Kamis, 28 Februari 2019

[Cerbung] Bias Renjana #2









Sebelumnya



* * *


Bias Resah


Banyak sekali yang melepas kepergian Riza hingga ke pemakaman. Keluarga besar kampus tempatnya mengajar, keluarga besar Coffee Storage, para kerabat dan tetangga, teman-teman Angie, dan masih banyak lagi. Di balik kesederhanaannya, terlihat sekali bahwa seorang Riza Hakim adalah seorang yang cukup besar namanya. Kepergiannya yang cukup tiba-tiba tentu saja membuat istri dan putri tunggalnya terpukul, para koleganya bersedih, dan banyak orang merasa kehilangan.

Olivia nyaris tidak beranjak sedikit pun dari sisi Sandra sejak ia datang ke rumah sakit. Hanya menghilang sejenak saat harus membersihkan diri. Itu pun dilakukannya di kantor Coffee Storage untuk menghemat waktu, dengan ibunya sendiri yang mengantar semua keperluannya dari rumah ke sana.

Pun James. Hanya saja ia berusaha untuk membuat dirinya tak terlihat. Membantu dan melakukan apa pun yang ia bisa dalam hening, bersama Luken. Ia juga yang menutup seluruh biaya perawatan dan pemulangan jenazah Riza. Bahkan hingga menyelesaikan urusan penyediaan minuman dan makanan ringan untuk para tamu. Menolak ketika Luken bermaksud untuk urun biaya.

“Katakan saja kantor yang menyelesaikannya,” bisiknya kepada Luken.

Sang keponakan memilih untuk mengalah dan mengangguk.

* * *

James baru mengundurkan diri setelah hari ketiga berlalu. Sandra dan Angie sudah tampak lebih tenang menerima kepergian Riza. Tampak lebih ikhlas dan tegar.

“Jangan pernah segan hubungi Om, Mas Luken, atau Mbak Livi kalau kamu butuh sesuatu.” James sempat membisikkan kalimat itu saat berpamitan. “Ingat, ya? Jangan pernah segan.”

Angie mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga didapatkannya dari Sandra ketika ia menyalami perempuan itu. Sandra memang hanya bisa mengucapkan kata ‘terima kasih’, tapi sorot matanya sudah mengungkapkan banyak hal. Seutuhnya James bisa menangkap semua itu.

“Tetap tegar, ya,” ucapnya lirih. “Aku percaya Pak Riza akan tetap menjagamu dan Angie dari Surga. Kalau ada apa-apa, hubungi saja Luken atau Livi. Langsung padaku juga boleh. Jangan pernah segan.”

Sandra hanya bisa mengangguk-angguk tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Beberapa belas detik kemudian mobil James meluncur meninggalkan rumah Sandra, membelah pekatnya malam menjelang pukul setengah sepuluh. Berkali-kali dihelanya napas panjang untuk sekadar melegakan rasa sesak dalam dada. Tapi rasa itu menetap. Belum juga mau pergi.

* * *

Keesokan harinya James kembali kepada kesibukan mempersiapkan usaha barunya. Tapi mendung masih juga menyelimuti wajahnya ketika muncul di Coffee Storage menjelang istirahat makan siang.

“Istirahatlah dulu, Om,” ujar Luken, menatap sekilas sang paman sebelum kembali asyik dengan laptopnya di meja Sandra.

James menjatuhkan diri di kursi depan meja Olivia. Gadis itu tengah asyik mencari berkas di lemari arsip. Sejenak kemudian Olivia kembali. Menatap James dengan prihatin.

“Bapak mau minum apa?” tanya Olivia, halus.

“Jus kecubung, ada?” James mencoba untuk melucu, dengan wajah lempeng.

Luken tertawa lebar mendengarnya, sementara itu Olivia tersenyum sambil mengangkat gagang telepon. Dipesannya tiga gelas es jeruk manis dari pantry. Ia cukup tahu minuman kesukaan James. Beberapa menit kemudian, minuman itu sudah muncul di lantai atas. Disertai sebuah kotak berisi aneka kue basah.

“Beli kue di mana, Mas Soleh?” tanya Olivia ketika membantu OB menghidangkan isi nampan.

