Rabu, 06 Februari 2019

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #14-1










Sebelumnya



* * *


Empat Belas


“Apakah aku terlalu banyak membebanimu?”

Maxi mengangkat wajahnya. Menatap Andries yang duduk di kursi direktur, di seberang meja.

Mereka baru saja kembali dari pertemuan dengan calon klien. Dan, calon klien dari Australia yang sangat potensial itu meminta agar besok diadakan tur keliling pabrik Cikarang dan Karawang. Andries menyanggupi. Itu artinya ....

“Kamu liburnya digeser ke hari Senin saja, ya?” tawar Andries tadi. Dengan tatapan memohon berlompatan keluar dari dalam matanya. Ketika calon klien mereka sudah berpamitan. “Aku tambah sehari liburmu. Jadi Senin-Selasa. Besok, tolong, dampingi mereka ke Karawang setelah dari sini. Please ....

Menatap wajah Andries yang kali ini tampak lebih pucat dari biasanya, Maxi tak tega untuk mengatakan ‘tidak’. Apalagi Andries memintanya secara baik-baik, bukan asal memberi perintah. Maka, ia pun mengangguk. Dan, pembicaraan mereka berlanjut dalam ruang kerja Andries.

“Saya tidak pernah menganggapnya sebagai beban, Pak,” jawab Maxi, tegas. “Saya lakukan apa yang bisa saya lakukan. Sudah terbiasa seperti itu.”

Andries menghela napas panjang. Menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi. Kembali ditatapnya Maxi.

“Aku diberi tahu Papa, kalau Keke seperti tidak terima kamu terlampau sibuk seperti belakangan ini,” gumam Andries.

Seketika rasa bersalah memenuhi hati Maxi. Dan, tampaknya Andries bisa meraba hal itu. Laki-laki itu menegakkan punggungnya. Menumpukan kedua sikunya pada meja. Masih menatap Maxi dengan serius.

“Aku yang salah, Max, bukan kamu,” ujar Andries. Menggeleng samar. Kembali menghela napas panjang. “Walaupun kamu memang benar-benar mampu memenuhi semua keinginan kami, tetap saja kamu harus menebusnya dengan hampir seluruh waktu yang kamu punya.”

“Pak,” ucap Maxi dengan nada hati-hati. “Saya minta maaf, sudah mengecewakan Keke. Saya juga salah karena tidak mampu mengatur waktu dengan lebih baik. Jujur, komunikasi kami belakangan ini memang agak tersendat. Apalagi ketika saya harus menyelesaikan perakitan mesin baru di Tangsel. Apa pun alasannya, seharusnya saya bisa menyisihkan sedikit saja waktu untuk sekadar menghubungi Keke, menanyakan kabarnya. Tapi nyatanya saya lebih menuruti keinginan saya untuk molor begitu sampai di rumah. Saya minta maaf untuk itu. Yang sebesar-besarnya.” Maxi menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada.

Andries tersenyum. Menggeleng.

“Sudah kubilang bukan salahmu,” ia menanggapi. “Dan, seharusnya Keke bisa memahaminya. Berlebihan rasanya kalau aku memintamu untuk lebih bersabar lagi menghadapi Keke.”

“Tidak, kok, Pak,” Maxi menggeleng. Tersenyum lebar. “Tenang saja. Saya sudah biasa menghadapi adik bungsu saya. Kacaunya tiga kali lipat. Keke, sih, belum ada apa-apanya.”

Andries tertawa. Mereka berdua masih mengobrolkan berbagai hal ringan. Sekadar melewatkan waktu beberapa belas menit sebelum jam kerja berakhir. Ketika sirene berbunyi, keduanya pun membubarkan diri.

* * *

‘Seharusnya aku pulang ke rumah sore ini. Tapi besok aku nggak jadi libur. Ada kerjaan mendadak, berhubungan dengan calon klien baru. Baru besok sore aku bisa balik ke Jakarta. Sama Pak Andries liburku digeser dan ditambah sehari, sampai Selasa. Jadi, dari Sabtu pagi sampai Selasa siang, waktuku untukmu.’

Seharusnya ia girang tanpa batas membaca pesan itu. Tapi Pingkan termangu sejenak.

Semakin ia berpikir, semakin ia merasa betapa egoisnya ia belakangan ini. Ayah dan abangnya benar. Maxi sudah berbuat banyak untuk mereka. Lebih dari itu, Maxi sudah bersedia memikul tanggung jawab yang seharusnya ia kerjakan. Kalau ia mengeluh Maxi tak punya waktu lagi untuknya belakangan ini, betapa ia tak tahu berterima kasih! Apalagi Maxi sudah bersedia menerima apa adanya ia.

Maxi juga masih punya keluarga. Pemuda itu masih punya ayah, ibu, kakak, adik, dan keponakan yang mungkin juga butuh untuk ditemui dan disapa. Keluarga yang punya segunung pengertian dan tak banyak tuntutan. Memikirkan itu, Pingkan merasa lebih malu lagi. Ditimangnya sejenak ponsel sebelum mengetikkan tanggapannya.

‘Gimana kalau gini? Besok aku ke Cikarang, cek kondisi Andries. Sekalian kita pulang bareng ke Jakarta sorenya. Sabtu dan Minggu, waktumu buat keluarga. Baru nanti Senin dan Selasa kita ketemu lagi. Mungkin kamu mau juga antar aku cek salon-salonku?’

‘Serius???’

Itu tanggapan yang ia terima beberapa detik kemudian. Pingkan tersenyum lebar.

‘Serius.’ Ia membalas lagi. ‘Aku minta maaf, Max. Belakangan ini aku terlalu banyak menuntutmu. Aku kurang bersyukur. Kamu sudah bekerja keras buat Royin. Seharusnya aku memahami itu.’

‘Aku juga minta maaf, kurang perhatian dan waktu buat kamu. Sampai beberapa bulan ke depan, mungkin masih seperti ini. Masih akan mengecewakanmu. Tapi aku nggak akan ke mana-mana.’

Ya, seutuhnya ia percaya bahwa Maxi tidak akan ke mana-mana.

Pingkan membalikkan tubuhnya. Kini telentang di atas ranjang. Menatap langit-langit kamar. Dari ponselnya mengalun sebuah lagu. Mengumandangkan lirik sederhana yang sarat makna melalui suara teduh Tulus.

“...

Baik buruk perubahanku
Tak akan kau sadari
Kita berevolusi
Bila kita ingin tahu
Seberapa besar rasa yang kita punya
Kita butuh ruang

Pagi melihatmu
Menjelang siang kau tahu
Aku ada di mana sore nanti
Tak pernah sekali pun ada malam yang dingin
Hingga aku lupa rasanya sepi
Tak lagi sepi bisa kuhargai

Kita tetap butuh ruang sendiri-sendiri
Untuk tetap menghargai rasanya sepi

...”

Bukan kebetulan ia menemukan lagu itu. Sore tadi, ia mendapat pesan WA dari Andries, disertai sebuah tautan.

‘Pahamilah kesibukan Maxi, Ke. Jangan sampai Maxi telanjur meminta ruang sendirinya. Dengarkan dulu ini : https://www.youtube.com/watch?v=c0p-61mLUGw.’

Dan, setelah membuka link itu, mendengarkannya, tiba-tiba saja ia memahaminya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)