Jumat, 15 Februari 2019

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #16-1









Sebelumnya



* * *


Enam Belas


Setelah berpikir panjang, Maxi memutuskan untuk memakai mobil barunya untuk pergi ke rumah Pingkan. Apalagi sejak dini hari hujan kembali tercurah dari langit. Hanya berhenti saja selama beberapa jam semalam.

“Ecieee ... Yang punya mobil baruuu ...,” ledek Mela, ketika Maxi muncul di ruang makan untuk menikmati sarapan.

Maxi hanya meringis tak jelas. Dikacaukannya rambut di puncak kepala Mela, membuat gadis itu bersungut-sungut. Maxi duduk di sebelahnya.

“Mau ke rumah Keke?” tanya Arlena sembari menyodorkan sebuah piring.

“Iya.” Maxi mengangguk. “Sama sekalian ngomongin soal transfer dan mobil.”

Prima menatap Maxi. Terlihat menimbang-nimbang sesuatu. Sampai akhirnya ia buka suara.

“Kalau kamu memang kurang berkenan, kembalikan saja,” ucap Prima dengan nada rendah. “Tapi pertimbangkan juga ketulusan Pak Harvey.”

Maxi menghela napas panjang. Ia batal memasukkan suapan pertama ke dalam mulut. Balik ditatapnya sang ayah.

“Kalau misalnya Papa ada di posisi Om Harvey, lantas Luzar--,” sekilas Maxi menatap Mela, “--melakukan hal yang sama kayak aku, apakah Papa akan melakukan hal yang sama?”

“Ya.” Tanpa ragu Prima mengangguk. “Meskipun penghargaan dan ucapan terima kasih tak harus berupa uang atau barang berharga, tapi Papa pikir Papa akan melakukan hal yang sama. Setelah apa yang Luzar lakukan untuk Mela dan perusahaan, Papa rasa Luzar berhak atas sebagian uang yang bisa dihemat itu. Dan, si Luzar ini kemungkinan besar juga butuh mobil biar tidak terlalu sering kehujanan kalau pulang ke indekos atau rumah.” Prima tersenyum.

Maxi tercenung sejenak, sebelum kembali menatap ayahnya.

“Dan, seandainya Luzar menerima saja pemberian Papa itu, apakah Papa beranggapan bahwa dia murahan?”

“Tentu saja tidak,” jawab Prima cepat. “Tapi untuk lebih pastinya, kenapa kamu tidak bicarakan saja secara terbuka dengan Pak Harvey?” Prima mengangkat alis, melebarkan mata. “Supaya nggak ada lagi ganjalan.’

Maxi pun akhirnya mengangguk.

Beberapa belas menit kemudian Maxi, menjelang pukul sembilan pagi, Maxi meluncurkan mobil barunya yang masih berplat putih itu ke rumah Pingkan. Ketika baru saja berbelok keluar dari gerbang kompleks, matanya tertumbuk pada plang besar di pinggir jalan. Plang besar toko bunga yang sudah tak asing lagi baginya, karena pemiliknya adalah sahabat Livi. Maka, ia pun membelokkan mobilnya ke kiri, masuk ke area parkir deretan ruko. Dihentikannya mobil tepat di bawah kanopi toko bunga itu.

“Hai, Max!” sapa Imelda sambil melambaikan tangan. “Tumben mampir?”

Maxi tersenyum lebar sambil menjabat tangan salah seorang sahabat kakaknya itu.

“Kak, boleh, dong, aku dirangkaikan buket mawar merah,” ujar Maxi.

“Mawar merah tanda cinta?” Imelda mengerling jenaka.

Maxi tertawa. Imelda kemudian menawarkan beberapa pilihan buket bunga mawar merah. Setelah menimbang-nimbang, Maxi akhirnya memilih paket buket tiga puluh kuntum mawar segar.

“Tunggu sebentar, ya, Max. Aku rangkaikan dulu. Yuk, duduk di sana.” Imelda menunjuk kursi di depan meja besarnya di sudut.

Maxi pun menurut. Ia menyaksikan sendiri betapa cekatannya Imelda merangkai mawar-mawar merah segar yang masih setengah kuncup. Rangkaian itu dipermanis dengan selipan-selipan bunga alyssum putih mungil dan helai-helai dedaunan hijau yang Maxi tak tahu namanya. Sepuluh menit kemudian buket bunga itu pun siap.

Imelda sempat tak mau menerima pembayaran dari Maxi. Tapi akhirnya ia mengalah juga, setelah Maxi mengancam, “Besok-besok aku nggak ke sini lagi, lho, Kak!”

Maka, dengan wajah cerah, Maxi membawa buket itu keluar dari toko dengan kedua tangannya. Persis seperti seorang ayah menggendong bayinya. Masih di bawah siraman hujan, Maxi menghentikan mobilnya lagi di ruko depan kompleks tempat Pingkan tinggal. Mampir ke sebuah minimarket untuk membeli sekotak besar es krim kesukaan Pingkan.

* * *

“Keke demam, Max,” ujar Sonia. Menggelengkan kepala. “Habis hujan-hujanan semalam.”

Maxi sempat terbengong sejenak.

“Hujan-hujanan di mana, Tan?” tanyanya setelah tersadar.

“Di taman samping.” Sonia tersenyum lebar. “Setelah sekian lama, entah kenapa dia mau hujan-hujanan lagi. Sedih, sih, lihat dia demam begitu. Tapi senang juga karena dia sudah mau ketemu lagi sama hujan.”

“Sudah dibawa ke dokter, Tan?”

“Sudah.” Sonia mengangguk. “Tadi pagi-pagi sudah Tante panggil omnya ke sini, adik Tante. Katanya, sih, nggak apa-apa. Cuma kaget saja badan si Keke.”

Maxi menghela napas lega. Sejenak kemudian, ia teringat kantung yang ditentengnya. Diserahkannya kantung itu pada Sonia.

“Telanjur saya belikan es krim, Tan,” gumamnya.

Sonia tertawa. Diterimanya kantung itu dari tangan Maxi.

“Sini, Tante simpan di freezer. Paling-paling, nanti sore juga habis ini es krim.”

Mereka sudah sampai di depan kamar Pingkan. Sonia membuka pintu pelan-pelan. Tapi Pingkan terlihat tengah tertidur lelap. Maxi tak tega membangunkannya.

“Pulas banget boboknya, Tan,” bisiknya.

“Ya, gitu, deh.” Sonia balas berbisik.

“Ya, sudah, biar dia bobok dulu. Saya taruh ini saja.”

Maxi kemudian melangkah tanpa suara untuk meletakkan buket bunga di meja tulis Pingkan. Sempat tersenyum samar ketika melihat cincin persembahannya kemarin masih melingkar indah di jari manis tangan kiri Pingkan. Setelah mengelus lembut kepala Pingkan, ia pun keluar lagi. Sonia masih menunggu di depan pintu.

“Tan, Om ada?” tanyanya lirih.

“Ada.” Sonia mengangguk. “Masih mandi, kayaknya. Mau ketemu?’

Maxi mengangguk.

“Tunggu dulu, ya, Max. Tante panggil Om dulu.”

Maxi kembali mengangguk, kemudian duduk di dalah satu sofa di ruang keluarga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)