Rabu, 13 Agustus 2014

[Cermis] Dari Bawah Rimbun Pohon Kenitu





Aku sempat menoleh ke sudut halaman sebelum menutup pintu mobilku. Di bawah kerindangan pohon kenitu sekilas ia mengirimkan senyumnya padaku dan aku membalasnya dengan ringan.

Entah sudah berapa lama aku tak lagi datang ke tempat ini, tapi di mataku Yu Astri tetaplah sosok yang sama. Yang selalu mengembangkan senyum manisnya ketika bertemu denganku. Dan keseluruhan penampilannya tak pernah berubah. Tetap dibalut sahaja yang terlihat begitu murni.

Kalau kuhitung-hitung, aku terakhir kali datang ke rumah besar ini enam tahun yang lalu. Tepat ketika digelar peringatan seribu hari wafatnya Eyang Putriku. Sejak itu aku tak pernah lagi sekedar menjenguk tempat ini. Karena buatku roh tempat ini sudah tak ada lagi semenjak Eyang berpulang.


Aku memutuskan untuk sejenak melangkah ke sudut halaman dan bertegur sapa dengan Yu Astri. Ia melebarkan senyumnya ketika melihat langkahku pasti menghampirinya.

“Mbak...,” sapanya lembut.

“Lama banget kita nggak bertemu,” desahku.

Yu Astri menunduk. “Kupikir Mbak Dida sudah melupakan tempat ini.”

“Nggak, Yu,” jawabku dengan segunung rasa bersalah.

“Aku tahu kenapa Mbak Dida datang,” roman muka Yu Astri diliputi kesedihan.

“Aku nggak bisa berbuat lain, Yu,” tanggapku tak kalah sedih.

Yu Astri mengangguk. “Sudahlah, masuklah dulu. Nanti Mbak Dida digunem kalau belum masuk sudah ke sini duluan.”

Aku menuruti kata-kata Yu Astri. Kutinggalkan ia di bawah rimbunnya pohon kenitu. Mendadak aku merasa gamang ketika melangkah ke arah rumah. Sepertinya semua kenangan indahku di tempat ini akan berakhir secepatnya. Hanya tinggal menunggu palu diketok dan aku tak akan bisa membayangkan bagaimana nasib Yu Astri selanjutnya.

* * *

Seperti yang sudah kuduga maka pembagian itu jelas-jelas berat sebelah. Mereka berempat dan aku hanya seorang diri. Padahal jelas-jelas putri Eyang yang punya keturunan adalah dua orang dan salah satunya adalah almarhum ibuku sebagai adik dari almarhum Budhe Yas.

Kalau menurut keadilan seharusnya hasil penjualan rumah peninggalan Eyang ini dibagi dua. Separuh adalah hak keturunan Budhe Yas, separuh lagi adalah hakku sebagai keturunan tunggal ibuku. Tapi berhadapan dengan manusia-manusia tamak memang selalu menyisakan kejengkelan tersendiri.

Tapi ya sudahlah! Aku toh masih bisa hidup makmur dengan penghasilanku sebagai pemilik butik peninggalan Ibu dan usaha salon yang kubangun sendiri. Belum lagi bila digabung dengan pendapatan Mas Dio sebagai pengusaha yang memiliki beberapa SPBU.

Maka aku pun harus puas dengan seperlima hasil penjualan rumah besar seharga satu milyar rupiah itu. Lumayan untuk mengganti plafon panti asuhan anak terlantar yang kudirikan bersama beberapa temanku.

Yang harus kupikirkan selanjutnya adalah Yu Astri. Aku tak tega meninggalkannya di sini. Apalagi rumah beserta pekarangan luas ini akan segera menjadi milik orang lain.

“Yu, ikut aku, ya?” bujukku kemudian.

Ia menggeleng lemah. Aku tahu kenapa. Karena dia terikat kenangan masa kecilnya ketika masih tinggal di sini. Kenangan bersama ibuku yang selalu menyayanginya.

