Senin, 17 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #9-1









Sebelumnya



* * *


Sembilan


Mas Ken?

Ingrid masih terbengong-bengong. Pesan yang masuk ke ponselnya itu belum dibalasnya. Niat ada, tapi saat memegang ponselnya untuk mencoba membalas pesan itu, seketika perbendaharaan katanya menguap. Dengan kesal, ia menghempaskan diri ke ranjang.

Kepalanya benar-benar pening. Sepulangnya dari menonton bersama Bimbim, hingga detik ini menjelang pukul dua siang, ia sama sekali tak bisa memejamkan mata. Padahal ia letih dan matanya berat sekali.

Bertemu dengan Mas Ken? Apa yang harus kulakukan?

Selama ini Ken serasa tak pernah terjangkau olehnya. Terlalu tinggi untuk sekadar dipandang. Tapi tiba-tiba saja pemuda itu menghubunginya? Jantungnya berdebar lebih kencang lagi untuk kesekian serinya sejak menerima pesan Ken.

Ingrid menguap. Sepanjang hari Minggu ini ia tak punya acara apa-apa. Ia jadi punya kesempatan untuk bermalasan. Pada akhirnya, ia terlena juga. Pikiran yang penuh dengan sosok Ken menyeretnya ke alam mimpi. Begitu saja.

Tapi, rasanya baru sekejap ia terlelap, goyangan lembut di tubuhnya membuatnya terjaga. Panggilan bernada lembut juga menyentuh telinganya.

“In... Ingrid... Bangun, yuk. In....”

Rasanya ia enggan membuka mata. Tapi goyangan dan suara itu terus mengusiknya. Awalnya, pandangannya masih kabur. Tapi begitu ia berhasil fokus, ia mengerjapkan mata.

“Ngantuk, Kak...,” erangnya.

“Hadeh... Anak gadis jam segini masih molor. Sudah mau magrib ini...,” tegur Lulu.

Ingrid menguap lebar. Hah? Sudah sore banget? Tapi, matanya masih terasa lengket.

“Sama siapa, Kak?” gumamnya kemudian, masih belum sadar sepenuhnya. “Onkel?

“Iya, sama Onkel-mu, sama Taby. Oh, iya, sama Ken juga.”

Seketika mata Ingrid terbuka lebar.

“Ken? Mas Ken?”

“Iya,” Lulu mengangguk dengan wajah polos. “Tadi dia ke rumah. Pas kebeneran Onkel-mu mau ke sini. Ya, sudah, dia ikut.”

Ingrid bangkit dari posisi berbaringnya. Duduknya sedikit goyah karena rasa pening yang masih ada di kepalanya.

“Memangnya kapan dia datang?”

“Kemarin malam. Malam Sabtu.”

Ingrid mendegut ludah.

“Mandi dulu, sana!” Lulu bangkit dari duduknya.

Ingrid masih duduk terpaku di tepi ranjang.

* * *

Sulit! Sulit sekali rasanya memercayai kenyataan bahwa pemuda yang duduk di sebelah kanannya ini, yang tengah makan siomay dengan lahapnya, adalah Ken. Ken Prabata. Pangeran impiannya.

Bersama Fritz, Lulu, dan si kecil Taby, Ken datang dengan membawa tas kertas besar berisi oleh-oleh untuk Ingrid. Ada tiga helai kaus oblong, selusin gantungan kunci aneka bentuk, sekotak magnet kulkas aneka warna, tiga kantung besar teh (Earl Grey, Yorkshire Gold, dan Ceylon), empat kotak cokelat, dua buah mug, dan sebuah ransel cantik bermerek yang sudah tentu membuat mata Ingrid jadi ‘hijau’. Setelah itu Ken mengajak Ingrid keluar karena ingin makan siomay ala ‘abang-abang’ di taman dekat rumah Ingrid.

“Mau nambah, In?”

Suara Ken membuat Ingrid tersentak kaget. Ia menatap piring kertas di tangannya. Masih tersisa sepertiga porsi. Ia kemudian menggeleng.

“Ini masih ada,” jawabnya, dengan suara seolah terjepit di leher.

“Mm.... Bakso yang itu enak, nggak?” Ken menunjuk ke satu arah.

“Oh, kalau Mas Ken mau bakso, ke tempatnya Cak Blek saja. Mau?”

“Mau! Mau!” Ken menjawab dengan antusias. “Di mana?”

