Minggu, 27 Januari 2019

[Cerpen] Koin










Dari balik pintu yang terbuka sedikit, Enya berusaha mendengarkan baik-baik suara rendah Brennan. Ucapan suaminya hanya sepotong-sepotong. Potongan lainnya terperangkap dalam jaringan ponsel di tangan Brennan. Walaupun sama sekali tak berhasil menangkapnya secara utuh, tapi dengan jelas Enya berhasil mengunci beberapa kata. 'Uang', 'gadai', 'pinjam', 'bank', 'sertifikat', dan 'bunga'.

Enya mendegut ludah. Ditariknya sedikit kepalanya yang menempel pada daun pintu. Keningnya berkerut dalam.

Dia mau ngapain? pikirnya.

Setahunya, mereka baik-baik saja. Tidak sedang dalam kondisi kesulitan keuangan. Ia tahu karena ialah yang menerima, membuka, dan membaca setiap laporan keuangan asuransi dan rekening koran miliknya dan Brennan yang dikirim oleh pihak bank. Ia pula yang secara rutin sebulan sekali mencetakkan buku-buku tabungannya dan Brennan agar jelas terlihat berapa perolehan mereka, dan berapa uang mereka yang menguap jadi stok kebutuhan sehari-hari.

Selama ini sama sekali tak ada hal aneh. Belanja mereka rutin dengan nilai yang nyaris sama setiap bulannya. Kalaupun ada simpanan yang tergerus untuk bersenang-senang, tak sampai membuat mereka bangkrut. Lagipula, status mereka saat ini sudah tak lagi punya utang apa-apa. Cicilan rumah sudah lunas tiga tahun lalu. Juga cicilan mobil. Sudah beres sejak awal tahun lalu. BPKB-nya pun sudah lama berada di tangan.

Lalu apa? Enya menggeleng resah.

Ketika hendak menempelkan kembali telinganya, mendadak saja pintu ruang baca sekaligus kamar kerja Brennan terbuka dari dalam. Enya terperanjat. Terlambat baginya untuk menghindar. Jelas-jelas Brennan memergokinya tengah menguping. Kini, laki-laki tercintanya itu menatapnya dengan sorot mata bertanya. Tapi Enya sungguh tak mau kalah.

Tepergok is tepergok. Lebih galak itu masalah lain!

"Papa sembunyikan apa dari aku?" tanyanya lugas.

Seketika Brennan mengalihkan tatapannya. Dihelanya napas panjang, seolah mengulur waktu. Tapi tatapan menuntut Enya sudah menguncinya.

"Itu...."

Brennan kelihatannya sulit untuk menemukan kata-kata yang tepat. Untuk sedikit mencairkan ketegangan itu, diraihnya bahu Enya.

"Ayo, duduk dulu, Ma. Kujelaskan."

Enya memilih untuk mematuhi ucapan lembut Brennan. Keduanya duduk di sofa. Bersisian. Brennan meraih tangan Enya, menggenggamnya hangat, sebelum mulai bertutur.

* * *

Enya terhenyak. Brennan sudah selesai menjelaskan dengan nada sabar. Ke-'sombongan'-nya runtuh seketika. Berganti dengan rasa malu yang sangat.

"Lagi?"

Hanya itu yang ia mampu bisikkan. Brennan segera merengkuh bahu Enya. Membawanya ke dalam pelukan.

"Kita punya cukup uang tunai untuk hidup sehari-hari sampai hari gajian tiba lagi. Kita cukup punya tabungan seandainya ada sesuatu yang mendesak sekali. Tapi kali ini kita tidak boleh mempertaruhkan uang tabungan lagi, Ma. Jumlahnya terlalu besar. Karenanya...."

"Sudah!" tukas Enya, dengan kemarahan mulai menyala. "Sudah cukup! Sudah lebih dari cukup apa yang selama ini kita korbankan buat mereka! Aku nggak mau lagi berurusan dengan mereka soal itu. Biar mereka pecahkan sendiri masalahnya! Dianggapnya kita apa? Tambang duit?"