“Aku punya pohon serut di rumah. Yu Astri pasti menyukainya,” ucapku lagi.

Kini ia menatapku. Ada harapan tergambar nyata dalam matanya. Tapi seketika harapan itu luruh ditelan lirih suaranya, “Aku nggak mau mengganggumu, Mbak.”

“Nggak mengganggu,” tukasku pelan. “Anak-anakku sudah terbiasa kok. Apalagi aku percaya Yu Astri bisa jadi teman dan pelindung mereka, seperti Yu jadi temanku sejak dulu.”

Ia masih terdiam, seolah menimbang sesuatu.

“Waktuku nggak banyak di sini, Yu,” desakku halus. “Yu kan tahu ini kunjungan terakhirku di tempat ini. Kalau aku nggak sekalian bawa Yu pergi lantas kapan?”

Ia menatapku. Aku tahu ia bisa menangkap ketulusan dalam hatiku. Dan aku hampir bersorak gembira ketika ia menganggukan kepalanya pelan-pelan. Segera saja aku berlari menuju mobil dan ia mengikutiku dengan ringan.

Kutinggalkan rumah Eyang yang penuh kenangan masa kecil Budhe Yas, Ibu, dan Yu Astri. Mobilku mulai meluncur membelah jalan, membawaku kembali ke kotaku. Membawaku kembali ke rumah hangatku bersama Mas Dio dan anak-anak.

Aku menoleh sekilas. Yu Astri tampak mengembangkan senyumnya. Ia menatapku dan berucap lembut, “Terima kasih sudah menerimaku, Mbak Dida.”

Aku hanya bisa mengangguk dengan mata membasah tiba-tiba.

Yu Astri.

Lengkapnya Sulastri. Seharusnya aku memanggilnya Bulik atau Bibi. Kenyataannya ia adalah adik Budhe dan Ibu. Kelahirannya tak pernah diinginkan karena hasil perbuatan gelap Eyang Kakungku dengan salah seorang pembantu rumahnya.

Ibunya meninggal ketika melahirkannya dan Eyang Putri merawatnya bagai anak sendiri. Ibuku pun selalu menyayangi Yu Astri. Tapi tidak dengan Budhe Yas.

Puncak semuanya adalah ketika Budhe Yas merebut pacar Yu Astri begitu saja. Laki-laki yang kupanggil Pakdhe Sarno. Tak ada yang bisa menghibur Yu Astri setelah kejadian itu. Hingga beberapa hari kemudian pada suatu pagi yang diiringi rintik hujan, Eyang Kakung menemukan Yu Astri sudah tergantung di pohon kenitu di sudut pekarangan.

Ibuku yang paling kehilangan. Ibuku juga yang paling takjub ketika suatu hari menjumpai Yu Astri jadi penghuni pohon kenitu di sudut pekarangan. Yu Astri yang tetap menghormati Ibu yang selalu menyayanginya.

Aku mengenal Yu Astri sejak aku bisa mengenal orang-orang di sekelilingku. Ia membahasakan dirinya sebagai ‘Yu’ karena waktu tak bisa menguasai penampilannya. Aku sering bercakap dengannya dan aku tahu ia menyayangiku seperti Ibu menyayanginya.

Aku tak pernah berpikir Yu Astri serupa hantu yang menakutkan. Mungkin bagi Budhe Yas dan keturunannya iya, tapi bagiku ia tetap sosok Yu Astri yang begitu sabar mendengarkan cerita-ceritaku dan tak pernah sekalipun menggangguku.

Kini aku akan membawanya pulang ke rumah. Memberinya hunian baru di pohon serut di sudut halaman rumahku. Kuharap ia merasa nyaman. Mas Dio sudah menyatakan tak keberatan karena dia sudah jauh hari bisa menerima aku dengan segala keanehanku.

Kami makin jauh meninggalkan petak pekarangan di bawah rimbunnya pohon kenitu. Dan aku lega mendapati senyum Yu Astri masih tetap tersimpul pada wajah teduhnya yang tak pernah menua.


* * * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar