Aku sempat menoleh ke sudut halaman sebelum
menutup pintu mobilku. Di bawah kerindangan pohon kenitu sekilas ia mengirimkan
senyumnya padaku dan aku membalasnya dengan ringan.
Entah sudah berapa lama aku tak lagi datang
ke tempat ini, tapi di mataku Yu Astri tetaplah sosok yang sama. Yang selalu
mengembangkan senyum manisnya ketika bertemu denganku. Dan keseluruhan
penampilannya tak pernah berubah. Tetap dibalut sahaja yang terlihat begitu
murni.
Kalau kuhitung-hitung, aku terakhir kali
datang ke rumah besar ini enam tahun yang lalu. Tepat ketika digelar peringatan
seribu hari wafatnya Eyang Putriku. Sejak itu aku tak pernah lagi sekedar
menjenguk tempat ini. Karena buatku roh tempat ini sudah tak ada lagi semenjak
Eyang berpulang.
Aku memutuskan untuk sejenak melangkah ke
sudut halaman dan bertegur sapa dengan Yu Astri. Ia melebarkan senyumnya ketika
melihat langkahku pasti menghampirinya.
“Mbak...,” sapanya lembut.
“Lama banget kita nggak bertemu,” desahku.
Yu Astri menunduk. “Kupikir Mbak Dida sudah
melupakan tempat ini.”
“Nggak, Yu,” jawabku dengan segunung rasa
bersalah.
“Aku tahu kenapa Mbak Dida datang,” roman
muka Yu Astri diliputi kesedihan.
“Aku nggak bisa berbuat lain, Yu,” tanggapku
tak kalah sedih.
Yu Astri mengangguk. “Sudahlah, masuklah
dulu. Nanti Mbak Dida digunem kalau
belum masuk sudah ke sini duluan.”
Aku menuruti kata-kata Yu Astri. Kutinggalkan
ia di bawah rimbunnya pohon kenitu. Mendadak aku merasa gamang ketika melangkah
ke arah rumah. Sepertinya semua kenangan indahku di tempat ini akan berakhir
secepatnya. Hanya tinggal menunggu palu diketok dan aku tak akan bisa membayangkan
bagaimana nasib Yu Astri selanjutnya.
* * *
Seperti yang sudah kuduga maka pembagian itu
jelas-jelas berat sebelah. Mereka berempat dan aku hanya seorang diri. Padahal
jelas-jelas putri Eyang yang punya keturunan adalah dua orang dan salah satunya
adalah almarhum ibuku sebagai adik dari almarhum Budhe Yas.
Kalau menurut keadilan seharusnya hasil
penjualan rumah peninggalan Eyang ini dibagi dua. Separuh adalah hak keturunan
Budhe Yas, separuh lagi adalah hakku sebagai keturunan tunggal ibuku. Tapi
berhadapan dengan manusia-manusia tamak memang selalu menyisakan kejengkelan
tersendiri.
Tapi ya sudahlah! Aku toh masih bisa hidup
makmur dengan penghasilanku sebagai pemilik butik peninggalan Ibu dan usaha
salon yang kubangun sendiri. Belum lagi bila digabung dengan pendapatan Mas Dio
sebagai pengusaha yang memiliki beberapa SPBU.
Maka aku pun harus puas dengan seperlima
hasil penjualan rumah besar seharga satu milyar rupiah itu. Lumayan untuk
mengganti plafon panti asuhan anak terlantar yang kudirikan bersama beberapa
temanku.
Yang harus kupikirkan selanjutnya adalah Yu
Astri. Aku tak tega meninggalkannya di sini. Apalagi rumah beserta pekarangan
luas ini akan segera menjadi milik orang lain.
“Yu, ikut aku, ya?” bujukku kemudian.
Ia menggeleng lemah. Aku tahu kenapa. Karena
dia terikat kenangan masa kecilnya ketika masih tinggal di sini. Kenangan
bersama ibuku yang selalu menyayanginya.
“Aku punya pohon serut di rumah. Yu Astri
pasti menyukainya,” ucapku lagi.