Brennan tercenung mendengar hamburan kemarahan Enya. Sesungguhnya, jauh dalam lubuk hati, ia sependapat dengan Enya. Hanya saja, posisinya benar-benar terjepit saat ini. Antara suara hati, dan posisinya sebagai menantu ibu Enya.

"Mana sertifikat tanah yang mau Papa jadikan agunan itu?" Enya menadahkan tangannya dengan wajah beku. "Kalau perlu, SEMUA sertifikat pribadi yang Papa punya, serahkan padaku."

Brennan melengak. Seketika ia melepaskan rengkuhannya. Ditatapnya Enya. Sorot sabar dalam matanya mulai berkurang.

"Mau kamu apakan, Ma?"

"Aku simpan." Suara Enya terdengar begitu dingin. "Sertifikat tanah sawah peninggalan eyangmu tak pantas jadi penghuni brankas bank sebagai agunan kredit, Pa. Dan, apa sudah Papa pikirkan siapa yang akan bayar angsurannya? Kita, Pa. KITA!"

Brennan paham seutuhnya hal itu. Makanya ia bermaksud untuk menyembunyikan niatnya dari Enya. Soal angsuran, sudah ia pikirkan dari mana akan dicatutnya.

Perusahaan tempat ia bekerja sedang menggenjot produksi belakangan ini. Diperkirakan hingga akhir tahun depan akan ada banyak lemburan bagi karyawan. Belum lagi bonusnya. Jumlah mininal pun dihitungnya sudah bisa untuk menutup pinjaman itu. Karenanya ia berani mempertaruhkan salah satu sertifikat tanah sawah warisan dari neneknya. Untuk mengagunkan rumah yang mereka tempati sekarang, ia tak berani. Itu artinya akan 'membangunkan macan tidur'.

Dan, macannya sudah benar-benar bangun sekarang, pikirnya resah.

Semua bermula dari telepon dari ibu mertuanya beberapa hari lalu. Meminta pinjaman dana sejumlah tiga ratus lima puluh juta rupiah SECEPATNYA. Uang itu akan digunakan untuk pengobatan kakak Enya yang nomor tiga.

Melihat kepentingannya, Brennan tak sampai hati untuk menolak. Ia menjanjikan akan mengusahakan uang sejumlah itu secepat ia bisa. Satu-satunya hal yang terpikir olehnya adalah menggadaikan atau menjadikan salah satu harta tak bergeraknya untuk agunan.

Ketika ia berkonsultasi dengan Brenda, kakaknya itu menyarankan agar ia mengagunkan saja salah satu sertifikat tanahnya ke bank. “Jangan menggadai,” begitu pesan Brenda. “Jangan pula menganggap itu sebagai pinjaman. Itu ibu mertuamu sendiri. Ibumu juga. Keluargamu.”

Maka, ia pun mantap akan segera membawa salah satu sertifikatnya ke bank dua hari lagi, pada hari Senin. Sayangnya....

Macannya telanjur bangun dan menguping.

* * *

Sepeninggal Brennan, Enya menghenyakkan punggungnya ke sandaran sofa. Brennan tidak mau menyerahkan sertifikat-sertifikat yang dimilikinya untuk disimpan Enya. Tapi sepakat untuk menunda maksudnya menjadikan salah satu sertifikat itu sebagai agunan pinjaman di bank. Itu pun setelah melalui debat yang cukup alot, hingga waktunya Brennan harus pergi untuk menjemput Ruben dan Lisa yang mengikuti ekskul pada hari Sabtu begini.

Ibu Brennan sudah lama tiada. Sejak Brennan kelas 3 SMP. Bahkan sudah lebih dulu berpulang jauh sebelum ibunya, nenek Brennan, wafat. Eyang, begitu cucu-cucu menyebutnya, baru berpulang sekitar tujuh tahun yang lalu.