Segera setelah Ingrid menghabiskan siomaynya, mereka melangkah ke sebuah kedai bakso tak jauh dari taman. Sekitar jam tujuh sore seperti ini, kedai itu cukup penuh dengan pembeli. Tapi masih menyisakan dua tempat duduk berdampingan di ujung sebuah meja panjang.

“Kapan balik lagi ke Inggris?” tanya Ingrid, sekadar iseng.

“Nggak balik, In. Sudah selesai, kok.”

“Oh....”

“Aku sudah dapat tempat di Singapura, In,” ujar Ken dengan suara rendah. “Mulai bulan depan aku di sana. Dekat ini. Masih bisa sering-sering pulang.”

“Oh....”

Sungguh, hanya itu yang bisa diucapkan Ingrid. Ia masih juga tercengang-cengang mendapati bahwa Ken ternyata sudah pulang, dan... mencariNYA!

Mimpi apa aku semalam?

Ingrid nyengir sekilas menyadari ketololannya.

Tentu saja nggak bermimpi. Kan, aku semalam nggak bisa tidur.

“Kata Mama, kamu masih aktif banget di sanggar.”

Kesadaran Ingrid segera kembali mendengar gema suara Ken yang begitu dekat di telinganya.

“Telanjur cinta sama dunia tari,” Ingrid tersenyum tipis.

“Aku sebetulnya sering kangen sama sanggar,” mendadak saja Ken terlihat seperti menerawang. “Cuma, kegiatanku sudah lama nggak bisa lagi disela. Mungkin memang aku saja yang kurang bisa bagi waktu.”

Tiba-tiba saja Ingrid teringat keinginannya untuk berpasangan dengan Ken menarikan Karonsih. Tiba-tiba pula, Ingrid merasa bahwa keinginannya itu kini terbang makin jauh.

“Kuliahmu gimana, In?”

Ingrid sedikit tersentak. Ditatapnya Ken sekilas.

“Sudah tinggal sedikit lagi.”

“Setelah itu?”

“Rencananya aku mau masuk ke perusahaan Papa. Sudah dari kapan hari dikomporin melulu sama Bang Erwin.”

“Berhenti menari?”

“Kayaknya enggak,” Ingrid menggeleng. “Papa sudah kasih kelonggaran buatku untuk tetap aktif menari.”

Lalu, pelan-pelan suasana sedikit kaku itu jadi mencair. Ken yang lebih banyak diam saat di taman tadi, mulai membuka pembicaraan yang menarik bagi Ingrid untuk ditanggapi. Mereka memang belum pernah mengobrol santai secara khusus berdua seperti ini sebelumnya. Situasi seperti ini memang benar-benar baru bagi Ingrid. Ia masih tetap sesekali tercengang-cengang, terbengong-bengong, dan termenung-menung ketika mendapati sosok yang tengah bercerita ini-itu, menyimak dan menanggapi ceritanya dengan penuh perhatian, dan sesekali tersenyum dan tertawa saat humor segar terhambur di udara itu adalah benar-benar Ken.

Apakah aku boleh berharap?

Samar, Ingrid menghela napas panjang. Ia ingin. Tapi belum berani.

Di tengah-tengah obrolan mereka, Ken mendapat telepon dari Lulu. Lulu, Fritz, dan Taby sudah akan pulang. Mereka bersedia menunggu kalau Ken tidak lama lagi selesai. Tapi Ken menyuruh mereka pulang lebih dulu.

“Aku bisa naik taksi,” begitu ucapnya.

Mereka masih melanjutkan obrolan lagi hingga kedai itu berangsur sepi. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tertinggal. Akhirnya, Ken dan Ingrid pun beranjak. Sambil berjalan pulang, mereka melanjutkan obrolan. Seakrab kawan lama yang bertemu kembali. Tak lama berada di rumah Ingrid, Ken pun berpamitan.

“Kupanggilkan taksi online, ya?” Ingrid menawarkan.

“Oh, aku sudah mengunduh aplikasinya, kok,” ujar Ken sambil mengeluarkan ponselnya. “Pakai ojek saja, biar cepat.”

Dan, ojek yang menggunakan motor matik bongsor itu muncul beberapa menit kemudian. Ingrid ternganga ketika mengenali motor itu dan tatapan pengemudinya yang berjaket biru langit dengan variasi putih khas Great-jek. Seketika jantungnya bergemuruh.

Mas Bimbim???

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)