Rabu, 19 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #10-1









Sebelumnya



* * *


Sepuluh


Belum lagi mobil mungil Ingrid melewati pintu pagar, sebuah skutik bongsor menghalangi lajunya. Ingrid buru-buru menginjak pedal rem dan membuka jendela kanan depan. Bimbim membuka visor helmnya.

“Bang Ernest baru saja pergi, antar Mama ke Tangsel,” ujar Ingrid.

“Kamu mau pergi?”

“Iya, janjian sama dosen.”

“Oh....” Bimbim kelihatan termangu sejenak sebelum kembali menatap Ingrid. “Kuantar, yuk!”

“Nanti Mas Bimbim repot,” elak Ingrid.

“Enggak,” Bimbim menggeleng.

“Ya, deh.”

“Titip motor, ya?”

Ingrid mengangguk. Sambil menunggu Bimbim selesai mengurusi motornya, Ingrid mematikan mesin mobil dan berpindah ke sisi kiri. Beberapa saat kemudian, Bimbim sudah siap di balik kemudi mobil mungil Ingrid, dan meluncurkannya keluar dari carport.

“Nggak janjian sama Abang?” Ingrid menoleh sekilas.

“Enggak,” senyum Bimbim.

“Pantesan Abang main pergi saja,” gumam Ingrid. “Oh, iya, aku belum balas pesan Mas semalem.”

“Nggak apa-apa,” Bimbim tertawa ringan.

“Aku bangun kesiangan tadi,” Ingrid meringis malu. “Nggak sempat pegang ponsel.”

“Iya, nggak apa-apa. Santai saja. Ini kamu janjian jam berapa?”

“Jam sembilan, sih...”

Bimbim melirik sekilas jam digital di dasbor. Baru lewat beberapa menit dari pukul setengah delapan.

“..., tapi mendingan aku berangkat pagian, di sana nunggu, daripada kena macet malah telat.”

“Untung masih keburu tadi aku,” gumam Bimbim.

“Eh, iya, Mas Bim tadi mau ngapain ke rumah?”

“Oh.... Hehehe.... Mau ketemu kamu.”

Ingrid terbengong sejenak. Tumben-tumbenan....

“Atau.... Wah, aku lupa kalau kamu sekarang sudah punya cowok,” Bimbim meringis sekilas. “Bisa perang dunia ini!”

“Ish! Apa, sih?” Ingrid buru-buru mengelak. “Cowok dari mana?”

“Itu... yang semalem aku anterin pulang?”

Mendadak Ingrid merasa telinganya menghangat.

“Itu...,” Ingrid menelan ludah, “... Mas Ken.”

“Hmm... Jadi itu yang namanya Ken?” Bimbim manggut-manggut.

Ingrid mengangguk, tapi sedetik kemudian tersentak. Ia menoleh cepat.

“Kok, Mas Bimbim tahu soal Mas Ken?”

“Kan, Ernest pernah cerita,” jawab Bimbim dengan suara dan ekspresi polos.

Seketika, Ingrid merasa pening.

* * *

Wah, telat!

Dengan langkah sedikit gontai, Ken kembali ke mobil. Sudah cukup pagi sebetulnya ia ke rumah Ingrid hari ini, tapi Ingrid rupanya lebih pagi lagi perginya. Ke kampus, kata ART-nya, baru saja. Ken berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk menyusul Ingrid. Yakin tak akan nyasar di sana nanti, karena dulu, toh, ia juga kuliah di kampus yang sama.

“Mama senang kalau kamu mendekati Ingrid, Ken,” begitu ujar mamanya semalam, tak lama setelah ia pulang dari rumah Ingrid. “Di samping anaknya baik, Mama juga berharap ada yang bisa diserahi sanggar ini nantinya.”

Ken menghela napas panjang sambil kakinya mulai menekan pedal gas. Mobil yang dipinjam dari ibunya itu mulai meluncur meninggalkan rumah Ingrid.

* * *

Baru pukul delapan lewat sedikit ketika mobil Ingrid mendekati area kampus. Sepanjang perjalanan tadi, Ingrid benar-benar sudah kehilangan fokus. Sejak Bimbim menyebutkan nama Ken.

Astaga.... Jadi dia tahu soal Mas Ken?

Ia menggeram dalam hati.

Ini pasti Bang Ernest yang cerita! Dan... Bang Erwin itu sama dan sebangun dengan Bang Ernest. Bisa jadi... alamak! Jangan-jangan Mas Endra tahu juga???

Kalau bisa, ingin rasanya Ingrid menghilang saat itu juga. Rasanya malu sekali ketika mendapati ada orang lain yang tahu soal Ken. Bimbim yang seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Ingrid, cukup hening. Seolah memberi kesempatan kepada Ingrid untuk mengatur napas, detak jantung, dan kepingan hatinya.

“Kamu sudah sarapan?”

Suara rendah Bimbim membuat Ingrid tersentak. Dengan polosnya ia menggeleng. Ia memang tak sempat sarapan tadi.

“Masih jam segini. Mampir ke Erbim dulu, ya?” Bimbim menyerbut nama kafe wartegnya.

Ingrid mengangguk tanpa suara.

* * *

Untuk ketiga kalinya, Ken menyusuri rute antara kompleks fakultas Ingrid dengan perpustakaan pusat. Belum juga dilihatnya mobil Ingrid di area parkir. Upaya itu diikuti doa dalam hati, semoga Ingrid belum berganti mobil.

Tapi rasa-rasanya belum, Ken berusaha melakukan negasi.

Kemarin sore, saat ikut Lulu dan Fritz berkunjung ke rumah Ingrid, ia diajak masuk ke dalam rumah melalui garasi. Mobil yang setahunya dulu biasa dipakai Ingrid masih parkir dengan manis dalam ruang luas yang muat empat mobil itu. Ia masih hafal merek, warna, bentuk, bahkan plat nomornya. Mobil mungil itulah yang saat ini dicarinya di sekitar area parkir kedua tempat itu. Tapi nihil.

Jangan-jangan, dia mampir ke mana dulu, gitu?

Ken mengembuskan napas keras-keras. Sambil meluncur kembali ke kompleks fakultas dari perpustakaan pusat, ia memutuskan untuk menunggu saja di area parkir fakultas. Kali ini keberuntungan berpihak padanya. Masih ada sebuah tempat di bawah sebuah pohon rindang. Tempat yang cukup strategis untuk mengamati segala penjuru. Setelah mematikan mesin mobil, ia pun membuka jendela kanan depan, dan duduk santai menunggu Ingrid.

Usahanya tak sia-sia. Setelah hampir dua puluh menit menunggu, ia menatap ke satu titik. Ia hampir melompat kegirangan karena akhirnya mobil mungil Ingrid meluncur juga masuk ke area parkir. Dengan berusaha memelihara rasa sabarnya, ditunggunya hingga mobil Ingrid benar-benar parkir sempurna. Ia tersenyum lebar. Mobil itu kini ada di seberang mobilnya. Saling berhadapan, terpisah jarak sekitar sepuluh meter.

Ia pun bersiap untuk keluar. Tapi seketika gerakannya terhenti.

Ingrid sudah berada di luar mobilnya. Hanya saja, gadis itu tidak sendirian. Sebelum meninggalkan mobil, gadis itu bercakap sejenak dengan seorang pemuda yang keluar dari balik kemudi. Pemuda tinggi tegap yang ia tak kenal. Keduanya terlihat sangat-sangat akrab.

“Ingrid banyak peminatnya, lho, Ken. Harus gerak cepat kamunya....”

Mendadak ucapan Lulu kemarin sore terngiang di telinganya. Seketika, Ken mendegut ludah.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)