan dari Bimbim, Ingrid beralih ke pesan lainnya. Ada beberapa pesan dari teman-temannya, juga dari ibunya. Baru di bawah semua pesan itu....

‘In, kamu ada waktu kosong nggak, Sabtu ini? Aku mau minta tolong kamu untuk temani aku cari kado buat mamaku. Mamaku sebentar lagi ultah.’

Dari Endra.

Deg!

Jantung Ingrid serasa berhenti berdetak. Tentu saja ia ingat bahwa kemarin Endra tanpa babibu langsung datang ketika ia minta tolong. Dan, pesan Endra ini masuk lebih awal daripada pesan Bimbim.

Padahal....

Buru-buru ia kembali ke laman berbalas pesannya dengan Bimbim. Sudah ada balasan.

‘Sip! Midnight-an lagi, ya?’

Ingrid tercenung. Lama.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)