Kini ia menatapku. Ada harapan tergambar
nyata dalam matanya. Tapi seketika harapan itu luruh ditelan lirih suaranya,
“Aku nggak mau mengganggumu, Mbak.”
“Nggak mengganggu,” tukasku pelan.
“Anak-anakku sudah terbiasa kok. Apalagi aku percaya Yu Astri bisa jadi teman
dan pelindung mereka, seperti Yu jadi temanku sejak dulu.”
Ia masih terdiam, seolah menimbang sesuatu.
“Waktuku nggak banyak di sini, Yu,” desakku
halus. “Yu kan tahu ini kunjungan terakhirku di tempat ini. Kalau aku nggak
sekalian bawa Yu pergi lantas kapan?”
Ia menatapku. Aku tahu ia bisa menangkap
ketulusan dalam hatiku. Dan aku hampir bersorak gembira ketika ia menganggukan
kepalanya pelan-pelan. Segera saja aku berlari menuju mobil dan ia mengikutiku
dengan ringan.
Kutinggalkan rumah Eyang yang penuh kenangan
masa kecil Budhe Yas, Ibu, dan Yu Astri. Mobilku mulai meluncur membelah jalan,
membawaku kembali ke kotaku. Membawaku kembali ke rumah hangatku bersama Mas
Dio dan anak-anak.
Aku menoleh sekilas. Yu Astri tampak
mengembangkan senyumnya. Ia menatapku dan berucap lembut, “Terima kasih sudah
menerimaku, Mbak Dida.”
Aku hanya bisa mengangguk dengan mata
membasah tiba-tiba.
Yu Astri.
Lengkapnya Sulastri. Seharusnya aku
memanggilnya Bulik atau Bibi. Kenyataannya ia adalah adik Budhe dan Ibu.
Kelahirannya tak pernah diinginkan karena hasil perbuatan gelap Eyang Kakungku
dengan salah seorang pembantu rumahnya.
Ibunya meninggal ketika melahirkannya dan
Eyang Putri merawatnya bagai anak sendiri. Ibuku pun selalu menyayangi Yu
Astri. Tapi tidak dengan Budhe Yas.
Puncak semuanya adalah ketika Budhe Yas
merebut pacar Yu Astri begitu saja. Laki-laki yang kupanggil Pakdhe Sarno. Tak
ada yang bisa menghibur Yu Astri setelah kejadian itu. Hingga beberapa hari
kemudian pada suatu pagi yang diiringi rintik hujan, Eyang Kakung menemukan Yu
Astri sudah tergantung di pohon kenitu di sudut pekarangan.
Ibuku yang paling kehilangan. Ibuku juga yang
paling takjub ketika suatu hari menjumpai Yu Astri jadi penghuni pohon kenitu
di sudut pekarangan. Yu Astri yang tetap menghormati Ibu yang selalu
menyayanginya.
Aku mengenal Yu Astri sejak aku bisa mengenal
orang-orang di sekelilingku. Ia membahasakan dirinya sebagai ‘Yu’ karena waktu
tak bisa menguasai penampilannya. Aku sering bercakap dengannya dan aku tahu ia
menyayangiku seperti Ibu menyayanginya.
Aku tak pernah berpikir Yu Astri serupa hantu
yang menakutkan. Mungkin bagi Budhe Yas dan keturunannya iya, tapi bagiku ia
tetap sosok Yu Astri yang begitu sabar mendengarkan cerita-ceritaku dan tak
pernah sekalipun menggangguku.
Kini aku akan membawanya pulang ke rumah.
Memberinya hunian baru di pohon serut di sudut halaman rumahku. Kuharap ia
merasa nyaman. Mas Dio sudah menyatakan tak keberatan karena dia sudah jauh
hari bisa menerima aku dengan segala keanehanku.
Kami makin jauh meninggalkan petak pekarangan
di bawah rimbunnya pohon kenitu. Dan aku lega mendapati senyum Yu Astri masih
tetap tersimpul pada wajah teduhnya yang tak pernah menua.
* * * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar