Sebelumnya
* * *
Sepuluh
Maxi menyempatkan diri menatap berkeliling sebelum menutup pintu kamar. Pada akhirnya, ia harus meninggalkan juga tempat yang hangat itu. Hari ini ia akan ‘boyongan’ ke Cikarang.
Akhir pekan lalu, acara wisudanya sudah dilangsungkan. Sepanjang minggu ini, semua urusan kampus sudah bisa dianggap beres. Awal minggu depan ia sudah harus mulai bekerja di Royal Interinusa Cikarang.
Dihelanya napas panjang sebelum benar-benar menutup pintu kamar dari luar. Ia memang masih akan kembali ke rumah setiap akhir pekan. Rencananya begitu. Hanya saja ia tak bisa mengingkari perasaannya, bahwa benar ada rasa kehilangan yang cukup besar bersemayam dalam hati. Ia menoleh ketika seseorang menepuk lembut bahu kirinya.
“Sudah siap?” tanya Prima, lirih.
Maxi mengangguk sembari mengerjapkan mata. Prima meraih kedua bahunya, dan memberikan sebuah pelukan yang hangatnya terasa hingga ke dalam hati. Ia balas memeluk ayahnya.
“Papa percaya kamu sudah siap untuk mandiri,” gumam Prima, terdengar dekat di telinga Maxi. “Tapi kalau ada apa-apa yang bersifat darurat, cepat hubungi Mama, Papa, atau kakakmu. Oke?”
Maxi kembali mengangguk. Masih tanpa suara. Lehernya terasa tercekat. Prima mengurai pelukannya. Keduanya kemudian turun ke lantai bawah bersisian.
Entah karena memang di langit mendung tebal sudah menggantung begitu rendah, ataukah memang ada atmosfer kesedihan, suasana di lantai bawah terkesan muram. Mela yang biasanya bawel kali ini hanya berdiam diri saja.
“Sudah siap semuanya?” tanya Arlena. Tak urung ada getar dalam suaranya. “Semua barang pribadimu sudah masuk?”
Maxi mengangguk. Semua barang yang hendak dibawanya sudah rapi memenuhi SUV Luken, kekasih Livi, yang sudah muncul sejak pagi masih gelap. Mobilnya terlihat penuh dari bagian tengah hingga ke belakang. Prima mengulurkan kunci mobil, yang diterimanya tanpa suara. Diam-diam mereka beringsut keluar.
Seluruh keluarga mengantarkannya pindah ke Cikarang. Prima dan Arlena segera masuk ke dalam city car silver, duduk berdampingan di jok belakang. Sementara itu Mela mengambil tempat di samping kiri jok pengemudi. Gadis remaja itu menatap abangnya yang masuk melalui pintu kanan depan. Sang abang balas menatap sebelum menghidupkan mesin mobil.
“Kenapa?” Maxi mencoba untuk tersenyum.
Mela menggeleng sembari mengalihkan arah tatapannya. Matanya mengerjap. Mencoba untuk mengusir genangan bening yang mengembang tanpa bisa ditahan.
Menjelang pukul tujuh pagi, perlahan mobil itu meluncur keluar dari carport, diikuti sebuah mobil bak terbuka yang mengangkut motor Maxi. Pengemudinya adalah Donner, ditemani oleh Tisha. Di belakangnya lagi ada sebuah SUV yang dikemudikan oleh Luken didampingi Livi.
* * *
“Baru sampai Jatibening.” Pingkan menatap Andries. Menyimpan kembali ponsel ke saku celana caprinya.
Baru saja ia menghubungi ponsel Donner. Tisha yang menerima. Mengabarkan bahwa rombongan kecil mereka sudah sampai di Jatibening.
“Kena macet?” tanya Andries.
Pingkan menggeleng. “Lancar, kok, kata Tisha.”
“Oh ....” Andries mengangguk lega.
Pingkan memang sudah menunggu di Cikarang sejak semalam. Menginap di apartemen Andries.
Setengah jam kemudian, Pingkan sudah meluncur ke lokasi indekos Maxi dengan mobilnya. Sendirian. Tak perlu melibatkan Andries dalam urusan ini. Beberapa hari lalu, setelah menyelesaikan urusan pasca wisuda di kampus, Maxi mengajaknya ke Cikarang. Sekadar melihat calon rumah indekos Maxi dari luar.
Maxi memilih untuk tinggal di rumah indekos yang lebih sederhana milik ibunya. Sebetulnya Arlena sudah menyiapkan kamar premium di rumah indekos yang satunya. Rumah indekos besar dengan empat belas kamar dan fasilitas papan atas. Sungguh tak cocok dengan gaji Maxi sebagai karyawan pemula, walaupun ia benar-benar tak perlu membayarnya.
