Rabu, 09 Januari 2019

[Cerbung] Portal Triangulum #11-3









Sebelumnya



* * *



Kana menyimpan kembali alat komunikasinya. Sepersekian detik kemudian, baru ia menyadari bahwa sekeliling meja hening. Enam pasang mata menatapnya, seolah meminta penjelasan. Kana meringis.

Sekilas ia menatap satu demi satu teman-temannya. Brahmz, Dominique, Taiga, Lexi, Mandalika, dan Senja. Keenam orang itu adalah rekan-rekannya yang paling dekat. Mereka bertujuh sering menghabiskan waktu sepulang kerja bersama. Paling sering makan malam, ke bioskop, ataupun ke gym.

“Siapa, nih?” Senja mengangkat alis.

“Euh ... Orang dari Ancora, Andromeda.” Kana kembali meringis.

“Jauhnya ....” Lexi menggelengkan kepala.

“Hehehe .... Ketemu pas bahas masalah portal dan hilangnya Moses kemarin itu.

“Kayaknya ada story, nih!” goda Senja.

Kana tersipu malu. Membuat teman-temannya bersorak tertahan. Masih menyadari bahwa mereka ada di tempat umum yang ramai orang.

“Hehehe ....” Kana kembali terkekeh. Tapi sejurus kemudian ia kembali serius. “Aku mengundangnya ke sini. Keberatan?”

“Enggaaak ....” Jawaban itu menyerupai kor.

“Tapi kayaknya kamu butuh tempat yang agak privat,” sambung Taiga.

“Betul! Betul!” Yang lain mendukung.

“Ya, deh.” Kana mengangguk. “Yang penting di sampai di sini dulu, kenalan sama kalian, dan ... coba aku nanti cari tempat lain.”

“Tapi bill­-nya ini tetap kamu yang bayar, kan?” Brahmz nyengir jahil.

Kana tertawa lepas. Pun teman-temannya.

“Tenang saja!” Kana menepuk lembut punggung tangan Brahmz. “Nanti aku bilang ke kasir.”

“Sip!” Mandalika mengacungkan jempol.

Beberapa detik kemudian, suara lirih Lexi membuat pembicaraan mereka terhenti. Gadis itu kebetulan duduk menghadap ke arah pintu masuk. Pada satu detik, ia mendapati bahwa pintu masuk bistro terbuka. Seorang laki-laki tinggi tegap – Lexi menaksir tingginya tak kurang dari 190 sentimeter – melangkah masuk dengan langkah yakin. Berdiri sejenak di depan pintu dan mengedarkan tatapan ke seantero ruangan.

Laki-laki itu tampan, keseluruhan wajahnya sangat proposional, dan berkulit warna tembaga muda. Rambut pirang panjangnya diikat rapi ke belakang. Mengenakan pakaian khas Ancora, overall  berwarna keemasan mengilat yang minim ornamen. Ada wibawa yang terpancar dari gerak-geriknya.

“Ow, ow .... Dia datang,” gumam Lexi.

Seketika, enam kepala mengikuti arah pandang Lexi. Laki-laki rupanya sudah menemukan yang dicarinya. Masih dengan langkah tegak dan yakin, ia menghampiri meja Kana dan teman-temannya. Kana segera berdiri.

“Tuan Gematri,” angguknya sopan.

“Kana, apa kabar?” Senyum yang terulas di wajah Gematri hampir saja memabukkan Kana.

“Baik.” Suara Kana nyaris terdengar seperti tikus yang tengah terjepit. Mencicit lirih untuk menyembunyikan getarnya.

Setelah berjabat tangan, Kana memperkenalkan tamunya kepada keenam rekannya. Kemudian ia melambai kepada seorang pramusaji yang melintas di dekatnya. Dengan sopan, ia minta dicarikan meja lain untuk berdua. Pramusaji itu segera memanggil temannya untuk membantu Kana.

Tak butuh waktu lama, meja yang diinginkannya sudah siap. Ada di area beranda belakang bistro.

“Nanti suruh pramusaji kirim bill­­-nya ke mejaku,” bisiknya sebelum melangkah pergi.

“Sudah, nanti aku bayari dulu,” tukas Mandalika lirih. “Kamu tinggal transfer saja ke rekeningku kalau sudah senggang.”

Kana menggumamkan terima kasih.
Sepeninggal Kana dan Gematri, Brahmz segera mengeluarkan bank data dari saku overall-nya. Ia sibuk mengetikkan sesuatu, dan beberapa detik kemudian ia menunjukkan bank datanya kepada kelima rekannya. Wajah Gematri terpampang di layar.

