Selasa, 15 Juli 2014

[Cermis] Kursi Goyang Di Sudut Ruangan







Ketika Ayah menunjukkan ruangan itu, aku hanya bisa ternganga takjub. Sebuah tempat dengan ratusan buku yang memenuhi rak pada ketiga sisi dinding. Satu sisi dindingnya yang tersisa dipenuhi jendela-jendela besar yang membuka ke arah taman kecil di belakang rumah. Sebuah kursi goyang berdiri manis di sudut dekat jendela. Sungguh suatu surga dunia bagiku yang berani mengklaim diri sebagai pecinta buku.

Ruangan itu ruang kerja Ayah. Ruangan yang sebenarnya nyaman dengan aroma rempah dalam potpourri di atas meja kerja Ayah. Tapi entah kenapa aku merasa ruangan itu menyimpan aura misterius sejak pertama kali aku masuk ke dalamnya bertahun-tahun lalu.

Tentu saja aku tak akan pernah lupa bagaimana aku bisa berada dalam rumah yang nyaman ini. Ibuku menikahi Ayah 7 tahun yang lalu. Dan Ayah kemudian membawa kami masuk ke dalam rumah ini, tinggal di dalamnya hingga sekarang. Saat itu umurku 12 tahun.

Tapi awalnya aku tak apa-apa walau masih juga aura misterius itu kurasakan. Aku bisa berada di dalamnya kapan saja aku mau. Pagi, siang, sore, malam, sesukaku. Ayah tak pernah melarang. Aku bisa mengerjakan PR-ku di meja Ayah dengan tenang, sementara Ayah atau Ibu atau bahkan keduanya duduk manis menemaniku sambil membaca di atas sofa.

Atau kadang-kadang aku asyik membaca sambil tengkurap atau selonjor di atas sofa, menemani Ayah memberesi kerjaannya. Ibu sering juga bergabung. Bahkan membantu Ayah mengerjakan laporannya. Sesungguhnya aku merasa selalu nyaman.

Hingga suatu saat...

Aku sedang duduk membaca di sofa ketika tiba-tiba saja aku merasa kedinginan. Jendela-jendela besar yang terbuka lebar itu mengalirkan hembusan angin yang membuatku menggigil. Padahal di luar sana cuaca sedang cerah. Matahari Minggu siang bersinar terik dan garang.

“Ehem!”

Aku hampir saja terjatuh dari atas sofa karena kaget mendengar deheman Ayah yang sedari tadi sibuk di depan meja kerjanya. Dan entah kenapa aroma rempah dalam potpourri makin menguat dan beberapa detik kemudian mereda dengan sendirinya. Sesuatu yang luar biasa aneh.

Dan yang membuat aku hampir pingsan adalah gumaman Ayah. Pelan. Sangat pelan. Diucapkannya dengan sangat halus, “Jangan ganggu anakku.” Tepat saat itu aku melihat kursi goyang di sudut ruangan berayun ke depan dan ke belakang beberapa kali. Dalam kondisi kosong.

Aku hanya bisa membelalakkan mataku tanpa bisa berkata apa-apa. Seluruh kekuatanku seakan tersedot sesuatu yang aku tak tahu. Aku tak mampu memikirkan apa yang terjadi. Yang kusadari kemudian adalah Ayah memelukku dengan erat dan menggiring aku keluar dari ruang kerjanya.

“Apa itu, Ayah?” tanyaku kemudian dengan suara lirih dan gemetar.

“Tidak apa-apa,” ucap Ayahku, menenangkan. “Mereka tak akan mengganggumu lagi. Mereka hanya ingin kau tahu mereka ada.”

“Mereka?” ulangku dengan bulu kuduk yang meremang tanpa bisa kucegah lagi.

Ayah mengangguk. “Mereka sudah di sini ketika aku menempati rumah ini. Tidak mengganggu. Hanya saja mereka ingin kita tahu mereka ada.”

Seketika kepalaku serasa tak ada isinya. Kosong. Melompong. Dan perlahan perasaan itu memenuhi hatiku.

Hingga selama beberapa waktu lamanya aku cuma bisa mengekor ke mana pun Ayah atau Ibu berada di dalam rumah. Mengekor dengan seluruh kulit tubuhku serasa merinding. Sungguh aku terganggu dengan keadaan ini. Bahkan aku tak berani tidur di kamarku sendiri. Aku memilih untuk menyempilkan badanku di antara Ayah dan Ibu di kamar mereka, atau sekalian bergabung dengan Yu Jum di kamarnya. Kadang-kadang Yu Jum menemaniku tidur di kamarku.

Terasa horor tak berkesudahan...

* * *

Aku sungguh tak tahu siapa ‘mereka’, dan juga tak ingin tahu. Tapi lama-lama aku terbiasa dengan kehadiran ‘mereka’. Butuh waktu cukup lama hingga perasaan horor itu tak lagi mengikutiku.

Ayunan kursi goyang di sudut ruang kerja Ayah tak lagi menakutkanku. Seperti yang diajarkan Ayah, aku hanya perlu mengatakan, “Hai! Apa kabar?” maka goyangan kursi itu akan berhenti dengan sendirinya.

Ayah sendiri tak tahu siapa ‘mereka’. Hingga suatu pagi aku bangun tidur dan menemukan ada kertas yang terselip di bawah pintu kamarku. ‘Hai, Briana!  Namaku David dan adikku Emilia. Senang berkenalan denganmu...’

Aku ternganga. Tulisan tegak bersambung pada helaian kertas itu sungguh rapi dan indah. Seketika aku tahu siapa yang menuliskannya. Aku segera berlari ke ruang kerja Ayah. Semua jendela yang tertutup segera kubuka lebar dan seketika kesejukan memenuhi ruangan itu.

“Hai!” ucapku ragu-ragu. “Aku juga senang berkenalan dengan kalian.”

Kursi goyang itu berayun sedikit. Aku tersenyum. ‘Mereka’ ada di sini dan tahu aku menyapa.

Lalu aku mulai sering bermimpi dalam tidurku. Sebuah mimpi yang aneh dan seolah jadi serial tersendiri. Semuanya tentang David dan Emilia. Tentang siapa mereka. Tentang kenapa mereka ‘menghantui’ ruang kerja Ayah.

Dan aku tertunduk sedih.

David dan Emilia dibunuh perampok yang masuk ke rumah ini 14 tahun yang lalu, saat David berumur 16 dan Emilia 10 tahun. Dan mereka dibunuh di sini, dalam ruangan ini. Membuatku larut dalam ngeri dan juga perasaan nelangsa.

“Lalu kenapa kalian masih di sini?” tanyaku suatu ketika, dalam mimpi.

“Aku hanya ingin bertemu denganmu,” jawab David sambil tersenyum.

“Kenapa?”

“Karena hanya kamu yang bisa melepaskan kami pergi.”

“Kenapa?” kejarku lagi.

David menatapku dengan sedih. “Karena pembunuh kami adalah ayahmu.”

Aku serasa hampir kehilangan kesadaran. Ayahku? Ayah?

“Bukan ayahmu yang sekarang, Bri,” kata Emilia. “Tapi ayah kandungmu.”

Seketika aku gelagapan dan terbangun. Saat aku mengerjapkan mata, Ibu tengah menutup jendela ruang kerja Ayah. Lampu taman sudah menyala dan biru langit sudah menua. Aku terduduk di sofa.

“Bu...,” panggilku lirih.

Ibu menoleh dan melangkah mendekat. Beberapa detik kemudian Ibu sudah duduk di sebelahku.

“Sudah sore, Bri,” ucap Ibu. “Madilah dulu. Kamu pasti kecapekan di kampus sampai tidurmu seperti orang mati begitu...”

Diam-diam aku begidik mendengar istilah Ibu.

Segala sesuatu tentang Ayah terasa begitu samar di dalam otakku. Ayah kandungku, maksudku. Dan aku terpaksa menyerah. Aku tak berhasil mengingat apa pun. Kecuali sebuah wajah yang tersimpan dalam liontin di laci lemariku. Tapi terlalu kecil dan buram sehingga terlupakan begitu saja.

Dan ayahku ternyata perampok dan pembunuh? Aku terhenyak.

“Ada apa, Bri?” Ibu menyenggol lenganku.

Yang kuingat kemudian adalah betapa pias wajah Ibu setelah aku menceritakan rangkaian mimpi-mimpiku. Kemudian Ibu mendekapku dengan berurai airmata.

“Itu sebabnya aku membawamu lari darinya,” ucap Ibu terbata-bata di tengah tangisnya. “Aku mencintai ayahmu tapi aku tidak bisa membiarkanmu tumbuh besar sebagai anak seorang perampok dan pembunuh. Bertahun-tahun aku tenggelam dalam ketakutan sampai akhirnya aku mempunyai kekuatan untuk lari dan bersembunyi. Sampai akhirnya aku bertemu Ayah. Hampir bersamaan dengan peristiwa ditembaknya ayahmu hingga tewas oleh polisi ketika jadi buron. Lalu kita terbebas, Bri... Kamu berhak dapat yang terbaik.”

Aku tergugu. Lalu aku menangkap bayang butiran bening itu. Airmata Ayah. Ayah tiriku. Yang begitu menyayangiku dan Ibu. Berdiri tegak di balik pintu dengan sorot mata penuh haru.

“Lalu bagaimana kita harus membebaskan arwah-arwah itu, Bri?” tanya Ibu kemudian, sambil mengusap airmatanya.

Aku menggeleng. “Belum tahu, Bu. Aku keburu terbangun.”

Dan kami saling menatap.

* * *

Aku membuka lemariku dan mengeluarkan liontin kecil itu dari dalamnya. Mimpiku berlanjut semalam. Dan aku mendapatkan jawabannya. Liontin itu. Dengan potongan foto wajah ayahku di dalamnya. Aku harus membakarnya sampai habis. Membakar logam sampai habis? Berapa lama?

Ibu dan Ayah berdiri di belakangku. Aku berbalik menghadap mereka. Kugenggam liontin itu.

“Kalau kau tak rela, jangan lakukan, Bu,” bisik Ayah lembut. “Toh mereka tidak mengganggu kita.”

Ibu menggeleng. “Mereka lelah, Yah. Dunia mereka bukan di sini. Kasihan...”

Ayah menatapku. “Tidak ada cara lain?”

“Memanggil dukun?” sahutku, mencoba melucu, tapi garing.

Tapi Ayah dan Ibu tertawa sesaat.

“Sudahlah, lakukan saja, Bri,” ucap Ibu tegas.

Aku mengangguk.

Bertiga kami masuk ke ruang kerja Ayah. Aku meraih potpourri berisi rempah yang ada di atas meja kerja. Kumasukkan liontin itu ke dalam potpourri. Sebelum menyalakan korek api aku menoleh ke sudut. Perasaanku mengatakan mereka ada di sana.

“Jadi...,” ucapku pelan, setengah tercekat, “kalian siap untuk pergi ke dunia baru kalian?”

Kursi goyang itu berayun pelan. Entah kenapa airmataku mengalir tiba-tiba. Bertahun-tahun hidup dan berteman dengan mereka, seperti inikah akhirnya rasa dan aroma perpisahan? Ayah mengelus punggungku.

Aku pun menyalakan korek api. Dan ketika lidah api mungil itu mulai membakar isi potpourri, aku menoleh sekali lagi ke arah sudut. Kursi goyang itu berayun pelan dengan teratur.

“Selamat tinggal,” ucapku di sela tangis. “Aku senang mengenal kalian.”

Lalu kursi goyang itu mulai berayun lebih pelan, lebih pelan, lebih pelan, dan akhirnya berhenti. Seberkas hembusan hangat terasa di telingaku dan perlahan menghilang bersamaan dengan terbakar habisnya rempah kering dan melelehnya liontin logam di dalam potpourri. Aku ternganga. Secepat itu?

“Sudah selesai, Bri,” bisik Ayah. “Mereka sudah bebas.”

Aku terduduk di atas kursi kerja Ayah. Ya, semuanya sudah selesai. Tapi entah kenapa ada rasa itu. Muncul dan menguat begitu saja.

Sebuah rasa kehilangan.


* * * * *

10 komentar:

  1. horornya gak bikin takut..keren Mbak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak pernah bisa bikin horor yang beneran, Mbak Bekti 🙈🙈🙈

      Hapus
  2. Horor ala novel luar, yang aku rasakan. Nice, Bude Lizz. :-)

    BalasHapus
  3. muantappp... Mbakyuu, ampe mendiring disko ane hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ilang merindingnya, tinggal diskonya 😆😆😆

      Hapus
  4. good post mbak, terasa lain cerita ini dan mengharukan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mampirnya, Pak Subur... 😊😊😊

      Hapus
  5. Medeni buu.
    Bu, jd 2 roh anak2 itu anake ayah tiri Bri ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan, Mbak. Ayah tirinya Bri nempatin rumah itu, si roh 2 anak itu udah ada 😊
      Kisah aslinya kayak gitu 😁

      Hapus