Selasa, 04 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #4-2









Sebelumnya



* * *



Niatnya, sore ini Bimbim ingin mengajak Ingrid untuk menemaninya keluar membeli kado untuk keponakannya yang akan berulang tahun Sabtu depan. Karenanya, setelah mandi di kantor kecil mereka, ia ikut Ernest pulang ke rumah sahabatnya itu.

Tapi....

Bimbim menghela napas panjang. Baru saja, di jalan, mereka berpapasan dengan Ingrid yang tengah berjalan kaki bersama Endra. Segera saja perasaan kalah memenuhi hatinya.

Hubungan tanpa status.... Ia meringis dalam hati. Mau sampai kapan?

Ingrid sepertinya masih bertahan menjaga jarak dengannya. Akrab, tapi seperlunya. Dekat, tapi tetap sangat terbatas. Ia tidak tahu apakah seperti itu juga hubungan Ingrid dengan Endra.

Ia pernah beberapa kali berhasil mengajak Ingrid jalan ke luar. Nonton, makan, jalan-jalan seperlunya, dan sejenis itu. Ingrid dan Endra? Ia tidak tahu. Tapi sudah jelas bahwa sore ini Ingrid mau keluar dengan Endra walaupun hanya sekadar jajan di taman dekat rumah.

“Lu tunggu saja.”

Sebuah tepukan mampir di bahunya. Ia tersentak dan menoleh. Ernest menjatuhkan diri di sofa tunggal di dekatnya.

“Paling-paling dia nggak lama perginya,” lanjut Ernest.

Bimbim mengangguk. Pasrah.

“Minggu depan gue mau ajak Sierra nengok-nengok anak-anak kita,” gumam Ernest. Ia dan Bimbim selalu menggunakan istilah ‘anak-anak’ untuk menyebut semua food truck dan kafe yang mereka miliki. “Dia sudah setuju, sih. Jadi, lu bisa libur. Biar ‘anak-anak’ gue dan Sierra yang urus.”

“Kuliah lu?”

“Lagi rada senggang. Semua tugas sudah gue masukin.”

Bimbim manggut-manggut. Ia meraih cangkir berisi teh yang sudah disediakan Lami sejak tadi. Menyesapnya sedikit, sebelum mengembalikannya ke atas meja.

“Saran gue, kalau lu memang benar-benar serius sama Ingrid, lu ngomong secepatnya,” usik Ernest tiba-tiba.

Bimbim terdiam.

“Tapi kalau lu memang nggak serius, ya--,” Ernest mengedikkan bahu, “—terserah lu, deh.”

Bimbim masih terdiam. Berpikir.

Serius dengan Ingrid?

Tentu saja ia ingin serius membina hubungan yang lebih dekat dengan Ingrid. Ia menyukai adik bungsu Ernest itu. Tak sekadar menyukai, tapi lebih dari itu. Cinta. Mungkin itu namanya. Yang jelas, ia merasa damai dan nyaman tiap kali berdekatan dengan Ingrid. Damai setiap kali menatap wajah teduh Ingrid. Nyaman karena merasa tak perlu jaim lagi di depan Ingrid. Bukankah mereka sudah cukup lama saling mengenal?

Tapi ‘nembak’ Ingrid?

Tanpa sadar, tatapannya jatuh pada motor matik miliknya yang parkir tepat di depan pintu garasi. Di depan moncong sebuah mobil crossover mulus generasi terbaru milik Endra.

Kasihan Ingrid kalau ‘jatuhnya’ jadian sama aku.

Mendadak ia meringis dalam hati. Mendapati bahwa pikirannya sudah terlalu jauh.

Ngomong saja belum, sudah berandai-andai jadian!

Ia memaksa diri untuk keluar dari pikirannya tentang Ingrid ketika Ernest mengajaknya mengobrol tentang ‘anak-anak’ mereka. Di tengah-tengah asyiknya diskusi mereka, Ingrid muncul dengan Endra membuntuti di belakangnya. Ia sempat merasakan genggaman Endra yang kukuh ketika mereka berjabat tangan. Ia pun membalasnya dengan kekuatan serupa. Sebelum mereka sempat membuka obrolan, Endra sudah lebih dulu berpamitan. Entah kenapa, Bimbim merasa lega karenanya.

“Nih, dim sumnya,” Ingrid meletakkan kantong plastik yang sedari tadi ditentengnya di atas meja, kemudian menjatuhkan diri di sebelah Bimbim yang duduk di sofa panjang.

Ernest segera meraih dan membukanya salah satu kotak. Matanya berbinar melihat beberapa dim sum ukuran mini yang cukup lengkap jenisnya dalam kotak kertas itu. Disodorkannya kotak yang satunya pada Bimbim.

“Ini Endra yang beliin?” celetuk Ernest.

“Enggak,” Ingrid menggeleng tegas. “Iya, sih, tadi dia mau bayarin. Tapi aku tolak. Dia juga nggak maksa.”

“Nanti ganti duitnya minta Bimbim, ya,” Ernest tergelak. “Dia yang dari siang ingin dim sum.”

