Sebelumnya
* * *
Makan malam sudah siap di atas island mungil yang ada di pantry ketika Andries pulang ke apartemen menjelang pukul enam. Laki-laki itu tak tampak kaget melihat kehadiran adiknya. Tadi ketika ia mampir ke pojok sekuriti di lobi untuk mengambil menu kateringnya, sekuriti memberitahu bahwa rantang itu sudah diambil sang adik dan dibawa ke atas.
“Aku menginap, ya, Dries,” Pingkan tersenyum manis.
Andries membalas senyum itu dan mengangguk.
“Sana, mandi dulu,” ucap Pingkan lembut. “Buruan, aku sudah lapar.”
Andries terkekeh kini. Tak sampai sepuluh menit, ia sudah siap duduk di depan island.
“Pesan antar?” Andries menunjuk box makanan cepat saji yang ada di depan Pingkan.
“Enggak,” Pingkan menggeleng. “Tadi mampir ‘bentar di drive thru.”
“Oh....”
“Mau?” Pingkan menyodorkan box kertasnya.
Andries menggeleng. Ia sudah tak lagi bisa makan sembarangan. Kateringnya pun khusus mengirimkan menu yang sesuai dengan saran ahli gizi. Menu yang benar-benar aman untuk tubuhnya dan benar-benar terasa enak di lidah.
“Tumben mau menginap di sini?” celetuk Andries tiba-tiba.
“Ih! Sering ‘kali ...,” rajuk Pingkan.
Andries tersenyum lebar. “Iya, sih, sampai satpam-satpam pada hafal.”
Pingkan terkikik geli. Mereka menikmati makanan masing-masing sembari mengobrol berbagai hal ringan. Hingga akhirnya obrolan itu mengerucut pada satu nama. Maxi.
“Nicholas tadi telepon aku,” ujar Andries pada suatu detik. “Pacarmu itu memang kemampuan problem solving-nya paling menonjol dibandingkan teman-teman seangkatannya. Tadi ada mesin di line tiga yang trouble, dia bisa betulin. Padahal itu mesin yang paling kompleks sistemnya. Hebat dia!”
Pingkan tersenyum. Antara senang dan bangga. Andries sendiri pada akhir minggu lalu sudah mendengar sendiri dari mulut Pingkan, bagaimana hubungan Pingkan dan Maxi saat ini berjalan.
“Dia mau ditempatkan di mana?”
“Pilihannya baru masuk nanti hari Senin. Mauku, sih, dia kupertahankan di sini atau Karawang. Tapi kelihatannya Nicholas juga tertarik.” Andries mengedikkan bahu.
Wah, rebutan! Pingkan meringis sekilas.
“Kali ini aku nggak mau ngalahlah ....” Andries tertawa ringan. “Lagipula aku, kan ....”
Sampai di sini Andries berhenti. Karena mendung sudah utuh menaungi wajah Pingkan. Siap menumpahkan sekeranjang hujan.
“Hei ...,” bisik Andries. “Kita sudah sering membahas ini, kan?”
Pingkan menggeleng.
“Ke, salah satu pabrik yang kupegang itu milikmu,” ucap Andries. Lirih. Halus. “Perasaanku bilang, kamu dan Maxi akan langgeng sampai kalian berkeluarga nanti. Kalau kamu tidak mau terlibat sama sekali dalam urusan pabrik, biarlah kelak itu jadi urusan Maxi. Papa sudah menyiapkan Nicholas untuk jadi penggantinya. Memegang kendali kantor pusat dan pabrik di Tangsel. Tugasku adalah menyiapkan Maxi agar sewaktu-waktu bisa menggantikanku saat waktunya tiba. Pabrik harus tetap terkendali karena menjadi tumpuan kehidupan banyak orang. Para staf, karyawan, dan keluarga mereka. Tidak boleh oleng sedikit pun hanya karena masalah pergantian pemimpin.”
Pingkan mendegut ludah. Matanya sudah mengaca sedari tadi. Ia mengerjapkannya dan mencoba untuk menentang tatapan Andries.
“Tapi kamu jangan menyerah dulu, Dries,” bibirnya bergerak-gerak tanpa suara.
Andries mencoba untuk tersenyum. Diulurkannya tangan, mengusap pipi mulus adik bungsunya itu.
“Aku tak pernah menyerah.” Ia menggeleng pelan. “Belum ingin menyerah. Apalagi saat target-targetku ada yang belum tercapai seperti sekarang. Tapi suatu saat tugasku akan selesai, Ke. Setelah memastikan bisa menyerahkanmu pada tangan yang betul-betul tepat untuk menjagamu. Setelah bisa memastikan bahwa kelangsungan hidup pabrik juga berada pada tangan yang tepat. Mungkin setelah itu aku akan beristirahat sejenak. Sekadar menikmati sisa waktu yang kupunya. Sebelum ... Tuhan benar-benar memanggilku.”
Air mata Pingkan sudah tak lagi bisa terbendung. Andries meraih dan menenggelamkannya ke dalam pelukan. Pingkan terisak dalam pelukan sang abang kesayangan.