Eyang meninggalkan cukup banyak warisan untuk kedua putrinya. Berupa rumah pusaka dan tanah yang mengelilinginya seluas kurang lebih satu hektar berisi aneka tanaman buah, puluhan hektar tanah kebun dan sawah, juga berbagai macam perhiasan emas dan permata. Karena ibu Brennan sudah tiada, maka warisan itu langsung jatuh kepada keturunannya, yaitu Brenda dan Brennan. Brenda adalah kakak tunggal Brennan.

Brenda dan Brenda sepakat untuk membagi secara adil warisan yang mereka terima. Semuanya dibagi jadi dua bagian yang sama. Keduanya  sepakat pula untuk melepaskan hak waris atas rumah pusaka Eyang. Membiarkannya diurus oleh Bude Artini dan keturunannya. Apa yang mereka berdua terima sudah lebih dari cukup. Tapi rupanya Bude Artini 'tahu diri'. Ditebusnya hak waris itu dengan dua bidang tanah sawah yang berdampingan seluas masing-masing satu hektar di pinggir jalan raya, lengkap dengan sertifikatnya.

Selepas seribu hari Eyang berpulang, Brenda dan Brennan pun mengurus balik nama atas sertifikat-sertifikat yang menjadi hak mereka. Tabungan Brennan dan Enya terkuras banyak sekali untuk itu, tapi mereka mendapatkan gantinya berlipat ganda. Dan, sejak hari pertama menerima warisan berbagai perhiasan berharga dari nenek Brennan, Enya segera menyewa kotak penyimpanan di bank. Terlalu berisiko menyimpannya di rumah, karena nilainya ditaksir tak kurang dari tujuh ratus juta rupiah.

Hal itu tentu saja membuat nilai kekayaan mereka meningkat secara drastis. Apalagi tanah kebun dan sawah yang menjadi hak milik mereka sangat menghasilkan. Dikelola oleh putra sulung Bude Artini dengan sistem bagi hasil. Orangnya pun sangat bisa dipercaya. Hingga detik ini mengalirkan rupiah yang bila dirata-rata melampaui penghasilan Brennan sebagai seorang staf produksi sebuah perusahaan elektronik terkemuka. Dan, Enya pun tak pernah lupa menyisihkannya sebagian untuk berderma.

Sayangnya, rekening tempat menampung transfer bagi hasil itu tak pernah menggembirakan nilainya. Selalu saja terkuras untuk hal-hal di luar kebutuhan mereka sendiri. Padahal mereka sudah menerapkan hidup biasa-biasa saja. Berusaha puas dan mengatakan 'cukup' atas penghasilan Brennan sebagai seorang pekerja biasa.

Dan, sekarang masih mau menyiksa diri dengan menambah tanggungan yang seharusnya tak perlu kami tanggung? Enya menyipitkan mata dengan geram. Oh, nanti dulu!

* * *

Semua perasaan 'tak indah' yang ada dalam hati Enya saat ini tentang keluarganya, pastilah ada sebabnya. Bahkan sebab itu sudah terakumulasi jauh hari. Sejak ia menyadari bahwa ia juga seorang manusia biasa yang punya perasaan dan kesabaran yang ada batasnya.

Sepertinya, yang menjadi sebab awal adalah lahirnya ia sebagai anak hasil 'kebobolan'. Anak bungsu dari empat bersaudara yang berbeda usia hampir delapan tahun dengan anak ketiga. Ketika orang tuanya sudah merasa aman dengan tiga orang anak, bahkan sudah melampaui jumlah dua anak cukup yang gencar didengungkan pemerintah saat itu, dan sudah cukup merasa 'malu' punya anak lebih dari dua, mendadak saja ia hadir dalam perut Mami.

Lantas apakah itu salahku? Enya mencibir dalam hati.

