Apa?
Keisha hanya menatap ibunya tanpa bisa berucap apa-apa.
Ruwat1? Untukku?
Diam-diam Keisha tercekat.
Ini jaman apa? Masih
musim, ya, mengadakan ruwat?
Tapi, Ibu menatapnya kukuh. Menghunjamnya dengan kalimat lugas
tanpa ampun. Membuat Keisha makin tak mampu berkata-kata. Ia tertunduk diam di
tempat duduknya. Pikirannya yang biasanya aktif kali ini terpaksa dibiarkannya
kosong-melompong.
“Sengkala2-mu itu namanya Kebo Kemale3. Kalau tidak di-ruwat, ya, sampai kapan pun kamu akan tetap berat jodoh. Pacaran bubar terus. Nggak ada gathuk-nya.”
“Sengkala2-mu itu namanya Kebo Kemale3. Kalau tidak di-ruwat, ya, sampai kapan pun kamu akan tetap berat jodoh. Pacaran bubar terus. Nggak ada gathuk-nya.”
Keisha mendadak merasakan pening menyerang kepalanya. Pelan
dicobanya mengangkat wajah, menatap sesuatu yang tertangkap agak jauh di
depannya. Sebuah cermin yang memantulkan bayangan diri seutuhnya. Sejujurnya ia
tak paham apa yang dipikirkan Ibu tentangnya.
Tapi, semuanya berawal dari keinginan Gustaf untuk menyunting
Peni, kekasihnya. Kalau hanya soal langkahan4, toh mereka sudah pernah melakukannya. Tak
pernah jadi masalah besar buat Keisha, tapi seolah langit runtuh buat Ibu.
Bagaimana tidak? Keisha, putri sulungnya, harus dilangkahi untuk kedua kalinya.
Lantas bagaimana
nasibnya kelak?
Dua tahun yang lalu Keisha sudah dilangkahi Kayla, si nomor
dua. Dan, kini Gustaf, si bungsu yang satu-satunya laki-laki itu, pun meminta hal yang
sama. Lalu bagaimana nasib Keisha selanjutnya. Apa tidak makin berat saja
jodohnya?
Keisha sendiri sepertinya nyaris tak peduli dengan urusan
langkah-melangkahi itu. Ia terlihat suka rela dan ikut bahagia ketika Kayla
melakukan upacara langkahan untuknya.
Syarat yang dimintanya pun tak aneh-aneh. Hanya satu perangkat kebaya brokat
beserta kain batiknya, sepasang high
heels, dan sebuah clutch cantik
yang sesuai dengan high heels-nya.
Semuanya ia pakai pada acara pernikahan Kayla.
Tak pernah jadi masalah bila adik di bawahnya persis itu
hendak menikah duluan. Toh, Kayla sudah cukup lama berpacaran dengan Sony. Dan, dari awal keduanya sudah kelihatan serius menuju ke masa depan. Baginya langkahan itu hanya seremonial belaka.
Ia tak terlalu peduli maknanya. Sebenarnya tanpa langkahan itu pun hidupnya akan tetap berjalan terus.
Sekarang, ketika si bungsu Gustaf punya maksud yang sama
dengan Kayla dulu, entah kenapa Ibu seperti mendadak kehilangan akal. Selain
mengharuskan langkahan digelar
kembali, Ibu juga menginginkan adanya upacara ruwat.
Keisha benar-benar tak melihat manfaat diadakannya upacara
itu. Selama ini, toh, ia cukup nyaman dengan kehidupan yang dijalaninya. Calon
pendamping? Tak mudah menemukannya. Tapi ia cukup percaya bahwa masih tersedia
seorang laki-laki yang sepadan dengannya di luar sana. Tinggal menunggu waktu
itu tiba. Dan, ia sama sekali tak mau diburu waktu itu.
“Ibu akan mencari hari yang tepat, Kei,” suara Ibu memecah
keheningan. “Siapkan saja dirimu. Nggak usah ngeles macam-macam.”
Telak.
* * *
“Lagi?”