“Ekstra dari katering, Mbak. Baru saja dikirim.”

“Wah! Buatan timnya Bu Min, nih!” mata Luken langsung berbinar melihat isi kotak itu.

Tangannya langsung mencomot sepotong lemper ayam terbungkus daun pisang segar.

“Sekalian saja bawa makan siangnya ke sini, Leh,” ucapnya dengan mulut penuh.

“Baik, Pak.”

Sedikit demi sedikit, perhatian James teralih dari urusan Sandra ke urusannya sendiri. Apalagi ketika Luken mulai membahas bakal kedai milik James. Sedikit demi sedikit, awan kelabu mulai menyingkir dari wajah laki-laki itu. Walaupun belum sepenuhnya.

* * *

“Saya merasa seperti orang yang tidak berguna, Bu,” keluh James sambil menghenyakkan punggungnya pada sandaran sofa sederhana di ruang tamu Minarti.

Entah angin apa yang membawa kabur isi benaknya. Tiba-tiba saja sekeluarnya ia dari kantor Luken, ia mengarahkan mobilnya ke daerah ini. Parkir di depan sebuah minimarket, berbelanja sedikit buah tangan, kemudian menentengnya masuk ke gang di sebelah minimarket.

Ia sendiri terkejut ketika pintu di depannya terbuka, dan seraut wajah teduh menyembul dari dalam rumah sangat sederhana itu. Baru ia tersadar bahwa ia sendirilah yang sudah mengetuk pintu rumah Minarti. Sedikit linglung ketika perempuan berusia awal lima puluhan itu membuka pintu lebih lebar dan menyuruhnya masuk.

Minarti adalah bibi Olivia. Dikenalnya saat ia beberapa hari lamanya menggantikan Luken mengendalikan Coffee Storage, saat Luken harus melakukan perjalanan  bisnis ke luar negeri.

Ketika harus menjamu tamu yang datang mengunjungi Coffee Storage, Olivia menyediakan berbagai kue basah khas Nusantara sebagai kudapan. Belakangan saat tamu sudah pulang, James tahu bahwa kue-kue lezat itu adalah buatan tangan seorang perempuan bernama Minarti, bibinya sendiri.

Saat ada tamu berikutnya datang, dan kejadian berulang karena Olivia kembali menyuguhkan kue-kue buatan Minarti, timbul ide di kepala James untuk membuat semacam kafe yang menyuguhkan aneka jajanan Nusantara dan juga aneka kopi lokal yang bisa diambilnya dari Coffee Storage. Sekalian jadi semacam etalase mini dan juga ajang icip-icip aneka jenis kopi lokal Indonesia bagi calon klien yang berminat menjadi rekanan dalan bidang ekspor-impor kopi.

“Kenapa, Pak James?” tanya Minarti halus sambil menghidangkan segelas air putih dingin dan semangkuk besar potongan semangka siap makan. Cocok sekali untuk menangkal gerahnya udara pukul tiga menjelang sore. “Kelihatannya Pak James tidak seperti biasanya?”

James mengerjapkan mata. Menatap Minarti dengan ekspresi tanpa daya.

“Saya tidak tahu harus mulai dari mana,” wajah James tampak memelas. “Bahkan saya tidak tahu apa yang sebenarnya saya inginkan.”

Minarti duduk di sofa lain yang ada di seberang James. Keduanya kini duduk berhadapan, berbataskan meja pendek.

“Coba kita urai dari awal, sambil Pak James menikmati semangka dingin ini.”

James mengangguk sambil meraih piring kecil kosong yang dilengkapi garpu di atas meja. Dipindahkannya beberapa potong semangka dari mangkuk besar ke dalam piring itu. Potongan demi potongan semangka segar kemudian meluncur masuk ke kerongkongan, disertai curahan hatinya. Tentang Sandra, masa lalu, dan apa yang baru saja beberapa hari lalu dialami Sandra. Minarti mendengarkannya baik-baik. Penuh perhatian.

