Senin, 18 Maret 2019

[Cerbung] Bias Renjana #7









Sebelumnya



* * *

Tiga


Menunggu Sandra menjanda?

James menggeleng tegas. Jangankan berpikir soal itu, membayangkannya pun ia sama sekali tak pernah. Kalaupun ia tampak seakan-akan tak lagi mau memalingkan hatinya kepada perempuan lain, itu karena ia hanya membiarkan kehidupannya mengalir begitu saja. Tidak ngoyo mencari pengganti Sandra.

Ia cukup realistis. Selalu berpikir bahwa Sandra sudah bahagia dengan pilihannya sendiri. Sama sekali tak ada keinginan hendak mengusiknya. Itulah salah satu alasannya untuk secepatnya menyerahkan pengelolaan Coffee Storage pada keponakannya. Alasan yang lain? Ia ingin mencoba hal baru. Sama halnya seperti ketika ia membuka Kedai Kopi Om James.

Saat ia memutuskan untuk meninggalkan Coffee Storage, ia mendapati bahwa dirinya sudah menemukan cinta yang lain. Cinta kepada setiap butir kopi yang bisa tergenggam oleh tangannya. Cinta kepada setiap aroma kopi yang mengelus hidungnya. Ia bisa menjauh dari Sandra, tapi tak bisa melepaskan kehidupannya dari kecantikan dan keharuman kopi.

Lantas, apa lagi yang kurang?

James menggeliat. Mengarahkan tatapan ke jendela. Mendapati bayang-bayang sinar matahari yang berusaha menerobos tenunan tirai. Pelan-pelan ia bangkit dari ranjang. Menyeret langkah ke jendela. Membuka tirai. Menemukan sinar hangat matahari Senin pagi yang belum terlalu tinggi. Pelan-pelan, James membuka jendela kamar setelah mematikan pendingin ruangan.

Dulu, rumah ini adalah rumahnya. Ketika ia menarik Luken ke Coffee Storage, diserahkannya rumah itu kepada Luken dan mendiang Irene. Lalu, ia menyingkir untuk mewujudkan mimpinya yang lain. Dan kini, ketika ia kembali ke Jakarta, Luken memaksanya untuk tinggal bersama.

“Ini, kan, masih rumah Om.” Begitu ucap Luken. ”Livi sudah memilih rumah untuk kami tinggali nanti. Daripada Om repot pindah-pindah lagi ke sini kalau aku sudah menikah dengan Livi, sudahlah, Om di sini saja.”

Rumah yang akan kembali kosong seperti dulu...

James menghela napas panjang.

Kesibukan selalu menjauhkannya dari rasa sepi. Tapi kesibukannya kali ini lain. Ia tak lagi terlalu banyak terjun menangani segala hal sendirian. Sudah ada orang-orang yang tepat di tempat yang tepat pula. Ia hanya tinggal mengawasi. Dan, karenanya kesepian itu kini kembali terasa, walaupun masih ada Luken di dekatnya.

Pada saat Sandra sudah sendirian pula.

James menggeleng samar.

Apakah...

* * *

“Saya tak pernah berpikir akan benar-benar bertemu dengannya lagi,” laki-laki tampan berpostur tinggi besar bernama Pandega Wirabumi Sagantara itu melirik perempuan yang duduk di sebelah kirinya. Luna Sasanti.

Mereka berempat duduk berhadapan di dalam sebuah bistro dengan suasana sangat nyaman dan hangatnya sampai ke hati. Bistro La Lune adalah milik Sagan yang dikelola oleh putrinya. Persembahan untuk cinta abadinya, Luna Sasanti. Bistro itu didirikan Sagan setelah pensiun dan menyerahkan kepemimpinan perusahaan kepada anak laki-lakinya. Sama seperti James, Sagan juga sosok yang tak bisa diam berpangku tangan.

Mendengar ucapan Sagan, perempuan ayu dengan helai-helai keperakan mulai bersemburat di rambutnya itu tampak tersipu. Tapi dengan jelas, Minarti menangkap atmosfer kasmaran berpendar di sekitar Sagan dan Luna.

