Jumat, 11 Januari 2019

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #10-2









Sebelumnya



* * *



Mela memilih makanan dalam bentuk paket bento yang sama untuk mereka semua. Luken menambahnya dengan beberapa porsi makanan di luar paket. Karena antrean cukup panjang, Luken memutuskan untuk mengajak Mela berkeliling sejenak. Tujuannya adalah ke pasar swalayan dalam mal itu.

Setelah mengambil beberapa botol aneka jenis minuman, Luken tak langsung ke kasir. Ia berputar dulu, dibuntuti Mela. Gadis remaja itu senang-senang saja diajak cuci mata seperti itu.

“Mas Maxi bawa tivi, nggak, Mel?” Luken menoleh sekilas.

“Ya enggaklah,” Mela menyambungnya dengan tawa ringan. “Tivi di rumah gede banget, masa mau diboyong ke sini? Kamarnya sempit gitu.”

“Di rumah, di kamar, nggak ada tivi?” tanya Luken lagi.

“Enggak.” Mela menggeleng. “Nggak boleh sama Papa. Biar bisa kumpul nonton tivi bareng di bawah, nggak sibuk sendiri di kamar masing-masing.”

“Oh ....”

Tanpa diduga Mela, Luken membeli sebuah LED TV berukuran 42 inci, lengkap dengan antena dalam dan braketnya. Bukan hanya itu. Laki-laki itu membeli pula sebuah kulkas satu pintu. Semua untuk Maxi.

“Mas langsung ke mobil saja,” celetuk Mela. “Biar aku yang ambil makanannya.”

“Oke!” Luken mengacungkan jempolnya.

Keduanya kemudian berpisah. Bertemu lagi selang beberapa menit di dalam mobil. Siap untuk kembali ke rumah indekos Maxi.

* * *

Maxi menghela napas panjang ketika melihat kamarnya sudah rapi. Kardus bekas dalam berbagai ukuran pun sudah dibongkar dan dilipat. Diikat dan ditumpuk di dekat pintu. Semua pekerjaan cepat selesainya bila dikeroyok banyak orang.

“Butuh karpet buat lesehan, nggak, Max?” celetuk Livi. “Kayaknya enak, tuh, lesehan di dekat jendela yang situ,” Livi menunjuk ke sudut. “Wah, coba ada tivi, ya? Bisa dipasang di sana,” Livi menunjuk dinding di seberang tempat lesehan yang ia maksud.

Maxi berpikir sejenak sebelum menjawab, “Butuh, sih. Ya, nanti kalau gajian aku beli.”

“Oh, iya, kamu belum punya kulkas, ya?” gumam Arlena. “Sebentar habis makan, Mama belikan. Sekalian karpetnya. Nggak usah tunggu gajian. Gajimu ditabung saja.”

“Halah .... Repot amat?” gerutu Maxi.

“Perlu, Max, buat kamu simpan makanan sama minuman,” tukas Arlena, halus. “Kalau microwave sama kompor, ada di dapur bawah. Pakai bersama. Dispenser juga ada. Soal baju, kamu kirim saja ke laundry kiloan. Anak-anak sini ada langganan laundry yang siap jemput antar.”

“Sekalian nanti Papa belikan tivi, Max, buat hiburan kamu sepulang kerja,” timpal Prima.

Maxi hanya bisa terkekeh mendengar semua itu. Mau menolak, ia butuh juga. Tidak menolak, alangkah ruginya.

“Ini mana Mas Luken sama Mela?” gerutu Livi, menjatuhkan tubuh di ranjang Maxi. “Lama amat? Keburu lapar.”

“Antre ‘kali, Liv,” ujar Prima dengan suara sabar. “Weekend gini, kan, biasanya mal ramai.”

Livi mengerucutkan bibir. Wajahnya tampak lucu, membuat Pingkan tak bisa menahan senyumnya. Gadis itu kemudian duduk lesehan di lantai, dekat Tisha dan Donner. Sambil menunggu Luken dan Mela datang membawa makanan, mereka mengobrol. Di tengah keasyikan itu, akhirnya Mela dan Luken pun muncul dengan menenteng beberapa kantong berisi makanan.

“Antre banget, ya?” Livi mendongak, menatap Luken.

“Banget,” Luken mengangguk. Ia kemudian membawa kotak kertas berisi makanannya ke sudut kamar. Duduk di sebelah Donner.

“Nanti habis makan, bantuin aku bisa, Don?” bisiknya.

“Apa, tuh, Mas?” Donner menoleh sekilas sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

“Masih ada barang Maxi yang ketinggalan di mobil.”

“Hah?” Kini Donner menatap Luken. “Kayaknya tadi sudah kuturunkan semua, Mas.”

“Ada, masih. Mana berat lagi.”

Donner mengerutkan kening. Barang apa lagi? Tapi ia diam saja. Hanya mengangguk singkat.

Dan, pemuda itu tertawa lebar ketika tahu barang apa yang masih ‘ketinggalan’ di dalam SUV Luken. Kulkas satu pintu dalam dos besar itu cukup berat, apalagi harus dibawa ke lantai dua. Tapi masih bisa diatasi oleh Luken dan Donner. Tisha dan Mela yang membuntuti Luken dan Donner turun, menenteng kardus berisi televisi dan kantong berisi braket dan antena. Keduanya sampai lebih dulu di kamar.

“Taraaa!!! Kejutaaannn!!!” seru Mela begitu membuka pintu.

Semua menoleh ke arahnya. Mela dan Tisha masuk membawa barang yang mereka tenteng dari bawah.

“Apa itu?” Prima mengerutkan kening.

“Nih, dibeliin tivi sama Mas Luken.” Wajah Mela tampak semringah. “Ada kulkas segala.”

“Lhooo ....” Prima dan Arlena serempak mengucapkan itu dan berpandangan.

Sementara itu Livi tergelak sambil menggelengkan kepala. Orang satu itu bisaaa saja!

* * *

Hari sudah gelap ketika kamar Maxi seutuhnya selesai ditata. Televisi sudah terpasang rapi. Gambarnya sudah tampil sempurna di layar ketika dicoba. Karpet yang dibeli Arlena bersama Livi sudah tergelar di sudut dekat jendela. Dilengkapi pula dengan dua buah bantal besar yang membuat sudut lesehan itu makin nyaman untuk melepas penat sembari menonton televisi.

Kulkas juga sudah mendapatkan tempatnya yang pas. Sudah pula berisi beberapa botol air mineral, enam kotak besar jus aneka buah, dua kotak susu cair ukuran keluarga, sebungkus roti tawar, sebungkus keju lembaran, dan beberapa roti aneka isi. Di atas kulkas itu, Livi meletakkan sekotak kecil margarin, beberapa botol kecil selai aneka rasa, dan beberapa bungkus aneka macam biskuit.

Mereka menutup kebersamaan hari itu dengan makan malam bersama di sebuah kedai seafood yang berupa warung tenda. Tak jauh dari cluster tempat indekos Maxi berada.

Menjelang pukul delapan, mereka berpisah di area parkir. Maxi dan Pingkan menunggu hingga mobil-mobil yang membawa rombongan itu meninggalkan tempat parkir sebelum masuk ke mobil Pingkan.

“Kamu mau putar-putar dulu atau gimana?” tanya Maxi sembari menghidupkan mesin mobil.

“Putar-putarnya besok saja,” sahut Pingkan dengan nada manis. “Sekarang aku antar kamu pulang ke indekos. Kamu butuh istirahat. Aku juga.”

“Oke, deh!” Maxi mengulas senyum. Kakinya mulai menginjak pedal gas.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)