Ketika Ayah menunjukkan ruangan itu, aku
hanya bisa ternganga takjub. Sebuah tempat dengan ratusan buku yang memenuhi rak
pada ketiga sisi dinding. Satu sisi dindingnya yang tersisa dipenuhi
jendela-jendela besar yang membuka ke arah taman kecil di belakang rumah. Sebuah
kursi goyang berdiri manis di sudut dekat jendela. Sungguh suatu surga dunia
bagiku yang berani mengklaim diri sebagai pecinta buku.
Ruangan itu ruang kerja Ayah. Ruangan yang
sebenarnya nyaman dengan aroma rempah dalam potpourri di atas meja kerja Ayah.
Tapi entah kenapa aku merasa ruangan itu menyimpan aura misterius sejak pertama
kali aku masuk ke dalamnya bertahun-tahun lalu.
Tentu saja aku tak akan pernah lupa bagaimana
aku bisa berada dalam rumah yang nyaman ini. Ibuku menikahi Ayah 7 tahun yang
lalu. Dan Ayah kemudian membawa kami masuk ke dalam rumah ini, tinggal di
dalamnya hingga sekarang. Saat itu umurku 12 tahun.
Tapi awalnya aku tak apa-apa walau masih juga
aura misterius itu kurasakan. Aku bisa berada di dalamnya kapan saja aku mau. Pagi,
siang, sore, malam, sesukaku. Ayah tak pernah melarang. Aku bisa mengerjakan
PR-ku di meja Ayah dengan tenang, sementara Ayah atau Ibu atau bahkan keduanya
duduk manis menemaniku sambil membaca di atas sofa.
Atau kadang-kadang aku asyik membaca sambil
tengkurap atau selonjor di atas sofa, menemani Ayah memberesi kerjaannya. Ibu
sering juga bergabung. Bahkan membantu Ayah mengerjakan laporannya.
Sesungguhnya aku merasa selalu nyaman.
Hingga suatu saat...
Aku sedang duduk membaca di sofa ketika tiba-tiba
saja aku merasa kedinginan. Jendela-jendela besar yang terbuka lebar itu
mengalirkan hembusan angin yang membuatku menggigil. Padahal di luar sana cuaca
sedang cerah. Matahari Minggu siang bersinar terik dan garang.
“Ehem!”
Aku hampir saja terjatuh dari atas sofa
karena kaget mendengar deheman Ayah yang sedari tadi sibuk di depan meja
kerjanya. Dan entah kenapa aroma rempah dalam potpourri makin menguat dan
beberapa detik kemudian mereda dengan sendirinya. Sesuatu yang luar biasa aneh.
Dan yang membuat aku hampir pingsan adalah
gumaman Ayah. Pelan. Sangat pelan. Diucapkannya dengan sangat halus, “Jangan
ganggu anakku.” Tepat saat itu aku melihat kursi goyang di sudut ruangan
berayun ke depan dan ke belakang beberapa kali. Dalam kondisi kosong.
Aku hanya bisa membelalakkan mataku tanpa
bisa berkata apa-apa. Seluruh kekuatanku seakan tersedot sesuatu yang aku tak
tahu. Aku tak mampu memikirkan apa yang terjadi. Yang kusadari kemudian adalah
Ayah memelukku dengan erat dan menggiring aku keluar dari ruang kerjanya.
“Apa itu, Ayah?” tanyaku kemudian dengan
suara lirih dan gemetar.
“Tidak apa-apa,” ucap Ayahku, menenangkan.
“Mereka tak akan mengganggumu lagi. Mereka hanya ingin kau tahu mereka ada.”
“Mereka?” ulangku dengan bulu kuduk yang
meremang tanpa bisa kucegah lagi.
Ayah mengangguk. “Mereka sudah di sini ketika
aku menempati rumah ini. Tidak mengganggu. Hanya saja mereka ingin kita tahu
mereka ada.”
Seketika kepalaku serasa tak ada isinya.
Kosong. Melompong. Dan perlahan perasaan itu memenuhi hatiku.
Hingga selama beberapa waktu lamanya aku cuma
bisa mengekor ke mana pun Ayah atau Ibu berada di dalam rumah. Mengekor dengan
seluruh kulit tubuhku serasa merinding. Sungguh aku terganggu dengan keadaan
ini. Bahkan aku tak berani tidur di kamarku sendiri. Aku memilih untuk
menyempilkan badanku di antara Ayah dan Ibu di kamar mereka, atau sekalian
bergabung dengan Yu Jum di kamarnya. Kadang-kadang Yu Jum menemaniku tidur di
kamarku.
Terasa horor tak berkesudahan...
* * *
Aku sungguh tak tahu siapa ‘mereka’, dan juga
tak ingin tahu. Tapi lama-lama aku terbiasa dengan kehadiran ‘mereka’. Butuh
waktu cukup lama hingga perasaan horor itu tak lagi mengikutiku.
Ayunan kursi goyang di sudut ruang kerja Ayah
tak lagi menakutkanku. Seperti yang diajarkan Ayah, aku hanya perlu mengatakan,
“Hai! Apa kabar?” maka goyangan kursi itu akan berhenti dengan sendirinya.
Ayah sendiri tak tahu siapa ‘mereka’. Hingga
suatu pagi aku bangun tidur dan menemukan ada kertas yang terselip di bawah
pintu kamarku. ‘Hai, Briana! Namaku David dan adikku Emilia. Senang
berkenalan denganmu...’
Aku ternganga. Tulisan tegak bersambung pada
helaian kertas itu sungguh rapi dan indah. Seketika aku tahu siapa yang
menuliskannya. Aku segera berlari ke ruang kerja Ayah. Semua jendela yang
tertutup segera kubuka lebar dan seketika kesejukan memenuhi ruangan itu.
“Hai!” ucapku ragu-ragu. “Aku juga senang
berkenalan dengan kalian.”
Kursi goyang itu berayun sedikit. Aku
tersenyum. ‘Mereka’ ada di sini dan tahu aku menyapa.
Lalu aku mulai sering bermimpi dalam tidurku.
Sebuah mimpi yang aneh dan seolah jadi serial tersendiri. Semuanya tentang
David dan Emilia. Tentang siapa mereka. Tentang kenapa mereka ‘menghantui’
ruang kerja Ayah.
Dan aku tertunduk sedih.
David dan Emilia dibunuh perampok yang masuk
ke rumah ini 14 tahun yang lalu, saat David berumur 16 dan Emilia 10 tahun. Dan
mereka dibunuh di sini, dalam ruangan ini. Membuatku larut dalam ngeri dan juga
perasaan nelangsa.
“Lalu kenapa kalian masih di sini?” tanyaku
suatu ketika, dalam mimpi.
“Aku hanya ingin bertemu denganmu,” jawab
David sambil tersenyum.
“Kenapa?”
“Karena hanya kamu yang bisa melepaskan kami
pergi.”
“Kenapa?” kejarku lagi.
David menatapku dengan sedih. “Karena
pembunuh kami adalah ayahmu.”
Aku serasa hampir kehilangan kesadaran.
Ayahku? Ayah?
“Bukan ayahmu yang sekarang, Bri,” kata
Emilia. “Tapi ayah kandungmu.”
Seketika aku gelagapan dan terbangun. Saat
aku mengerjapkan mata, Ibu tengah menutup jendela ruang kerja Ayah. Lampu taman
sudah menyala dan biru langit sudah menua. Aku terduduk di sofa.
“Bu...,” panggilku lirih.
Ibu menoleh dan melangkah mendekat. Beberapa
detik kemudian Ibu sudah duduk di sebelahku.
“Sudah sore, Bri,” ucap Ibu. “Madilah dulu.
Kamu pasti kecapekan di kampus sampai tidurmu seperti orang mati begitu...”
Diam-diam aku begidik mendengar istilah Ibu.
Segala sesuatu tentang Ayah terasa begitu
samar di dalam otakku. Ayah kandungku, maksudku. Dan aku terpaksa menyerah. Aku
tak berhasil mengingat apa pun. Kecuali sebuah wajah yang tersimpan dalam
liontin di laci lemariku. Tapi terlalu kecil dan buram sehingga terlupakan
begitu saja.
Dan ayahku ternyata perampok dan pembunuh?
Aku terhenyak.
“Ada apa, Bri?” Ibu menyenggol lenganku.
Yang kuingat kemudian adalah betapa pias
wajah Ibu setelah aku menceritakan rangkaian mimpi-mimpiku. Kemudian Ibu
mendekapku dengan berurai airmata.
“Itu sebabnya aku membawamu lari darinya,”
ucap Ibu terbata-bata di tengah tangisnya. “Aku mencintai ayahmu tapi aku tidak
bisa membiarkanmu tumbuh besar sebagai anak seorang perampok dan pembunuh.