Makin besar, ia makin menyadari bahwa perannya di rumah tak lebih daripada seorang 'babu'. Tukang disuruh, dikasari ketika mencoba membangkang, dan tak seutuhnya diterima oleh keluarga, terutama ibunya.

Ada satu rangkaian ucapan ibunya yang hingga detik ini masih menancap bagai belati dalam hati dan benaknya. "Masih untung kamu bisa hidup sampai sekarang! Coba dulu aku meneruskan niatku untuk menggugurkanmu!" Benar-benar belati tajam yang melukainya begitu dalam, tanpa luka itu bisa sembuh. Itu diucapkan ibunya ketika ia meminta haknya untuk dikuliahkan seperti tiga orang abang dan kakaknya.

Penolakan itu memaksanya putar otak dan secepatnya mencari kerja untuk biaya melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi seperti yang ia inginkan. Ada seorang kenalan ibunya yang menaruh rasa iba dan menariknya jadi tenaga administrasi pada jaringan butik miliknya. Bekerja dari pagi hingga sore hari, dan kuliah pada malam harinya. Tertatih-tatih, tapi ia berhasil menyelesaikannya dengan baik.

Dan, Papi? Kembali Enya mencibir. Cuma laki-laki cengeng dan lemah, tukang mengeluh, dan hobi tebar pesona sana-sini!

Puncak semua pemberontakannya adalah ketika ia menolak mentah-mentah perjodohan yang sudah diatur oleh ibunya. Pemuda itu anak sahabat ibunya.  Wajahnya tampan. Bahkan sangat tampan. Pendidikannya tak main-main. Master di bidang manajemen lulusan luar negeri. Pekerjaannya sudah mapan. Terkesan tak ada cela. Tapi, Enya tak akan pernah melupakan sesuatu.

Mata pemuda itu liar. Seolah berusaha menelanjanginya tiap kali pandangan mereka bertemu. Tatapan yang membuat Enya jijik dan muak. Tatapan yang membuatnya benar-benar berani berontak dan memutuskan untuk kawin lari dengan sahabatnya sendiri. Benar-benar lari keluar dari kota mereka lahir dan tumbuh besar karena Brennan membawanya pergi ke kota tempat ia baru beberapa bulan meniti karier.

Tak terkira betapa murkanya Mami. Tentu saja menantu bungsunya yang 'hanya' berpendidikan D3 dan berkarier sebagai 'buruh' biasa itu sama sekali tak sebanding dengan calon menantu yang diidamkannya. Brennan benar-benar tak pernah dipandang – bahkan – sebelah mata pun oleh keluarganya, terutama Mami.

Saat Ruben lahir pada tahun kedua pernikahan Enya dengan Brennan, disusul dengan Lisa dua tahun kemudian, perang urat saraf itu mengendur. Mami mulai bersedia mengunjungi cucu-cucunya. Tapi tak pernah lupa membawa serta mulut tajamnya. Masih saja menyindir Brennan di sana-sini. Masih juga membawa-bawa nama Brasco, laki-laki yang sudah di-gadang-gadang-nya untuk jadi menantu pamungkas.

Untungnya, kesabaran Brennan benar-benar berada pada tingkatan dewa. Alih-alih terpengaruh, Brennan justru terus melaju dengan keteguhannya sendiri meniti karier. Membawa Enya dan anak-anak dalam kehidupan yang makin baik. Lagipula, belakangan ada berita bahwa Brasco mati mengenaskan karena terjangkit AIDS. Itu terjadi karena Brasco punya hobi ‘jajan’ di lokalisasi. Membuat gosip-gosip menyebalkan Mami tentang Brasco padam dengan sendirinya.

Tapi, kehidupan makin baik pun membawa 'malapetaka' tersendiri. Dimulai dengan kakaknya yang nomor dua, sering mengeluh soal kekurangan uang. Suaminya – termasuk menantu yang paling sering dibanggakan Mami – memang pengusaha cukup berhasil, tapi pelitnya tujuh turunan. Didasari rasa iba, Enya – dengan persetujuan dari Brennan, tentu saja – membagi sedikit uang belanja yang dimilikinya.

Berjalan selama beberapa waktu, abang iparnya tahu soal kongkalikong itu. Entah dari siapa beritanya. Yang jelas, bukan berasal dari mulut Enya, apalagi Brennan. Ia menghubungi Enya dan meminta agar Enya menghentikan dermanya. Ia sudah memberi uang lebih dari cukup setiap bulannya, tapi kakaknya memang terlalu boros. Ketika Enya menuruti permintaan sang abang ipar, habislah ia dimaki kakaknya sendiri. Yang pengadulah, pelitlah, cari mukalah, dan masih banyak lagi kata menyakitnya lainnya, alih-alih berterima kasih atas semua pemberian sang adik bungsu selama ini.

Lepas dari kakak kedua, ganti abang sulungnya datang hendak berutang. Usaha percetakan miliknya sedang sepi, sedangkan ia harus bersiap menghadapi kelahiran anak keduanya. Ia butuh tambahan modal untuk membangkitkan lagi usahanya. Saat itu, hasil kelola tanah warisan sudah mulai mengalir masuk ke pundi-pundi Brennan dan Enya. Sekali lagi, atas persetujuan Brennan, Enya menguras pundi-pundi itu. Dua kali ia melakukannya, dua kali pula utang itu menguap tanpa ada kabarnya hingga detik ini.

Selain itu, Mami juga mulai merecokinya dengan berbagai keinginan untuk merenovasi rumah. Brennan yang murah hati dengan ringan urun biaya. Pundi-pundi mereka terkuras habis. Nyaris sampai dasar. Hanya menyisakan lima ratus ribu rupah saja tercetak dalam saldo terakhir buku tabungan.

Lalu, apakah Brennan sudah terlihat keberadaannya dalam keluarga? Enya kembali mencibir. Mulai menyadari bahwa ia dan Brennan sudah terlalu banyak 'membeli' pengakuan akan keberadaan Brennan dalam keluarganya. Kran pun mulai ditutup, karena keberadaan Brennan benar-benar hanya diakui kalau mereka butuh uang.

Lalu, ke mana semua anak dan menantu top yang selama ini dipuji-puji setinggi langit oleh Mami? Enya mengangkat bahu. Mencoba abai. Pun ketika masih beberapa kali lagi ada usaha untuk mengeruk apa yang sudah diperjuangkan Brennan dengan waktu dan tenaganya sebagai 'kuli'. Dengan teguh Enya menggeleng. Menebalkan telinga terhadap semua cacian 'dasar pelit!' dan sebangsanya yang dengan enteng mereka tebarkan di udara. Tanpa tahu bahwa di belakang itu, Brennan masih juga mengulurkan tangan dan uang.

Tapi ternyata....

Enya merengut. Penuturan Brennan beberapa saat lalu membuatnya sadar, bahwa keluarganya masih berusaha memanfaatkan posisi serba salah Brennan. Buktinya, Brennan sudah sampai ke tahap hampir saja merelakan  salah satu sertifikatnya jadi agunan pinjaman ke bank.

Tiga ratus lima puluh juta rupiah!

Enya menggeleng. Barangkali benar bahwa mereka kali ini benar-benar membutuhkannya. Kakaknya yang nomor tiga perlu biaya untuk perawatan kanker rahimnya. Suaminya? Yang super kaya karena punya bisnis batu bara itu? Menantu kebanggaan Mami? Untuk kesekian kalinya Enya mencibir. Laki-laki itu memilih untuk kabur daripada bertanggung jawab merawat istrinya.

