Jumat, 18 Januari 2019

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #11-2









Sebelumnya



* * *



Ini nggak bener!

Pingkan menghempaskan diri ke atas ranjang. Ia menggeleng berkali-kali. Resah.

Nggak bener! Seharusnya nggak menjebak Maxi seperti ini!

Dihelanya napas panjang. Ia meluruskan tubuh. Menatap langit-langit kamar dalam gelap. Ada seraut wajah Maxi tergambar nyata di sana. Dengan tatapan teduhnya yang menghanyutkan. Dengan senyumnya yang menghangatkan hati.

Pingkan mendesah. Seutuhnya ia tahu mimpi Maxi, keinginan Maxi, harapan Maxi. Prioritas pemuda itu adalah memperoleh pekerjaan yang ia sukai, meneruskan pendidikan ke jenjang magister, dan juga melanggengkan hubungan ke arah yang lebih serius dengannya.

Dan, letak kesalahannya? Untuk kesekian kalinya Pingkan menghela napas panjang.

Semua yang ada dalam genggaman Maxi sekarang adalah jalur rel yang benar untuk mewujudkan segala mimpi, keinginan, dan harapan itu. Maxi sudah memperoleh tiket untuk meneruskan pendidikannya. Maxi sudah memperoleh pekerjaan yang disukainya. Makin hari, hubungan Maxi dengannya pun makin serius.

Sayangnya, ada satu benang merah yang menyatukan semua itu. Royal Interinusa. Sebuah nama besar yang salah satu ahli warisnya adalah ia, Pingkan Estelle Undap.

Seharusnya tidak menjadi masalah karena Maxi bisa bersikap profesional selama bekerja di bawah bendera Royal Interinusa. Tapi selama setahun ini mengenal Maxi lebih dekat lagi, Pingkan jadi bisa mencium aroma perang antara dua kutub dalam hati Maxi. Aroma yangn makin kental ketika tadi mereka bertemu.



“Ngomong-ngomong, memangnya Pak Andries kenapa, Ke?” ucap Maxi pada suatu detik, sesaat setelah ada jeda dalam obrolan mereka.

“Hah? Apanya yang kenapa?” Ia mencoba mengelak.

“Tadi ... Aku ke kantornya.” Maxi mengedikkan sedikit bahunya. “Sengaja aku ingin bertanya soal surat tugas belajar itu. Dan ..., Pak Andries sempat menyinggung soal umur yang mungkin nggak akan panjang lagi. Pak Andries kenapa?”

“Oh ....” Pingkan mendegut ludah. Berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk menyampaikan hal itu kepada Maxi, tanpa membuat hatinya berdarah lagi mengingat kondisi Andries. Tapi ia masih berusaha mengulur waktu.

“Andries ngomong apa lagi sama kamu?”

“Banyak, Ke.” Maxi kembali mengedikkan bahu. “Termasuk ... keseriusanku dalam menjalin hubungan denganmu. Dan ... soal aku diplot untuk menggantikannya kelak. Sebenarnya ada apa?”

Pingkan mengerjapkan mata. Ia benar-benar belum mampu menemukan rangkaian kata yang benar-benar tepat. Maka, ia pun memutuskan sesuatu. Bahwa ia masih akan sedikit lagi mengulur waktu.

“Sebelum aku jawab, bisa apa enggak aku memperoleh jawaban yang jujur.”

“Dariku?”

Ya.” Angguk Pingkan.

Just tell me, Ke.”

Pingkan terdiam sejenak. Menimbang-nimbang. Hingga akhirnya ia berlanjut lagi buka mulut.

“Kamu .... Gimana sebetulnya perasaanmu selama bekerja di Royin?”

Dan, yang didapatinya kemudian di kedalaman mata Maxi hanyalah kejujuran.

“Aku senang bekerja di Royal Interinusa.. Aku suka suasananya. Aku suka tantangan yang kutemui tiap kali berhadapan dengan mesin-mesin cantik milik Royal Interinusa. Aku juga suka saat mendapat kesempatan untuk menyembuhkan penyakit mesin-mesin itu. Dan, maaf, semua itu nggak ada hubungannya dengan kamu. Euh .... Maksudku, nggak ada hubungannya dengan statusku sebagai kekasih salah satu ahli waris Royal Interinusa.”

Sejenak Pingkan tenggelam dalam pesona binar-binar semangat yang berlompatan keluar dengan riang dari sepasang mata teduh Maxi. Tapi suara lembut Maxi segera menyadarkannya.

“Jadi ..., apa yang bisa kamu bagi untukku?”

Pingkan terhenyak. Hingga detik ini, ia sama sekali belum berhasil merangkai penjelasan yang pas. Masih berusaha mengumpulkan kata. Hingga akhirnya ia merasa tak sanggup lagi menyembunyikan kenyataan dari Maxi.

“Andries ....” Suara Pingkan hanya menyerupai bisikan. “Andries ..., dia .... sudah empat tahun ini berusaha menjadi penyintas leukemia. Teorinya, waktunya sudah divonis habis sekitar dua tahun lalu. Tapi dia mematahkan vonis itu. Sampai sekarang dia masih bisa bertahan. Mengulur waktu. Hanya saja ..., suatu saat waktu itu akan mentok dan nggak bisa diulur lagi. Kapan? Nggak ada yang tahu.”

Bibir Maxi terlihat bergerak-gerak, tapi tak ada suara sedikit pun yang keluar. Pun, matanya menyiratkan kekagetan yang sangat. Membuat Pingkan nyaris tak bisa melanjutkan penuturannya. Tapi masih terlihat masih menunggu. Maka Pingkan tak lagi punya pilihan lain.

“Dia ... sudah pernah secara sambil lalu bilang, bahwa dia sudah menemukan orang yang betul-betul tepat, untuk suatu saat nanti mengendalikan usaha warisan dari Papa. Menggantikan dia. Dan ..., orang itu kamu, Max.”

Maxi segera menyandarkan punggungnya. Rasa kaget masih tersisa banyak, terbias nyata dalam wajahnya. Satu hal yang bisa mengembalikannya kembali ke alam nyata adalah telaga bening yang mengembang dalam mata Pingkan. Siap tumpah setetes demi setetes.

Segera diraihnya tangan Pingkan. Digenggamnya hangat.

“Maafkan aku, Ke,” bisiknya. “Aku sudah berjanji untuk nggak akan menyakitimu, atau membuatmu menumpahkan air mata lagi. Sekarang katakan, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahan itu?”

Pingkan mengerjapkan mata beberapa kali. Berusaha mengusir air matanya agar tidah tertumpah tanpa kendali. Seperti setiap kali saat ia mengingat kondisi abang kesayangannya.

Lalu, kalimat itu meluncur saja dari sela-sela bibirnya. Hanya menyerupai bisikan yang menguap di udara.

“Tolong, bertahanlah di Royin. Demi Andries.”

Maxi tercenung. Lama.



Mengingat hal itu, Pingkan kembali dikejar perasaan bersalah. Maxi memang tak mengatakan apa-apa. Penolakan sekalipun. Apalagi jawaban tegas. Tapi jelas terlihat ada kebimbangan tergambar dalam mata Maxi. Juga perasaan kurang nyaman.

Pingkan berguling. Menenggelamkan wajahnya pada permukaan bantal.

Ini nggak bener! Ini nggak bener!

Begitu ucapnya berulang-ulang. Nyaris menyerupai litani.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)