CLBK..., guman Minarti dalam hati. Cinta Lama Belum Kelar. Minarti meringis sekilas.

“Tak apalah menunggunya sedikit lagi.” Sagan melanjutkan. Kali ini benar-benar mengalihkan seluruh tatapannya kepada Luna. “Luna ingin melewati dulu waktu seribu hari wafatnya mendiang suaminya. Barulah...,” Sagan kembali menatap kedua tamunya, mengedikkan bahu, dengan wajah terlihat sangat bercahaya.

Sejenak Minarti menyesali keputusannya untuk menerima ajakan James. Di tengah cerita masa lalu James, Sagan, dan Luna, ia benar-benar orang luar. Tentu saja dengan sedemikian lembutnya Luna bertanya tentang cerita kehidupan Minarti. Dan, ia hanya memberikan penuturan singkat, sama persis seperti yang selama ini diedarkan kepada orang-orang di sekitarnya.

“Seribu hari itu nggak lama, Pak James,” ujarnya saat mereka dalam perjalanan pulang.

James menengok sekilas ke arahnya. Tak langsung menanggapi. Sepertinya mengulum senyum.



Minarti menggeleng samar. Entah kenapa peristiwa dua hari lalu itu masih juga membayang di pelupuk matanya. Ia menguap. Meregangkan tubuh. Sudah hampir pukul delapan, tapi ia masih juga bermalasan di ranjang. Sesuai kesepakatannya dengan James, hari Senin adalah hari liburnya.

Dan, hari ini, ia sudah membuat janji dengan Arlena untuk sekadar menikmati waktu senggang bersama. Arlena adalah adik iparnya. Istri adik mendiang ayah Navita.

Benar saja, perempuan enerjik itu muncul menjelang pukul sembilan, tak lama setelah ia selesai mandi. Menjemputnya untuk keluar entah ke mana lagi hari ini.

* * *

“Bisa mencarikan aku kontrakan di daerah Tebet?” Minarti menatap Arlena.

Keduanya kini sedang menikmati makan siang di sebuah kafe yang ada di slot niaga di bagian depan kompleks perumahan tempat Arlena sekeluarga tinggal.

Yang ditatap balas menatap. Batal menyuapkan makanan ke dalam mulut.

“Yang dekat dengan kedai?” Arlena balik bertanya.

Minarti mengangguk.

“Sudah mulai muncul bisik-bisik tetangga,” gumamnya kemudian. “Aku malas mendengarnya.”

“Memangnya kenapa?” Arlena mengerutkan kening.

“Kan, dirimu sendiri tahu, Dik. Setiap hari Pak James mengantar dan menjemputku. Aku berangkat pagi, pulang malam. Aku sebenarnya bisa berangkat dan pulang sendiri, tapi Pak James bersikeras menjemput dan mengantar aku. Ya, aku tahu, sih, kedai cukup jauh dari rumah. Makanya aku ingin cari kontrakan saja yang lebih dekat ke kedai.”

“Oh..., gitu....” Arlena manggut-manggut. “Kalau indekos, mau, nggak?”

“Nggak apa-apa, sih.” Minarti mengangguk.

“Buru-buru, nggak?”

Minarti menggeleng. “Sesempatmu saja mencarikannya. Jangan jadi beban.”

“Ah, enggaklah, Mbak.” Dengan ringan, Arlena mengibaskan tangan kanannya. “Kalau Mbak sabar sedikit, aku bisa bereskan semuanya. Soalnya, aku baru saja ambil alih rumah indekos milik kenalanku. Dia lagi butuh uang untuk pengobatan suaminya. Makanya dia lepas rumah indekos itu. Ada di Tebet. Baru seminggu ini akad jual-belinya. Coba nanti aku carikan kamar kosong. Kayaknya ada. Indekos bagus, kok, itu. Kelas menengah ke atas.”

“Wah, aku kuat bayarnya apa enggak nanti?” Minarti menatap dengan sorot mata khawatir.

“Astaga, Mbaaak....” Arlena menaikkan alis dan membulatkan matanya. “Sama aku nggak usah bayar. Kayak sama orang lain saja.”