Arlena pun mengalah. Kebetulan memang ada dua kamar kosong di rumah indekos yang dipilih Maxi. Rumah indekos dua lantai itu masih terletak dalam cluster yang sama dengan satunya. Hanya saja jumlah kamarnya lebih banyak. Mencapai delapan belas pintu dengan fasilitas kelas dua, walaupun masih cukup jauh di atas standar layak.
Sebetulnya Pingkan agak khawatir dengan rumah indekos milik Arlena. Penghuninya multi gender. Semuanya pekerja. Bahkan ada yang sudah berkeluarga dan belum memiliki anak. Tapi ia menahan keberatannya. Menggantinya dengan berusaha memupuk rasa percaya yang lebih tebal terhadap Maxi. Berharap bahwa Maxi tidak akan tergoda perempuan sesama penghuni indekos yang masih lajang.
Ketika ia sampai di sana, rombongan Maxi belum datang. Ia menelepon lagi ponsel Donner. Menitip pesan lisan kepada Tisha, bahwa ia sudah sampai di lokasi.
“Iya, nih, udah keluar pintu tol, kok. Tunggu, yak!” jawab Tisha.
Maka, dengan sabar Pingkan pun menunggu di dalam mobilnya. Berlindung di bawah naungan sebatang pohon besar di seberang rumah indekos Maxi. Ia bisa memarkir mobilnya dengan leluasa di sana karena rumah di seberang itu ada dalam kondisi kosong.
Sekitar sepuluh menit kemudian, ia melihat sebuah city car silver yang cukup dikenalnya muncul dari tikungan. Mobil itu diikuti mobil bak terbuka yang dikemudikan Donner. Di belakangnya lagi ada SUV berwarna gelap membuntuti.
Ketiga mobil itu berhenti di seberang. Pingkan segera keluar dari mobil. Sejenak kemudian, ia sudah menyalami Prima, cipika-cipiki dengan Arlena, Livi, dan Mela, dan menyalami Luken. Setelah itu ia mendapat sebuah pelukan ringan dan hangat dari Maxi, dengan bonus sebuah kecupan di puncak kepala.
“Keke sudah lama?” tanya Arlena.
“Belum, Tante. Baru saja, kok.” Pingkan menyunggingkan seulas senyum manis.
“Semalam menginap di apartemen abangmu? Di mana?”
“Dekat sini, kok, Tan. Di Crown Court.”
“Belakang Sahid itu?”
“Iya.”
Arlena manggut-manggut. Pingkan kemudian menyibukkan diri ikut mengambil barang-barang Maxi dan mengikuti langkah Maxi ke lantai dua. Arlena sendiri segera bercakap dengan sepasang suami-istri yang menjadi penanggung jawab rumah indekos itu.
* * *
Kamar Maxi terletak paling dekat dengan tangga. Sebuah kamar pojok dengan jendela berteralis yang membuka ke dua arah dan sudah dilengkapi dengan kerai aluminium. Ruang berukuran 4x5 meter dengan fasilitas kamar mandi di dalam itu berisi sebuah ranjang berkasur pegas selebar 160 sentimeter, seperangkat kursi-meja tulis di depan jendela, sebuah lemari dua pintu berbahan kayu lapis, dan sebuah pendingin ruangan yang menempel di dinding atas pintu kamar mandi. Nyaris serupa dengan isi kamar Maxi di rumah, hanya saja yang ada di sini adalah perabot yang jauh lebih sederhana.
Barang-barang Maxi yang dikemas dalam beberapa koper, travel bag, dan kardus itu mulai memenuhi kamar. Butuh segera ditata agar ruangan itu jadi lega, rapi, dan layak untuk ditempati.
Arlena menutup pintu dan jendela rapat-rapat, kemudian menghidupkan pendingin ruangan. Dengan cekatan, Livi dibantu Pingkan dan Mela menata baju-baju Maxi ke dalam lemari. Donner dan Tisha mengeluarkan beberapa barang lainnya dari kardus. Luken dan Prima merakit dan memasang aneka rak yang mungkin dibutuhkan Maxi. Arlena menata dan menyimpan buku-buku dan berbagai perlengkapan Maxi pada tempat yang sudah tersedia.
Di tengah-tengah kesibukan itu, Luken mencolek Mela. Arlojinya sudah menunjukkan pukul sebelas lewat beberapa menit.
“Ikut Mas keluar sebentar beli makanan, yuk!” bisiknya.
Mela mengangguk dengan antusias. Luken pun segera berpamitan. Arlena sempat mencegah dengan alasan sudah berencana akan memesan makanan dari rumah makan terdekat melalui telepon. Tapi Luken bergeming dengan maksudnya. Membuat Arlena mengalah.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)