Tapi, Enya sedikit bisa memahami alasan laki-laki itu. Di masa mudanya dulu, kakaknya yang memang cantik  jelita itu sudah lebih dari cukup menikmati kebinalan. Bisa jadi penyakitnya sekarang dipicu karena ulah pada masa lalunya. Setahunya, itu juga menurut berita burung yang lumayan bisa dipercaya, kakaknya itu pernah dua kali menjalani aborsi ilegal. Pertama saat SMA, kedua saat kuliah. Dua-duanya karena benar-benar tak jelas siapa yang harus bertanggung jawab. Karena terlalu banyak laki-laki yang sudah mencicipi tubuhnya secara gratis. Mau sama mau, tanpa biaya.

Lalu, kalau sekarang dia harus seperti itu kondisinya, apakah itu salahku juga?

Enya menggeram dalam hati. Apalagi di antara semua abang dan kakaknya, kakak yang nomor tiga inilah yang seumur hidup paling jahat padanya.

Ia mendendam? Memerlukan  ajang untuk membalas sakit hati itu? Rasa-rasanya tidak. Ia sudah memaafkan, tapi selalu saja kejadian yang sama terulang lagi. Lagi-lagi ia dimanfaatkan sedemikian rupa. Ditindas tanpa ampun. Digencet tanpa seorang pun pernah bersedia memikirkan perasaannya.

Kecuali Brennan.... Enya mengerjapkan matanya yang menghangat tiba-tiba. Dia selalu memikirkanku.

Ia belajar banyak dari Brennan tentang bagaimana bersabar dan memaafkan. Tapi untuk mengikhlaskan semua yang pernah ia alami, ia belum sanggup.

Suara klakson ringan di depan rumah menyadarkannya. Saat beranjak, ia mendengar pintu pagar didorong terbuka. Dilongokkannya kepala, mengintip dari balik vitrase jendela. Mobil yang dikemudikan Brennan meluncur masuk, dan Ruben bergegas menutup pintu pagar.

Sejenak kemudian rumah itu sudah kembali semarak dengan gema celoteh dua abang-adik ABG yang saling menyayangi. Membuat Enya kembali tersenyum, walau belum utuh seperti biasanya.

* * *

Brennan heran ketika Senin sore itu ia pulang kerja tanpa menemukan senyum Enya menyambutnya. Hanya ada Ruben di beranda. Tengah asyik mengerjakan latihan soal ujian akhir SMP sambil makan kuaci. Lisa hampir pasti tak ada di rumah, karena masih jadwalnya latihan karate di lapangan kompleks.

"Mama pergi?" tanya Brennan sembari mengecup kening Ruben, seperti biasanya.

"Ada, tuh, Pa. Di kamar. Lagi bongkar lemari. Cari apa, gitu. Nggak jelas."

"Oh...."

Tanpa suara, Brennan pun meninggalkan Ruben. Benar, Enya ditemukannya tengah sibuk di depan salah satu lemari pakaian di kamar mereka. Baju-baju terlipat yang sebelumnya ada di dalam lemari-lemari, kini tertumpuk rapi dekat kaki meja rias. Dan, Enya masih sibuk melongokkan kepalanya, meneliti bagian dalam lemari.

"Cari apa, Ma?"

Suara lembut Brennan membuat Enya kaget. Kepalanya terantuk alas rak lemari. Membuatnya menoleh sambil meringis.

"Kok, sampai bongkar total begini?" gumam Brennan, menghampiri Enya untuk memberinya sebuah ciuman di kening.

"Ini... cari korsase yang dulu dibuat sama Lisa. Aku lupa taruh di mana. Memang aku yang simpan. Mana mau dibawa ke sekolah besok, lagi."

"Kok, mendadak?" Brennan mengerutkan kening.

"Nggak mendadak juga. Dia sudah pesan dari kapan itu. Aku saja yang pikun."

"Faktor U," Brennan tertawa, membuat Enya kembali meringis.