“Seharusnya saya senang, kan?” James mengerjapkan mata. “Laki-laki itu sudah pergi dari kehidupan Sandra. Tak akan pernah kembali lagi. Tapi entahlah,” James mengedikkan bahu. “Saya justru merasakan kesedihan yang luar biasa. Sedih karena melihat Sandra sedemikian patah hati. Sedih karena melihat ada seorang gadis muda yang kehilangan sosok seorang ayah yang sangat menyayangi dan disayanginya. Sama sekali tak ada ruang di hati saya untuk sepotong kecil perasaan senang. Sedikit pun tak ada.” James menggelengkan kepala.

Minarti masih duduk diam. Menunggu kelanjutannya. Tapi rupanya James sudah tak punya rangkaian kata lagi untuk diucapkan. Samar, dihelanya napas panjang. Ditatapnya James. Dengan sorot mata teduh seperti biasanya.

“Pak James sudah merasa sedikit lega sekarang?”

Sejenak James terhenyak. Ucapan Minarti menyadarkannya. Dadanya sudah tak lagi seolah ditekan beban ratusan ton. Masih sedikit sesak, tapi tak lagi sepepat sebelumnya. Dihelanya napas panjang. Ia balas menatap Minarti.

“Anehnya..., iya,” angguk James, jujur. “Terima kasih banyak, Bu. Terima kasih banyak.”

“Saya tidak melakukan apa-apa,” Minarti menggeleng sambil tersenyum. “Pak James sendiri yang sudah mengalirkan beban itu keluar dari hati Pak James.”

“Dan, Ibu sudah menyediakan diri untuk jadi tempat sampah,” timpal James. “Maafkan saya, Bu. Entah apa yang membuat saya bisa sampai ke sini ini tadi.” James menggeleng. “Terima kasih karena Ibu sudah bersedia mendengarkan saya.”

“Sama-sama, Pak James,” angguk Minarti, masih dengan senyumnya. “Saya juga berterima kasih, karena Pak James sudah memercayai saya.”

“Ibu memang pantas untuk dipercaya,” James bisa mengulas senyum kini. “Oh, ya, kedai kita hampir siap, Bu. Tinggal menunggu pendingin bahan makanan datang besok. Ibu sudah bisa membuat daftar belanja bahan mentah untuk stok. Yang awet, bisa kita beli dulu.”

“Wah, sebetulnya saya ingin melihatnya!” Mata Minarti tampak berbinar. “Kapan bisa ke sana, ya?”

“Besok? Bisa saya jemput.”

Minarti mengerutkan kening, Tampak berpikir.

“Selesai mengerjakan katering kantor Luken, pukul berapa?” tanya James.

“Biasanya pukul sepuluh sudah siap diambil adik atau mamanya Livi, Pak.”

“Ya, sudah, saya jemput saja Ibu sebelum pukul sepuluh besok. Sekalian angkut katering. Bagaimana?”

“Hm... Gitu, ya?” Minarti manggut-manggut. “Boleh, Pak. Boleh....”

James mengangguk puas. Rupanya, kedatangannya ke rumah sederhana ini ada gunanya juga.

Tak sekadar ada gunanya, tapi besar sekali gunanya! James meralat dalam hati.

Sambil menghabiskan sisa semangka, mereka masih bercakap lagi tentang berbagai hal. Terutama tentang kedai kopi milik James.

James sudah lama jatuh cinta kepada masakan Minarti. Setelah aneka kue lezat untuk menjamu tamu bisnis, ada lagi kasus katering beracun yang membuat Coffee Storage nyaris lumpuh selama berhari-hari. Hal itu membuat Luken mengambil langkah drastis dengan mengganti pemasok makan siang kantor. Pilihannya jatuh kepada Minarti, yang semula memiliki warung nasi uduk kecil di depan rumah. Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Bahkan sangat memuaskan hingga kini.

Hal itulah yang membuat James kepincut dan menggandeng Minarti sebagai rekanan membuka kedai kopi. Minarti didapuk-nya menjadi kepala koki. Dan, setelah melalui pertimbangan panjang, Minarti pun bersedia. Membuat James lebih bersemangat lagi mengurus pembukaan kedai kopinya.

Sayangnya obrolan asyik itu harus terputus karena Minarti kedatangan tamu lainnya. Seorang pemesan nasi box. James pun tahu diri dan segera berpamitan.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.