Seketika Bimbim nyengir. Ingrid tergelak melihatnya. Ia kemudian mencomot sebuah mini pao dari kotak yang dipegang Bimbim. Pemuda itu segera menyodorkan kotaknya pada Ingrid.

“Nih, ambil lagi,” ujarnya.

“Kamu itu sukanya ngerusuhin orang makan, In,” gerutu Ernest.

“Biarin napa, sih?” bela Bimbim. “Ini dia juga yang beli.”

Ingrid tergelak ringan, sambil tangannya kembali mencomot dari dalam kotak Bimbim. Kali ini korbannya adalah sebuah har gow.

“Ini jadi, Ingrid mau kamu ajak keluar?” tanya Ernest tiba-tiba.

Bimbim dan Ingrid mendadak saja saling menatap. Ada tanya melompat keluar dari mata Ingrid.

“Ya, kalau Inggrid-nya mau,” ujar Bimbim.

“Mau ke mana?” celetuk Ingrid.

“Mm.... Mau aku minta kamu temenin cari kado buat keponakanku,” jawab Bimbim dengan suara ragu. “Tapi itu kalau kamu mau, sih.”

“Wah, boleh!”

Jawaban spontan Ingrid membuat Bimbim ternganga sejenak. Ditatapnya Ingrid dengan sorot mata tak percaya. Ketika Ingrid balas menatap dengan mata berbinar, Bimbim segera tersadar.

“Eh, tapi kamu nggak lagi sibuk?” tanyanya.

Ingrid menggeleng dengan wajah polos.

“Suntuk, tahu, ngerjain revisi,” jawabnya kemudian, dengan nada aleman.

Bimbim terkekeh mendengarnya. Rencana mereka tertunda sejenak karena Flora – ibu si kembar tiga dan Ingrid – baru pulang dari kegiatan mengurus bisnisnya. Diikuti dengan Bian yang juga muncul tak lama kemudian bersama Erwin. Setelah sejenak mengobrol, dengan seizin Flora dan Bian, Bimbim pun mengajak Ingrid berangkat.

Ingrid menghilang sejenak ke dalam untuk mengambil jaket dan helm. Ketika gadis itu muncul, Bimbim sudah membalik arah motornya menghadap pintu pagar yang masih terbuka lebar. Sebelum Ingrid naik ke boncengan, Bimbim memutar badan ke belakang.

“Kamu nggak apa-apa naik motor?” tanyanya.

“Kenapa memangnya?” Ingrid malah balik bertanya.

“Kalau kamu mau pakai mobil, kita ke rumahku dulu, biar aku pinjam mobil Mama atau Papa.”

“Halah! Ribet amat?” Ingrid tergelak sambil nemplok ke boncengan motor Bimbim. “Tarik, Mang!” serunya kemudian, sambil memakai dan mengancingkan helm.

Bimbim tersenyum lebar sembari menyalakan mesin motornya. Beberapa detik kemudian, motor berwarna hitam itu sudah meluncur keluar dari carport.

“Kita mau cari kado ke mana, Mas?” tanya Ingrid, sedikit berseru dari belakang punggung Bimbim.

“Gimana kalau ke Kerajaan Mainan?” Bimbim menyebutkan nama sebuah toko besar khusus menjual mainan yang ada di plot niaga di bagian depan kompleks.

“Oh, oke!” seru Ingrid lagi. “Ngomong-ngomong, memangnya Mas Bim sudah punya keponakan?”

“Anak sepupuku itu....”

“Oh.... Cowok? Cewek? Ultah ke berapa?”

“Cewek, mau ultah ketiga.”

“Suka boneka, nggak?”

“Kayaknya suka, sih. Anaknya girly banget.”

“Sip! Nanti aku pilihkan.”

Bimbim kembali tersenyum saat mendengar nada antusias dalam suara Ingrid. Perjalanan mereka tak jauh. Beberapa menit kemudian sudah sampai di area parkir Kerajaan Mainan.

Toko luas yang terang benderang itu memang layaknya kerajaan mainan bagi anak-anak. Jangankan anak-anak, Ingrid saja yang hampir jadi mantan mahasiswi langsung bermata hijau melihat deretan boneka aneka bentuk dan warna yang semua terlihat imut di matanya. Segera saja ia sibuk memilih-milih. Sampai akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah boneka My Melody dan sebuah beruang teddy gendut berwarna merah muda dengan pita merah tersimpul manis di leher. Ditunjukkannya kedua boneka itu kepada Bimbim.

“Ini? Pilih yang mana?”

Bimbim menatap bergantian dua boneka di tangan kanan dan kiri Ingrid. Ia terlihat menimbang-nimbang.

“Mm.... Kamu lebih suka yang mana?” ia kemudian malah balik bertanya.

“Yang ini, sih,” Ingrid menyodorkan beruang teddy merah muda di tangan kanannya. “Lucu, imut banget.”

“Oke, kita ambil yang itu,” Bimbim justru menunjuk My Melody di tangan kiri Ingrid.

“Lho...,” gadis itu ternganga.

Bimbim mengulum senyum. Ditatapnya Ingrid lekat-lekat. Membuat Ingrid diam-diam salah tingkah.

“Kamu suka teddy bear-nya, kan?” tegasnya.

Ingrid mengangguk dengan wajah masih terlihat bingung.

“Nah, makanya, yang itu—,” Bimbim kembali menunjuk My Melody, “—buat Zora. Teddy bear-nya buat kamu.”

Ingrid kembali ternganga. Senyum Bimbim melebar. Diambilalihnya kedua boneka itu dari tangan Ingrid.

“Ayo! Kita bayar dulu,” Bimbim beranjak.

“Tapi...,” Ingrid berlari mengejar Bimbim.

“Apa?” Bimbim mendadak berhenti. Ingrid hampir saja menabraknya. “Atau kamu masih mau pilih yang lain? Ya, sudah, pilih saja dulu.”

“Bukan itu. Aduh...,” Ingrid tampak kesulitan mengeluarkan apa yang ada dalam pikirannya.

Bimbim masih menatapnya dengan sabar. Ingrid benar-benar kehilangan kata. Bimbim kembali tersenyum. Menyadarkan Ingrid.

“Jadi..., aku dibelikan boneka juga?” ia kemudian tersipu.

“Iya,” tegas Bimbim. “Apa pun yang kamu suka.”

“Mm.... Iya, aku suka itu,” Ingrid menunjuk beruang teddy di tangan Bimbim. “Awww.... Makasih banyaaak....”

Jantung Bimbim serasa berlompatan dengan liar dalam dada begitu melihat betapa manisnya ekspresi wajah Ingrid. Polos, menggemaskan, sedikit aleman. Selama beberapa detik lamanya mereka masih berdiri berhadapan di lorong antara dua buah rak tinggi berisi deretan ratusan boneka. Sampai Bimbim tersadar dan mengajak Ingrid berlalu dari situ, menuju ke kasir. Di ujung lorong, keduanya berpapasan dengan seorang pramuniaga.

“Mau ambil yang itu, Mas?” sapa pramuniaga itu dengan ramah.

“Iya,” angguk Bimbim.

“Mau diisi suara, nggak?”

“Maksudnya?” Bimbim mengerutkan kening.

Pramuniaga itu kemudian menjelaskan bahwa boneka dengan bentuk yang sama bisa diisi dengan aneka jenis ­­chip suara. Bimbim bertatapan sejenak dengan Ingrid.

“Kayaknya lebih lucu,” bisik Ingrid.

Bimbim pun menyetujuinya. Keduanya kemudian mengikuti langkah pramuniaga itu ke sebuah sudut yang penuh dengan badan boneka yang belum diisi dacron polyester. Setelah mencocokkan label, pramuniaga itu mengambil sebuah badan beruang teddy berwarna merah muda dan My Melody, dan menyerahkannya pada Bimbim dan Ingrid.

“Dicek dulu, Mbak, Mas,” ucapnya.

Ingrid kemudian memeriksa boneka-boneka itu dengan teliti. Jahitannya, simetrinya, hiasannya. Setelah semua dirasa oke, diserahkannya kembali boneka itu pada pramuniaga.

Chip­­-nya mau yang mana?" pramuniaga itu mengajak Bimbim dan Ingrid ke deretan laci berdinding bening dengan deretan aneka label yang tertempel di masing-masing anak laci. Ada contoh suara juga di sana.

Setelah meneliti label-label itu dan mencoba beberapa suara, Ingrid menoleh pada Bimbim.

“Yang paling lucu ‘I miss you’ sama ‘I love you’,” Ingrid tersenyum lebar.

Bimbim pun mengangguk dan memutuskan untuk memilih sesuai yang diinginkan Ingrid. Dengan cekatan, pramuniaga itu kemudian mengisi badan kedua boneka itu dengan dacron polyester melalui mesin tembak, memasang chip suara di bagian dada boneka, dan mencoba untuk menekannya dari luar sebelum merapikan kembali celah yang dipakai untuk memasukkan dacron. Setelah selesai, ia menyerahkan kedua boneka itu kepada Ingrid. Bimbim dan Ingrid beranjak setelah mengucapkan terima kasih kepada pramuniaga itu.

Ingrid memeluk beruang teddynya. Karena senang dengan boneka imut itu, Ingrid pun menciumnya dengan gemas. Semua itu tak luput dari pandangan Bimbim. Diam-diam ia mengulum senyum. Rasanya bahagia sekali ia sudah berhasil membuat Ingrid senang.

Di luar, saat hendak pulang, sebelum naik ke motornya, Bimbim menatap Ingrid yang tengah memakai helmnya. Ketika mendapati Bimbim tengah menatapnya, Ingrid pun menghentikan gerakan tangannya. Ia balas menatap Bimbim. Sorot matanya melontarkan pertanyaan.

“In, aku sayang sama kamu. Mau nggak, kamu jadi kekasihku?” bisik Bimbim tiba-tiba.

Seketika, Ingrid ternganga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)