Brennan kemudian melepaskan baju dan celana kerjanya, menggantinya dengan kaus oblong dan celana pendek yang diambilnya secara acak dari tumpukan. Ketika melangkah ke arah keranjang baju kotor, tak sengaja kakinya menendang sesuatu.

Enya menoleh dan seketika menahan napas. Benda yang tertendang Brennan adalah sebuah kotak kayu berukuran 20x30 sentimeter setebal 15 sentimeter yang tadinya ada di atas sebuah celengan kaleng untuk koin. Dan, kotak itu kini terguling. Terbuka, dan tanpa bisa dicegah isinya tumpah. Seolah mengalir dari dalamnya.

Brennan mengerutkan kening. Ia mendekati, membungkuk, memungut, dan mengamati benda serupa kartu berwarna hijau dalam kemasan plastik yang tadi tertumpah dari kotak.

"Apa ini?"

Enya mendegut ludah.

* * *

Kotak kayu yang cukup besar itu kini tergeletak di atas ranjang. Lemari dan kamar sudah kembali rapi. Korsase yang dimaksud Lisa juga sudah ditemukan. Ada di dalam sebuah kotak plastik di atas lemari.

Dengan gerakan pelan, Enya membuka tutup kotak kayu itu. Ia menumpahkan isinya ke atas kasur. Brennan menatap tumpahan isi kotak itu tanpa berkedip. Ada puluhan, bahkan mungkin mencapai angka ratusan, semacam kartu berwarna hijau dan putih yang masing-masing terbungkus plastik. Tapi yang menarik perhatiannya bukanlah kartu hijau dan putih itu, tapi apa yang tertempel pada kartu-kartu itu. Koin berdiameter sekitar dua sentimeter pada kartu hijau, dan sebentuk kotak persegi panjang kecil dalam berbagai ukuran pada kartu putih. Semuanya terbuat dari emas.

"Ini... banyak sekali, Ma,” desis Brennan.

"Tentu saja banyak," gumam Enya. "Jujur, aku tak mau kita hidup susah. Gajimu sejak awal kita menikah sudah cukup bagi kita. Maka dari itu, aku bisa menyisihkanya sedikit demi sedikit untuk ditabung. Juga... aku masih berusaha mencopet dari pos-pos yang lain untuk membeli ini." Enya meraup kartu-kartu sertifikat berisi emas itu, dan mengucurkannya kembali ke ranjang.

Brennan ternganga.

"Ini koin-koin dan keping-keping perjuanganku untuk menabung dalam bentuk lain," lanjut Enya. "Agar sewaktu-waktu bila kita jatuh, kita masih punya sesuatu untuk dijual demi menyambung hidup kita."

"Berapa lama kamu mengumpulkannya, Ma?" Brennan menatap dengan takjub. Ia memang benar-benar tidak tahu soal ini.

"Sejak bulan kedua kita menikah. Setiap bulan aku menargetkan untuk membeli satu keping yang batangan dengan berat terendah. Di awal-awal dulu, terkadang bisa, terkadang tidak. Pernah hingga dalam jangka waktu tujuh bulan hanya bisa terbeli satu keping saja yang dua gram. Makin ke sini, ketika penghasilanmu makin banyak dan aku bisa ikut arisan dalam jumlah besar, aku mulai bisa mengumpulkan yang berbentuk koin. Koin ini semua sama beratnya. 4,25 gram. Kalau yang batangan bervariasi. Antara dua hingga sepuluh gram. Entah seberapa banyak ini semua kalau ditotal. Dan, entah apakah kita masih membutuhkannya. Tapi... kupikir..."

Enya mengatupkan kelopak matanya. Menarik napas panjang. Beberapa detik kemudian ia membuka lagi matanya. Menatap Brennan.

