Sebelumnya
* * *
Bias Renjana
Satu
James menjatuhkan diri di kursi yang ada di sudut pantry. Umur memang tidak bisa bohong. Pada usianya yang sudah lewat dari setengah abad, tentu kebugarannya sudah jauh berkurang dibandingkan 10-20 tahun lalu.
Pembukaan Kedai Kopi Om James berhasil dilampauinya dengan baik pada hari Sabtu itu. Sejak siang hingga menjelang sore, para tamu undangan tampak puas menikmati semua sajian yang ada di kedainya. Hanya beberapa saja yang menyatakan diri tidak bisa hadir karena ada acara lain. Bisa dihitung dengan sebelah jari tangan. Bahkan, Sandra pun menyempatkan diri untuk datang bersama Angie.
Memulai usaha baru pada usia yang tak lagi muda cukup menguras tenaga. Membuatnya letih, baik fisik maupun mental. Tapi melihat masa depan kedai itu, keletihan James digantikan rasa optimis. Apalagi pujian mengalir dari bibir para tamu undangan. Menu rumahan hasil racikan Minarti dan timnya berhasil ‘naik kelas’ dengan nilai nyaris sempurna.
Laki-laki itu sedikit tersentak ketika sebuah mug tersodor ke hadapannya. Aromanya harum. Khas wedang jahe segar. Ia mendongak sambil menerima mug itu.
“Wah, makasih banyak, Bu Min,” ucapnya dengan wajah kembali diliputi semangat.
Minarti duduk di kursi lain, di seberang James, berbataskan meja kecil. Tanpa suara ia meletakkan sebuah mug berisi teh hijau di depannya. Wajahnya tampak letih, tapi penuh dengan binar yang James sendiri takjub melihatnya.
“Capek, Bu Min?” James tersenyum. Tapi segera meralat pertanyaannya itu. “Ah, tentu saja capek. Kita semua capek. Pertanyaan bodoh.”
Minarti tertawa ringan sembari mengangkat mug teh hijaunya. Disesapnya sedikit teh hijau itu. Ditatapnya James.
“Saya khawatir masakan saya terasa kacau di lidah para tamu,” gumamnya.
“Ternyata?” James mengerling dengan wajah jenaka.
Minarti kembali tertawa. Ia menggeleng samar.
“Syukur kepada Tuhan...,” gumamnya lagi.
“Ayolah, Bu Min....” James menegakkan punggungnya. Kedua sikunya kini bertumpu di tepi meja, dengan tangan terlipat di depan dada. “Masakan Bu Min itu pokoknya jos gandos!” James mengacungkan jempol. “Belum tersentuh aroma industri, masih terasa rumahan sekali. Di situlah kekuatannya.”
“Tapi saya boros bumbu.” Minarti meringis sekilas. Terlihat sedikit tersipu.
James segera mengibaskan tangan kanannya ke udara.
“Apalah arti boros bumbu kalau pengunjung kedai merasa puas menikmati sajian di sini?” ujarnya dengan nada sangat membesarkan hati. “Tetaplah seperti itu, Bu. Jangan diubah lagi formulanya. Harga semua hasil racikan Bu Min di sini sudah saya hitung dengan memasukkan komponen boros bumbu.” James tersenyum lebar. “Jangan pernah merasa takut rugi.”
Minarti manggut-manggut.
Kesibukan di sekitar mereka perlahan menyurut. Seluruh kedai sudah dibersihkan dan siap untuk dibuka lagi esok hari. James menengok arlojinya.
“Wah, sudah hampir pukul tujuh,” gumamnya. “Ayo, pulang, Bu. Kerja keras kita baru akan dimulai besok dan seterusnya.”
Minarti pun mengangguk. James menghabiskan sisa wedang jahe dalam mugnya, dan memanggil Samuri, salah satu orang kepercayaannya. Samuri-lah yang dipercaya James untuk menjaga sekaligus bertanggung jawab atas kedai saat James dan Minarti tidak ada. Minarti pun segera menghabiskan teh hijau tawarnya. Beriringan dengan James, ia meninggalkan pantry.
“Lho!” Minarti tampak kaget ketika mendapati salah seorang keponakannya masih duduk di sudut ruang kedai yang sudah bersih. Secangkir kopi tampak terhidang di depan pemuda itu.
“Kamu masih di sini, Max?” Minarti bergegas mendekati pemuda itu. Maxi namanya.
Maxi menyambutnya dengan senyum lebar dan menjawab, “Disuruh Mama tunggu sampai Budhe selesai. Terus, anterin Budhe pulang.”
“Astaga....” Minarti menutup mulutnya dengan sebelah tangan. “Budhe, kan, bisa naik taksi, Max.”
“Lagian ada Om, kan, Max,” sahut James. “Pastilah Om antar budhe-mu pulang.”
“Ya....” Maxi menggaruk kepalanya. Meringis sekilas. “Gimana? Sudah telanjur ini....”
Minarti tertawa renyah. Digamitnya lengan kekar Maxi.
“Ya, sudah, kali ini antar Budhe pulang.” Ia kemudian menengok ke arah James. “Saya pulang dulu, ya, Pak James,” pamitnya. “Sampai ketemu lagi besok.”
“Besok pagi saya jemput pukul delapan, ya, Bu,” ucap James sebelum melepas Minarti pulang.
“Siap, Pak!”
Dan, Minarti pun berlalu bersama Maxi. James menatap dari balik kaca kedai hingga keduanya masuk ke dalam sebuah city car berwarna putih. Bahkan hingga mobil itu berlalu. Dihelanya napas panjang.
Padahal, aku mau mengajaknya makan malam....
James menggeleng samar.
* * *
Maxi mengantar Minarti hingga ke depan rumah. Merelakan mobil milik mamanya parkir di sebuah minimarket yang ada di sebelah gang. Ia menggeleng ketika Minarti menawarinya singgah.
“Aku langsung pulang saja, Budhe,” ujar Maxi. “Yang penting Budhe sudah selamat sampai di rumah.”
“Hati-hati di jalan, ya, Max,” pesan Minarti sebelum maxi berbalik.
Beberapa belas detik kemudian, Minarti sudah berada di dalam rumah. Menghempaskan diri di atas kursi rotan usang di ruang tamu yang sempit. Sambil bersandar, ia menatap berkeliling.
Apa yang salah dengan rumah ini?
Direbahkannya kepala ke belakang.
Setelah Navita menikah beberapa minggu lalu, rumah ini terasa kosong. Tentu saja putri tunggalnya itu segera diboyong oleh suaminya ke rumah pribadi. Rumah mungil berkonsep rumah tumbuh yang apik di sebuah kompleks kelas menengah. Letaknya tak jauh dari kampung ini.
Ia tentu saja merasa bahagia. Navita ‘naik kelas’, dari gadis kampung padat di pinggiran ibukota menjadi nyonya seorang manajer. Selain itu, karier Navita juga merambat naik menjadi sekretaris wakil direktur tempatnya bekerja selama beberapa tahun ini. Menjadi sekretaris pamannya sendiri. Adik ayahnya, ayah Maxi.
Gandhi, suami Navita, bukannya tak pernah memintanya untuk meninggalkan rumah ini. Laki-laki yang sudah tak lagi memiliki orang tua itu ingin sang ibu mertua tinggal bersamanya dan Navita. Ingin agar Minarti mengakhiri saja perjuangannya bergulat dengan kehidupan demi membuat Navita ‘jadi orang’. Sudah saatnya Minarti bersenang-senang. Tapi Minarti dengan kukuh menolak.
Ia mencintai rumah sempit itu. Rumah yang menjadi saksi perjuangannya membesarkan Navita. Rumah yang menyaksikan tumbuhnya Navita ‘jadi orang’. Di setiap milimeter dinding rumah itu tergores lembar-lembar kehidupan yang membuatnya bangga menjadi ibu dari seorang gadis bernama Navita.
Tentu saja ia memaklumi kenapa Navita dan Gandhi pulang lebih awal tadi dari Kedai Kopi Om James. Navita sedang ‘mabuk’ karena hamil muda.
“Nanti saya ke sini lagi, Bu. Jemput Ibu.”
Begitu ucap Gandhi sebelum berpamitan. Tapi Minarti menggeleng dan meminta agar Gandhi menemani Navita saja. Ia bisa pulang sendiri. Dan, ditimpali pula oleh James, bahwa laki-laki itu sendirilah yang akan mengantarkan Minarti pulang. Memastikan Minarti selamat hingga di rumah.
Ternyata Maxi yang mengantarku.
Minarti tersenyum sembari beranjak untuk membersihkan diri. Ia lelah? Ya. Tapi kelelahan itu sudah lama luruh. Digantikan oleh rasa optimis dan semangat yang menyala. Lagipula, meskipun pekerjaannya sekarang terlihat ‘besar’, tapi sesungguhnya jauh lebih ringan daripada biasanya.
Ia hanya tinggal tunjuk saja apa yang harus dikerjakan para asistennya, maka semua hal akan berjalan baik di bawah pengawasan ketatnya.
Perjuanganku mengantarkan Navita sudah selesai.
Ia mengedikkan bahu.
Tinggal menikmati saja hasil perjuangan itu.
Ia mengulum senyum.
Dan, beginilah caraku.
Ia masuk ke kamar mandi seraya berdendang lirih.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.