Selasa, 19 Agustus 2014

[Cermin] Matinya Diki Anggada





Entah bagaimana aku harus merumuskan perasaanku kali ini. Bersemangat? Senang? Bahagia? Takut? Sedih? Aku tak bisa menjelaskannya secara pasti. Hanya saja aku masih merasakan euphoria itu menghentak setiap sisi jiwaku.

Akun itu... Ah! Aksesnya terbuka selebar aula balai kota. Dia meninggalkan laptopnya sebelum sempat log out. Membuatku bisa dengan leluasa meluncurkan deretan kalimat yang selama ini terpaksa kuperam sendiri dalam kantong-kantong keinginanku.

Aku menoleh sekejap sebelum mulai menarikan jemariku di atas keyboard laptop. Padanya. Pemiliknya. Yang kini tertelungkup dalam hening dengan darah mulai menggenang. Dan aku sengaja membiarkannya mendingin dan menjadi kaku. Dengan belati besar masih tertancap di pungggung kirinya. Dan kelihatannya ujung belati itu tepat mengoyak pusat hidupnya. Jantungnya.

Rabu, 13 Agustus 2014

[Cermis] Dari Bawah Rimbun Pohon Kenitu





Aku sempat menoleh ke sudut halaman sebelum menutup pintu mobilku. Di bawah kerindangan pohon kenitu sekilas ia mengirimkan senyumnya padaku dan aku membalasnya dengan ringan.

Entah sudah berapa lama aku tak lagi datang ke tempat ini, tapi di mataku Yu Astri tetaplah sosok yang sama. Yang selalu mengembangkan senyum manisnya ketika bertemu denganku. Dan keseluruhan penampilannya tak pernah berubah. Tetap dibalut sahaja yang terlihat begitu murni.

Kalau kuhitung-hitung, aku terakhir kali datang ke rumah besar ini enam tahun yang lalu. Tepat ketika digelar peringatan seribu hari wafatnya Eyang Putriku. Sejak itu aku tak pernah lagi sekedar menjenguk tempat ini. Karena buatku roh tempat ini sudah tak ada lagi semenjak Eyang berpulang.