Leukemia keparat! Pingkan memaki dalam hati. Keparat kamu! KEPARAT!!!
* * *
‘Berusaha untuk menjalaninya tanpa beban, Ke.’
Pingkan mendesah membaca kalimat yang tertera pada layar ponselnya itu. Sebagai tanggapan atas pesan yang dikirimkannya beberapa menit lalu kepada Maxi, yang bertanya tentang bagaimana kabar pemuda itu di Royal Interinusa. Ia kemudian menuliskan balasannya dengan cepat.
‘Beban? Karena akukah?’
Dengan jantung berdebar kencang, ia menunggu balasan berikutnya dari Maxi.
‘Jujur, iya. Tapi sama sekali bukan karena kamu. Ini karena perasaanku sendiri. Seandainya aku boleh memilih untuk lepas dari Royal Interinusa agar tetap bisa bersamamu selamanya, aku pasti memilih itu.’
‘Seandainya menjalani dua-duanya, bisa, kan?’
‘Sementara ini, setahun ini, bisa, Ke. Kamu pasti tahu, kan, kontrakku berjalan setahun?’
‘Setelah itu?’
‘Aku akan membangun karier di tempat lain.’
‘Kenapa tidak tetap di Royin?’
Berlalu sekian menit tanpa balasan, hingga kalimat itu muncul di layar.
‘Kan, aku belum tentu terpakai lagi.’
‘Seandainya tetap terpakai?’ Pingkan terus mengejar.
Sekian menit lagi tanpa balasan.
‘Mungkin aku akan mulai lagi dari nol di tempat lain. Atau memulai usaha mandiri.’
Pingkan menghela napas panjang. Ia mulai memahami pola pikir Maxi. Maxi yang mandiri dan tak mau mengandalkan koneksi. Ia ingat ucapan Donner beberapa waktu lalu.
“Kalau dia tahu Royin punya keluargamu, aku yakin dia nggak akan coba-coba untuk melamar ke sana.”
‘Aku nggak ingin memaksamu untuk memahami apa yang kumau, Ke. Aku hanya berusaha untuk menjadi diriku sendiri sambil tetap berusaha untuk membahagiakanmu. Untuk itu aku akan bekerja keras. Nggak akan membiarkanmu menderita secara ekonomi.’
Air mata Pingkan mengembang setelah membaca kalimat itu. Hanya ada rasa syukur yang bersemayam di hatinya kini. Karena diizinkan oleh Tuhan untuk bertemu dengan seorang pemuda berkepribadian baik bernama Maximilian Magenta.
‘Ya, Max, aku percaya meskipun kamu tak berjanji apa-apa. Tapi seandainya kamu dibutuhkan dalam jangka panjang oleh Royin, kamu mau, kan?’
‘Karena statusku yang berhubungan denganmu? Aku pikir, sebaiknya tidak, Ke. Walaupun seandainya aku punya prestasi sekalipun. Bahkan seandainya aku bisa mundur sekarang, aku akan lakukan itu. Tapi aku nggak mau melakukan wanprestasi yang menyalahi kontrak kerja. Aku akan tetap bekerja semampuku hingga setahun ke depan. Menyelesaikan kontrak secara baik-baik. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk berterima kasih kepada Royal Interinusa, yang sudah memberiku kesempatan untuk mengambil pengalaman berharga bekerja di sana.’
‘Oke, aku paham. Mungkin, kalau aku ada di posisimu, aku juga akan berpikir hal yang sama.’
‘Terima kasih, sayang ....’
Pingkan tersenyum lebar dan menghapus air mata yang belum sempat menggelinding keluar.
‘Eaaa .... Mulai sayang-sayangaaan .... Ngomong-ngomong, aku lagi di apartemen Andries ini, Max. Besok pagi-pagii aku pulang.’
‘Oh, salam buat Pak Andries, ya, Ke.’
‘Yup! Besok aku sampaikan. Dah bobok dia.’
‘Kamu nggak bobok, Ke? Dah hampir tengah malam ini.’
‘Iya, ini dah siap-siap. Kamu juga, Max? Kamu pasti capek bolak-balik tiap hari melaju buat kerja.’
‘Ini sudah rebahan, kok. Sambil istirahat pacaran bisu dulu di udara, hehehe ....’
Pingkan terkikik geli karenanya.
‘Ya, deh, sambung besok, ya?’
‘Eh, aku mau cari kado buat Mama. Kapan kamu bisa keluar?’
‘Besok bisa. Siang, sore. Terserah kamu.’
‘Ya, deh, besok aku senggol kamu lagi, ya. ‘Met bobok, cantik. Have a sweet dream ....’
Pingkan menutup acara berbalas pesan itu dengan tiga emoji ciuman cinta. Sambil menghela napas panjang, ia meletakkan ponselnya di atas meja kecil di sisi ranjang.
Pelan-pelan, ya, Max. Masih ada waktu setahun untuk mengubah pendirianmu. Semoga bisa. Demi Andries.
Pingkan menguap dan memejamkan mata. Membiarkan mimpi menguasai tidurnya. Mengirimkan bayang keteduhan wajah dan senyum Maxi dalam benaknya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)