Entah bagaimana aku harus merumuskan perasaanku kali ini. Bersemangat? Senang? Bahagia? Takut? Sedih? Aku tak bisa menjelaskannya secara pasti. Hanya saja aku masih merasakan euphoria itu menghentak setiap sisi jiwaku.
Akun itu... Ah! Aksesnya terbuka selebar aula balai kota. Dia meninggalkan laptopnya sebelum sempat log out. Membuatku bisa dengan leluasa meluncurkan deretan kalimat yang selama ini terpaksa kuperam sendiri dalam kantong-kantong keinginanku.
Aku menoleh sekejap sebelum mulai menarikan jemariku di atas keyboard laptop. Padanya. Pemiliknya. Yang kini tertelungkup dalam hening dengan darah mulai menggenang. Dan aku sengaja membiarkannya mendingin dan menjadi kaku. Dengan belati besar masih tertancap di pungggung kirinya. Dan kelihatannya ujung belati itu tepat mengoyak pusat hidupnya. Jantungnya.
Dengan sepenuh rasa kusunggingkan senyum puas yang cukup lebar. Tapi kemarahan kembali menjerat rasaku ketika kubaca lagi tulisan terakhirnya yang tertinggal. Laki-laki itu... kata ‘bajingan’ saja mungkin tidak cukup untuk menggambarkan kelakuannya.
Coba lihatlah kalimat-kalimat yang ditulisnya! Penuh cinta. Penuh kesedihan. Penuh kehilangan.
RIP Cintaku, Maharani Anggada
Seluruh hidupku hancur karena satu kepergianmu. Tak ada lagi cinta untuk kubagi. Tak ada lagi mimpi yang bisa kuceritakan. Segalanya tentang kita sudah remuk dilibas perpisahan yang sangat menyakitkan. Kala kau pergi dalam damaimu menuju Surga yang tak terbatas, maka aku hanya bisa tertunduk pilu mengenang segalanya tentangmu.
Aku hanya bisa mengantar senyum bekumu menuju keabadian dengan gamang. Apalah aku tanpamu? Dan ketika masa tak lagi bisa berbelok menuju kemarin, aku hanya bisa mengenangmu dengan seluruh cintaku. Selamat jalan, istriku tercinta...
Akan selalu merindukanmu,
Diki Anggada
Dan aku memutar leherku. Mencoba untuk menatap cermin. Seandainya aku kehilangan ingatanku pun rasa-rasanya aku masih bisa mengingat seraut wajah yang terpantul bayangannya dalam cermin itu. Wajah Maharani Anggada. Wajah istri Diki Anggada. Wajah istri dari laki-laki yang mulai kaku kehilangan darah itu. Wajahku.
Ya, aku Maharani Anggada. Masih hidup. Masih bisa membunuh laki-laki jelmaan iblis itu dengan tanganku sendiri. Laki-laki yang mungkin masih hidup kalau saja tidak berbuat bodoh dengan mematikan aku di dunia maya.
Lalu aku mulai membaca satu-satu komentar yang mengular naga di bawah tulisannya. Puluhan nama. Ratusan iba. Ribuan bela sungkawa. Jutaan simpati. Membuatku muak.
Tulisannya memang selalu semanis gulali tentang rumah tangga indah yang cuma fantasinya belaka. Tentang cinta dua manusia yang seolah ditakdirkan untuk bertemu dan bermimpi bersama. Diki dan Maharani Anggada.
Siapa sih yang tak kenal Diki Anggada di dunia maya? Seorang laki-laki sejati berwajah bagai kerlip bintang, tampan. Seorang laki-laki sukses yang lembut hati dan membanggakan keluarganya melebihi pemujaannya pada Tuhan. Seorang motivator keluarga yang selalu punya advis brilyan mengatasi semua curhat tentang keluarga yang membanjiri alamat e-mailnya. Seorang gentleman yang selalu manis mengorek tiap sisi pribadi ‘klien’-nya yang 99% perempuan.
Dia yang terlalu pintar? Atau mereka yang terlalu bodoh? Dan perempuan-perempuan yang terjerat pesona itu mungkin akan muntah-muntah kalau tahu bagaimana Diki Anggada yang sesungguhnya. Mungkin juga mereka akan pingsan seketika kalau melihat wajah aslinya. Mungkin mereka akan jantungan kalau mengetahui bagaimana dia memperlakukan aku, istri sahnya.
Dan berani-beraninya dia memberitakan aku mati? Maharani Anggada telah mati? Belum cukupkah dia menyiksaku di dunia nyata dengan perlakuannya hingga di dunia maya pun dia merasa berhak untuk membunuhku?
Aku tak akan pernah lupa berapa butir beras yang sudah masuk ke dalam mulutnya dari hasil kerja kerasku melacurkan diri. Dia tak pernah menghidupiku. Aku yang menghidupinya. Memberinya tiap makanan yang aku punya. Memberinya tiap cinta yang aku miliki. Dia cuma pengangguran yang hanya bisa mengucurkan kecapnya di sana-sini.
Cinta?
Ya. Cintaku memang absurd untuknya. Seorang laki-laki yang sebenarnya jenius dengan kemampuan brilyannya mengupas sebuah masalah sederhana menjadi terlihat rumit dan intelek. Seorang laki-laki yang mampu membuatku menghamba pada tiap jerat ucapan manisnya tentang cinta. Jerat yang membuatku seketika terpasung dan tak lagi bisa melepaskan diri dari arogansinya, egoismenya, otoriternya, perasaannya yang menganggap dirinya sendiri adalah dewa kebenaran yang abadi, kejeniusannya ketika memutarbalikkan fakta tentang sebuah masalah.
Selama ini aku tak pernah peduli walau aku harus menebus peranku sebagai budaknya dengan seluruh tenaga, raga, bahkan jiwaku. Bilur-bilur yang tersisa di sekujur tubuhku terkadang menipis dan menebal. Meninggalkan bekas yang tiap goresannya menikam hatiku dalam-dalam. Sakitnya melebihi rasa ketika bogem mentahnya mampu menghitamkan sekitar mataku. Atau ketika telapak tangannya menghantam pipiku. Atau ketika sumpah serapahnya menghujam telingaku. Atau ketika tendangannya mendarat di punggungku. Aku masih mampu menahan semuanya asal membiarkanku tetap hidup walau hanya dalam mimpinya sekalipun.
Tapi setelah semua yang kualami, dia masih juga mebunuhku walau hanya di dunia maya? Semuanya sudah cukup! Cukup sudah semua sensasi yang dibuatnya hanya untuk mencari ketenaran, untuk menutupi kebusukannya sebagai pengangguran yang hanya punya otak untuk berkhayal.
Sesungguhnya dia cuma jelmaan iblis yang mencari mangsa demi mangsa untuk menyambung hidupnya. Untuk menyambung arogansinya. Untuk menyambung egoismenya. Untuk menyambung rasa hausnya akan perhatian, simpati, dan sensasi.
Dan aku, Maharani Anggada, masih hidup untuk mengakhiri semua itu. Masih punya cukup tenaga untuk menikamkan belati besar dan tajam itu pada tubuhnya. Agar semuanya berakhir bahagia.
Kau salah kalau menganggapku akan lari dari tanggung jawabku sebagai pembunuh orang tenar itu. Tentu saja tidak! Aku akan segera menelepon pihak berwenang untuk mengamankan aku. Tapi nanti. Setelah aku selesai menuliskan rangkaian pesan ini untukmu yang rajin membaca tulisannya. Pesan yang seolah berasal dari neraka untuk membuka semua kebodohanmu telah mempercayainya.
Tapi satu yang harus kau tahu. Aku, Maharani Anggada, masih hidup. Yang mati adalah dia, Diki Anggada. Kalau dia bisa membunuhku di dunia maya, maka aku lebih bisa membunuhnya di dunia nyata. Supaya kau terselamatkan dari jerat manis rayuannya yang membuaimu. Supaya kau tak perlu memboroskan simpatimu untuk laki-laki munafik yang hanya hidup dengan mimpinya. Supaya kau tak lagi tenggelam dalam kebodohan lebih lama hanya karena dia menganggapmu sebagai teman.
Dan aku sudah mengakhiri semua itu. Menusuknya sebelum dia menusukmu dari belakang dan menikmati tiap cucuran darahmu sambil tertawa. Karena dia cuma jelmaan iblis. Tak pantas hidup sebagai manusia.
Lalu aku apa? Aku Maharani Anggada. Istri Diki Anggada. Bahkan kau pun tak tahu nama kami yang sebenarnya. Seorang iblis tak bisa bersanding dengan malaikat. Maka aku pun sama iblisnya seperti dia. Tapi setidaknya aku tak pernah berniat menipumu, seperti yang selama ini telah dilakukannya terhadapmu.
* * * * *
Lagu latar : Lacrimosa (Karl Jenkins)
good stori
BalasHapusMakasih kunjungannya, Pak Subur...
HapusMbak Lizz...
BalasHapusIya udah ketemu, yang ini mbak...
Penasarannya karena ada nama yang mirip dengan tokoh anggada itu...
Dari awal ini diposting saya udah mau tanya tapi ya gitu deh, awalnya ga enak, terus ga inget, sampe pas Mbak Lizz pindah baru inget dah...
Wakakaka...:D :D
Oh ya? Masih pasaran juga ternyata nama yang saya tempelin buat fiksi saya yak? Hahaha...
HapusBikin nama spesial aja mbak Ayu... Mbak Maniezzz.... wkwkwkwk. Miss all of your story, binun akyu sama kejeniusan semua storymu... ajib bener dah. (biarin menjilat sapa tahu dapat galantin ayam.... )
BalasHapusWuakakak... Lagi musim ya muka manis dan menjilat? Jangan ikut-ikutan ah! Nggak bagus buat kesehatan... *cling!*
HapusHm... hm... penasaran nih ;)
BalasHapusWhoaaa... penasaran apanya? True story-nya? Kan udah tauuu?
Hapus