"Ini saja yang kuberikan kepada Mami," lanjutnya. "Kuberikan, bukan berupa utang. Tidak semua, tentu saja. Yang koin-koin saja. Entah berapa jumlahnya. Nanti coba kita hitung dulu, Akan kuberikan mentahan, biar ada usaha untuk menjualnya sendiri. Yang lantakan mini ini tetap akan kusimpan, atau akan kutukarkan dengan yang lebih besar."

Brennan menatap Enya, dalam. "Lalu?"

Enya mengedikkan bahu. "Kali ini harus benar-benar cukup. Entah bagaimana caranya akan kubuat mereka paham untuk tidak terus-terusan mengganggu kita. Aku tak pernah minta dilahirkan. Kalaupun aku dicap durhaka, aku tak lagi peduli. Semua sudah lebih dari cukup, Pa. Setiap orang harus bertanggung jawab terhadap kehidupannya sendiri. Kuharap kamu juga bersikap seperti itu kepada keluargaku, Pa. Orang ndablek dan tak tahu malu sekali waktu perlu dicambuk dengan sikap keras. Aku tak mau lagi kita terus-menerus diremehkan dan cuma jadi pelarian soal uang."

Seketika Brennan menarik Enya dan menenggelamkannya ke dalam pelukan. Enya balas memeluknya.

Enya mengerjapkan mata. Sudah tergambar dalam benaknya, bagaimana ia harus mencambuk keluarganya. Kehidupannya saat memang sudah berada dalam posisi cukup di atas. Itu semua karena ketekunan dan perjuangan Brennan.

Dengan dibantu Brennan, ia kemudian menghitung jumlah koin emas yang dimilikinya. Total ada 126 keping. Brennan kemudian berselancar melalui ponselnya. Mencoba mencari informasi berapa nilai 126 keping koin emas simpanan Enya. Beberapa menit kemudian ia mengangkat wajah, menatap Enya.

“Taksiran nilainya sekitar dua ratus delapan puluh jutaan rupiah saat ini, Ma. Harga buyback. Masih kurang.”

Enya menghela napas panjang. Terakhir ia mencetakkan buku tabungan hasil sawah dan kebun dua minggu lalu, tercatat ada saldo delapan puluh tiga juta rupiah. Ia kemudian mengambil buku itu dari laci lemari dan menunjukkannya kepada Brennan.

“Apa ini harus dikuras lagi?” tanyanya.

Tanpa pikir panjang Brennan mengangguk. Enya menghela napas panjang. Ditatapnya Brennan dalam-dalam.

“Setelah ini cukup. Selesai,” ujarnya dengan nada tegas. “Kita bukan sapi perahan. Kita sendiri punya anak-anak untuk dipikirkan masa depannya. Mami masih punya penghasilan lebih dari cukup untuk hidup dari toko-tokonya. Soal abang dan kakak, itu masalah mereka. Mereka sudah lebih dari cukup dewasa untuk memikirkan masa depan hidup dan keluarga mereka sendiri. Kalau suatu saat kita memberi karena kita pandang memang perlu untuk memberi, itu soal lain lagi. Anggap saja sebagai derma. Sama seperti koin-koin ini."

Brennan memilih untuk tidak memperkeruh lagi suasana yang sudah cair saat ini. Ia pun mengangguk. Enya menghela napas. Lega.

Semua miliknya tak ada yang abadi, ia tahu betul hal itu. Termasuk keping-keping emas yang kini terkumpul di atas ranjang. Karenanya, ia mencoba untuk melepaskan semua keping yang berbentuk koin degan ikhlas. Mungkin tak akan pernah cukup di mata keluarganya. Tapi ia tak peduli lagi. Baginya, semua pengorbanannya selama ini sudah cukup. Lebih dari cukup. Lebih baik membantu orang lain yang memang benar-benar memerlukan.

Enough is enough! tegasnya dalam hati. Meneguhkan diri.

* * * * *



Teriring ucapan terima kasih untuk Mbak Gita Sonya Margareta. 🙏🙏🙏