Bertahun-tahun aku tenggelam dalam ketakutan sampai akhirnya aku mempunyai
kekuatan untuk lari dan bersembunyi. Sampai akhirnya aku bertemu Ayah. Hampir
bersamaan dengan peristiwa ditembaknya ayahmu hingga tewas oleh polisi ketika
jadi buron. Lalu kita terbebas, Bri... Kamu berhak dapat yang terbaik.”
Aku tergugu. Lalu aku menangkap bayang
butiran bening itu. Airmata Ayah. Ayah tiriku. Yang begitu menyayangiku dan
Ibu. Berdiri tegak di balik pintu dengan sorot mata penuh haru.
“Lalu bagaimana kita harus membebaskan
arwah-arwah itu, Bri?” tanya Ibu kemudian, sambil mengusap airmatanya.
Aku menggeleng. “Belum tahu, Bu. Aku keburu
terbangun.”
Dan kami saling menatap.
* * *
Aku membuka lemariku dan mengeluarkan liontin
kecil itu dari dalamnya. Mimpiku berlanjut semalam. Dan aku mendapatkan
jawabannya. Liontin itu. Dengan potongan foto wajah ayahku di dalamnya. Aku
harus membakarnya sampai habis. Membakar logam sampai habis? Berapa lama?
Ibu dan Ayah berdiri di belakangku. Aku
berbalik menghadap mereka. Kugenggam liontin itu.
“Kalau kau tak rela, jangan lakukan, Bu,”
bisik Ayah lembut. “Toh mereka tidak mengganggu kita.”
Ibu menggeleng. “Mereka lelah, Yah. Dunia
mereka bukan di sini. Kasihan...”
Ayah menatapku. “Tidak ada cara lain?”
“Memanggil dukun?” sahutku, mencoba melucu,
tapi garing.
Tapi Ayah dan Ibu tertawa sesaat.
“Sudahlah, lakukan saja, Bri,” ucap Ibu tegas.
Aku mengangguk.
Bertiga kami masuk ke ruang kerja Ayah. Aku
meraih potpourri berisi rempah yang ada di atas meja kerja. Kumasukkan liontin
itu ke dalam potpourri. Sebelum menyalakan korek api aku menoleh ke sudut.
Perasaanku mengatakan mereka ada di sana.
“Jadi...,” ucapku pelan, setengah tercekat,
“kalian siap untuk pergi ke dunia baru kalian?”
Kursi goyang itu berayun pelan. Entah kenapa
airmataku mengalir tiba-tiba. Bertahun-tahun hidup dan berteman dengan mereka,
seperti inikah akhirnya rasa dan aroma perpisahan? Ayah mengelus punggungku.
Aku pun menyalakan korek api. Dan ketika
lidah api mungil itu mulai membakar isi potpourri, aku menoleh sekali lagi ke
arah sudut. Kursi goyang itu berayun pelan dengan teratur.
“Selamat tinggal,” ucapku di sela tangis.
“Aku senang mengenal kalian.”
Lalu kursi goyang itu mulai berayun lebih
pelan, lebih pelan, lebih pelan, dan akhirnya berhenti. Seberkas hembusan
hangat terasa di telingaku dan perlahan menghilang bersamaan dengan terbakar
habisnya rempah kering dan melelehnya liontin logam di dalam potpourri. Aku
ternganga. Secepat itu?
“Sudah selesai, Bri,” bisik Ayah. “Mereka
sudah bebas.”
Aku terduduk di atas kursi kerja Ayah. Ya,
semuanya sudah selesai. Tapi entah kenapa ada rasa itu. Muncul dan menguat
begitu saja.
Sebuah rasa kehilangan.
* * * * *
horornya gak bikin takut..keren Mbak...
BalasHapusNggak pernah bisa bikin horor yang beneran, Mbak Bekti 🙈🙈🙈
HapusHoror ala novel luar, yang aku rasakan. Nice, Bude Lizz. :-)
BalasHapusHah??? Kalo ala ngawur, iya 😁😁😁
Hapusmuantappp... Mbakyuu, ampe mendiring disko ane hehe
BalasHapusIlang merindingnya, tinggal diskonya 😆😆😆
Hapusgood post mbak, terasa lain cerita ini dan mengharukan
BalasHapusMakasih mampirnya, Pak Subur... 😊😊😊
HapusMedeni buu.
BalasHapusBu, jd 2 roh anak2 itu anake ayah tiri Bri ?
Bukan, Mbak. Ayah tirinya Bri nempatin rumah itu, si roh 2 anak itu udah ada 😊
HapusKisah aslinya kayak gitu 😁