“Volans Gematri,” ujar Brahmz. “Presiden Planet Ancora. Ketua Federasi Galaksi Andromeda. Kayaknya kali ini Kana nggak main-main.”

Decak kagum segera memenuhi udara sekeliling meja itu.

* * *

“Sudah kubilang, panggil saja aku Volans atau Gematri,” Gematri protes dengan suara lirih saat mengekor langkah Kana dan pramusaji menuju ke beranda belakang bistro.

Kana menoleh sekilas. Tersenyum. Tak menjawab.

“Tapi sejujurnya aku lebih suka dipanggil Volans,” bisik Gematri lagi. “Selama ini belum pernah ada yang memanggilku Volans.”

Ketiganya sudah sampai di meja yang dimaksud. Setelah menyilakan Kana dan Gematri duduk, memberi keduanya buku menu, berpesan agar bel di meja ditekan apabila keduanya sudah siap untuk memesan makanan, pramusaji itu meninggalkan mereka berdua.

Beranda belakang bistro itu cukup lengang. Diisi dengan meja-meja untuk berdua yang jaraknya sengaja diatur agar pengunjung memiliki cukup privasi. Walaupun hampir semua meja terisi penuh, tapi suasana di beranda itu sangat tenang. Cukup romantis karena pengaruh cahaya lembut lampu-lampu redup yang berpendar hangat di langit-langit.

“Baiklah,” Kana memberanikan diri menatap Gematri sebelum membuka buku menunya. Mencoba menantang pesona laki-laki itu. “Apakah cukup menyenangkan bila aku memanggilmu Volans?”

Seketika binar indah memenuhi mata Gematri. Melelehkan hati Kana.

“Sangat menyenangkan!” seru Gematri tertahan. Sangat antusias.

Kana tersenyum lebar karenanya. Selama beberapa detik keduanya bertatapan. Mencoba untuk meruntuhkan sekat dan melelehkan penghalang. Hingga begitu saja aneka pikiran mereka terhambur di udara. Memaksa keduanya memunguti pikiran itu satu demi satu dan merangkainya dalam benak.

‘Aku senang kita bisa berkomunikasi dengan cara seperti ini.’ Suara empuk dan lembut Gematri menembus benak Kana.

‘Aku juga.’ Kana mengulas senyum manis di bibirnya. ‘Mau makan apa?’

‘Aku asing dengan menu Bhumi. Tapi tak ada pantangan khusus. Pilihkan saja apa pun untukku.’

‘Baiklah.’

Kana membuka buku menu dan mulai meneliti isinya satu demi satu. Dua porsi makanan pembuka, satu porsi makanan utama, dua porsi menu penutup, dan dua gelas minuman, dua botol air mineral, dan tak lupa seporsi besar emping belinjo gurih kesukaan Kana. Ia sengaja tak memesan lagi makanan utama karena sebenarnya sudah cukup kenyang. Tapi kalau makanan pembuka dan penutup yang lezat-lezat khas bistro itu, ia tak akan menolaknya.

Gematri memuaskan diri menatap Kana yang tengah serius menekuni buku menu. Gadis itu tampak sangat menarik sekaligus menggemaskan. Wajah cantiknya terkesan ‘suci’, nyaris seperti anak-anak. Gematri suka sekali menatap gemerlap yang berpendar dalam mata bening Kana.

Ia tersentak ketika Kana membuat gerakan sedikit tiba-tiba. Memencet bel yang ada di tengah meja. Ketika pramusaji siap untuk mencatat pesanannya, Kana pun menyebutkan menu-menu pilihannya.

Lalu, senja merambat jadi malam. Terasa hangat di sekitar Kana dan Gematri. Hening, tapi frekuensi pikiran mereka berjalan selaras pada garis yang sama. Saling bercakap, saling bercerita.

‘Ikutlah denganku ke Ancora.’ Begitu pikiran Gematri bicara pada satu titik waktu. ‘Tapi kalau kamu berat dengan kariermu, aku bisa menyesuaikan diri dan pindah ke sini. Aku dengar Bhumi masih membutuhkan instruktur dokter militer. Kupikir aku bisa mengisi lowongan itu.’

Kana mendegut ludah. Sungguh, ia belum tahu harus bagaimana menyelaraskan keinginan Gematri dengan mimpinya sendiri, walaupun ia pernah sekilas memikirkan itu.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)