Keisha mengibaskan tangannya dengan sebal ketika mendengar
gelak tawa Franklin menyambung tanggapan singkatnya.
“Pantas saja ibumu khawatir berat,” lanjut Franklin, masih
menyisakan tawa. “Sekali sudah dilangkahi, mau dua kali, coba bayangkan!”
“Nggak perlu dibayangkan,” gerutu Keisha sambil menyuapkan
sepotong spring roll ke dalam
mulutnya. “Itu, kan, cuma adat, seremonial. Nggak pengaruh banyak buat hidupku.”
“Lalu gimana dengan nasib lima mantanmu...”
“Enam,” tukas Keisha, nyengir.
“Yup, enam." Franklin mengangguk. "Enam mantanmu yang tertendang dengan sadis itu?
Apakah itu bukan jadi bukti bahwa memang ada sesuatu yang salah dengan auramu?” Tawa geli Franklin terdengar lagi.
“Hei!” Keisha melotot. “Aku nggak pernah menendang mereka, ya! Aku cuma memecat dengan nggak hormat.”
“Tetap saja sadis,” ledek Franklin. “Pilih-pilih tebu, dapat bongkeng, lho....”
Kalau bongkengnya
seperti kamu, sih, nggak apa-apa, batin Keisha. Dan, ia tak bisa menghindar
ketika tatapan Franklin mendadak mengunci tatapannya.
“Apa yang sebenarnya kamu cari, Kei?”
Keisha tak berkedip menatap Franklin. Walau harus berjibaku
menahan debar jantungnya sendiri.
“Kamu sendiri,” ucap Keisha dengan suara rendah, “apa yang
kamu cari?”
Franklin tertawa sambil menggelengkan kepala. “Orang dan waktu
yang tepat.”
“Aha!” Keisha tertawa. “Aku kadang-kadang berpikir kita
dilahirkan kembar dampit di masa lalu. Banyak sekali pikiran kita yang sama."
“Menikahlah denganku, Kei.” Senyum Franklin terulas tulus.
“Tunggu aku selesai diruwat dulu." Keisha tertawa sambil
berdiri. “Aku ada meeting sejam lagi.
Dan, aku belum lupa kalau hari ini giliranmu bayar. See you, Frank!”
Franklin menatap Keisha yang melenggang pergi. Orang dan waktu yang tepat, Kei.... Franklin mengulum senyum.
* * *
Keisha mulai bisa bersikap santai dan acuh-tak acuh dengan
segala upaya Ibu mempersiapkan acara ruwatan
untuknya. Dengan seluruh alam sadar dan bawah sadarnya, ia masih tak
memercayai khasiat ruwatan itu buat
dirinya. Dan, ia masih bisa bernapas lega karena hari baik yang sudah dihitung
dan ditetapkan masih tiga bulan lagi. Sebenarnya mau detik ini, besok, tiga
bulan lagi, atau tahun depan, ia merasa upacara itu tak bakal berpengaruh
besar. Rasanya ia terlalu moderen untuk memercayai upacara yang terkadang
dipikirnya berdasar pada sesuatu di luar nalar. Tapi... Ya, sudahlah, kalau itu bisa membuat Ibu tenang, kenapa enggak?
“Jadi aku harus memberimu apa, Mbak?”
Keisha menatap Gustaf yang baru saja mengusiknya. Berpikir-pikir. Menimbang-nimbang.
Lalu senyum jahilnya terbit.
“Seorang pacar, barangkali?”
Tawa Gustaf meledak. Seumur hidupnya ia selalu bersyukur
memiliki kakak seasyik Keisha. Seorang yang santai, begitu mendukung semua
perbuatan baiknya, dan tidak pernah sok bossy.
Dengan usia hanya terpaut tiga tahun lebih tua, Keisha selalu bisa jadi teman
yang baik.
“Benar? Mau?” Mata Gustaf bersinar-sinar.
“Hahaha... Kalau kamu yang memberikan, berondong yang
kudapat." Keisha tergelak.
Tapi, beberapa detik kemudian ia berubah serius. “Sudahlah,
Gus. Apa saja akan kuterima dengan senang hati, kecuali barang busuk dan bau.”
Gustaf tersenyum. “Perhiasan mutiara mau? Lengkap
seperangkat.”
“Hm... boleh juga...." Keisha mengangguk-angguk. “Yang bagus
sekalian, yang mahal, biar rejekimu lancar.”
Gustaf tertawa lebar.
Ketika Gustaf sudah meninggalkan dirinya, Keisha duduk diam
di atas kursi teras, menghadap ke taman kecil di depan rumah. Menikahlah denganku, Kei... Mendadak
Keisha tersentak ketika kalimat itu terngiang begitu saja di telinganya. Ia
menyipitkan mata.
* * *
Sebenarnya itu yang ia cari selama ini. Perasaan tenang.
Perasaan nyaman. Perasaan damai. Semua didapatkannya dari Franklin. Seorang
laki-laki matang yang sabar menunggunya hingga sampai pada saat yang tepat.
Hingga ia menyadari apa yang sesungguhnya sudah disediakan Franklin untuknya.
Franklin tak pernah mengejar Keisha dengan ucapan cinta yang
cuma semu tanpa makna. Ia hanya memberi dan menunggu. Merelakan dirinya hanya
menjadi laki-laki ketujuh dalan kehidupan Keisha. Laki-laki ketujuh sekaligus
terakhir, dengan memenangkan seluruh cinta Keisha.
Dan, dengan senyum yakin, laki-laki itu menghadap Ibu.
Memintanya membatalkan semua rencana ruwatan terhadap Keisha karena Keisha tak
lagi berat jodoh.
“Keisha tidak punya sengkala kebo kemale itu, Ibu,” ucap Franklin halus. “Dia hanya menunggu orang yang
tepat pada saat yang tepat. Dan, untungnya dia menyadari itu di saat yang tepat
juga.”
Ibu tersenyum lebar. Baginya Franklin bukanlah orang lain. Ia
mengenal laki-laki itu beserta seluruh keluarganya karena selama ini mereka
tinggal berdekatan.
“Lalu, kenapa harus menunggu sekian lama, Frank?” Ibu
menaikkan alis matanya.
“Karena saya selalu percaya Keisha tidak akan ke mana-mana, Bu,” jawab Franklin tenang. “Keisha akan selalu kembali pada saya. Seperti selama ini, setiap dia selesai
menendang mantan-mantannya, dia selalu lari pada saya dan saya yang pertama
tahu.”
Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sulit untuk memahami
jalan pikiran Franklin. Tapi, toh, segalanya sudah selesai. Ataukah baru mulai?
“Lalu langkahan
itu?”
“Lakukan saja.” Keisha muncul dari belakang punggung Ibu,
membawa nampan berisi tiga cangkir teh hangat dan sepiring bika ambon. “Aku
nggak akan buru-buru nikah, kok, Bu. Biarkan Gustaf duluan. Masih banyak yang
harus Franklin dan aku siapkan. Lagipula sayanglah kalau harus kehilangan
seperangkat perhiasan mutiara dari Gustaf.”
“Matre,” ledek Franklin.
“Tapi kamu suka kaaan?” balas Keisha telak.
Franklin mengunci Keisha dengan tatapannya. Keisha tersenyum.
Mungkin benar sengkala kebo kemale itu benar-benar ada. Tapi tidak padanya. Ia hanya meyakini sesuatu. Sama
seperti Franklin.
Orang dan waktu yang tepat.
* * * * *
Ilustrasi : pixabay, dengan kodifikasi.
Catatan :
1. Ruwat : upacara bersih diri.
2. Sengkala : semacam aura negatif yang perlu dibersihkan.
3. Kebo kemale (ada juga yang menyebutnya kebo kemali) : sengkala yang
berkaitan dengan susah dapat jodoh.
4. Langkahan : upacara yang dilakukan
sebelum adik menikah mendahului kakak/abang.
Aku perlu ruwatan ngga ya mbak,.... hihihihihi....
BalasHapusHuehehe... Bisa aja, Mbak MM...
Hapus