“Lha, bisnis, kan, tetap bisnis, Dik.

“Sudahlah.” Arlena kembali mengibaskan tangan. Tersenyum lebar. “Beneran, nggak usah bayar.”

Minarti tertawa dengan wajah masih terlihat ragu. Sejujurnya, ia segan bila tak boleh membayar fasilitas yang nantinya hendak ia gunakan. Tapi untuk saat ini, kelihatanyya itulah solusi terbaik.

“Sebentar, aku hubungi dulu pengurus rumah indekosku di Tebet,” ucap Arlena sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya.

Minarti mengangguk sambil meneguk es jeruknya.

Selama puluhan tahun tinggal di pemukiman rapat penduduk, ia sudah tahu betul bahwa jarum yang dijatuhkan di salah satu sudut kampung akan segera terdengar dentingnya di sudut lain yang terjauh. Begitu juga kondisinya sekarang. Apalagi sepanjang sejarahnya hidup di sana, sudah tak terhitung lagi berapa kali ia harus menolak lamaran belasan laki-laki di sekitarnya. Baik yang berstatus lajang, maupun suami orang.

Dan kini, kedekatannya dengan seorang laki-laki mapan bernama James Sudianto pastilah sudah jadi bahan gosip tersendiri. Sedikit banyak, gosip itu sudah sampai di telinganya. Walau hanya sekilas, tapi sudah membuatnya risih.

Sebetulnya, apa salahnya?

Ia berstatus lajang. James juga. Pun, ia belum pernah punya sejarah berbuat yang tidak-tidak dengan James. Tapi tampaknya masih sulit bagi orang-orang untuk menerima pertemanan dua orang berlawanan jenis, karena bisnis sekalipun.

Menyalahkan sekitarnya? Minarti menggeleng. Ia menyadari sepenuhnya sudah terjeblos di mana. Sebuah kampung padat penduduk, hampir seluruhnya berada dalam kondisi ekonomi pas-pasan, dengan tingkat pendidikan pun seadanya. Gosip tentang kehidupan tetangga merupakan hiburan paling murah untuk dinikmati bersama-sama.

Ia nyaris tak pernah terlibat menikmati gosip-gosip murahan itu, karena ia berusaha menyibukkan diri. Pun saat itu masih ada Navita yang menjadi temannya mengobrol.

Tapi sekarang?

Minarti mengedikkan bahu. Ia kini sudah tinggal sendirian. Pun tak ingin energinya tersedot perasaan enggan dijadikan bahan gosip murahan. Satu-satunya pilihan adalah pindah ke lain tempat. Tentu saja bukan rumah Navita dan Gandhi, anak dan menantunya. Karena ia seutuhnya memahami bahwa Navita dan Gandhi membutuhkan ruang untuk berdua saja saat belajar membentuk keluarga baru seperti saat ini.

Dan, sejujurnya ia sudah lelah puluhan tahun terjepit dalam tekanan hidup. Ingin menikmati kemerdekaan yang pada saat ini sudah berada dalam genggamannya.

Apakah aku berlebihan?

Minarti kembali mengedikkan bahu. Suara Arlena mengembalikannya ke alam nyata.

“Ada dua kamar kosong. Satu di lantai bawah, satu di lantai atas,” ujar Arlena. “Yang di bawah menghadap ke taman. Yang di atas, kamarnya lebih gede. Fasilitasnya relatif sama, sih.”

“Yang di bawah saja,” putus Minarti, cepat. “Daripada aku harus seluncuran di tangga tiap hari.”

Arlena terkekeh.

“Aku keep untuk Mbak Min. Tapi sebaiknya Mbak lihat dulu kamarnya.”

“Ah, aku, sih cocokan saja orangnya.”

“Iya... Aku percaya....” Arlena menepuk lagi punggung tangan Minarti. “Habis ini, kita ke sana.”

“Lho, katanya mau belanja sprei?” Minarti mengangkat alis.

“Ah, kapan-kapan bisa.” Arlena nyengir, membuat Minarti tergelak ringan.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi.