Senin, 04 Februari 2019

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #13-4









Sebelumnya



* * *



“Kamu nggak balesin WA-ku,” gumam Pingkan, nyaris tanpa suara.

Maxi yang baru saja muncul dengan wajah sedikit lebih segar setelah selesai mandi lagi tampak terhenyak. Pelan, ia duduk dan bersandar di sofa.

“Aku kesiangan bangun tadi,” ujarnya kemudian. “Boro-boro ngurusin ponsel, Ke, sarapan aja nggak sempat. Aku baru nyadar kalau ponselku ketinggalan pas mau hubungin Pak Nick tadi. Akhirnya pinjam ponsel rekan setimku.”

Pingkan menggigit bibir bawahnya. Tanpa minta maaf ....

“Memangnya kamu kirim pesan apa?”

Pingkan mengangkat wajah. Menggeleng.

“Enggak. Nggak apa-apa. Lupakan saja.”

Maxi tampak makin kehilangan fokus untuk menanggapi. Pingkan jadi tak enak hati. Apalagi Maxi sudah tak bisa lagi menyembunyikan keletihannya. Ia pun segera berpamitan. Dan, yang tak pernah diduganya, Maxi sama sekali tak berusaha menahannya lebih lama.

* * *

“Makan dulu, Max,” ujar Arlena begitu melihat Maxi hendak beranjak masuk setelah Pingkan pulang. “Tadi Mama simpan steak seporsi lengkap buat kamu. Tinggal masuk sebentar ke microwave. Mau dipanasi sekarang?”

Mereka semua sedang berkumpul di teras depan. Termasuk Luzar.

“Iya, Max,” timpal Luken. “Atau tunggu saja, sebentar lagi pizzanya datang. Aku sudah pesan banyak, lho, buat kita semua.”

Tapi Maxi menggeleng.

“Aku capek banget. Cuma ingin rebahan dan tidur. Ya, nanti kalau ada sisa boleh simpan dikit buat aku. Tapi kalau habis, ya, nggak apa-apa.”

“Ya, sudah,” Arlena mengangguk. “Kalau kamu nanti bangun dan lapar, jatahmu Mama simpan di kulkas, ya?”

Maxi pun mengangguk dan berlalu.

Di dalam kamar, ia tak langsung merebahkan diri di ranjang. Ia duduk dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Benda itu mati total karena dayanya habis. Setelah menyambungkan ponsel dengan charger, Maxi pun berbaring. Segera terlelap hanya dalam hitungan menit.

* * *

Ketika Pingkan memeriksa ponselnya, pesan yang dikirimkannya pada Maxi sama sekali tak berubah. Masih dalam posisi tercentang satu. Pesan itu bukan saja belum dibalas oleh Maxi, tapi juga belum dibaca, bahkan belum masuk ke ponsel pemuda itu. Diembuskannya napas panjang.

Harus gimana lagi?

Ia meninggalkan garasi dan bermaksud menyingkir ke teras belakang. Ternyata, di sana sudah ada kedua orang tuanya. Tengah asyik mengobrol sambil minum teh. Terlambat baginya untuk menghindar. Sonia sudah telanjur melihat kehadirannya.

“Baru pulang?” tanya Sonia sembari melambaikan tangan.

Pingkan mengangguk sambil melangkah menghampiri. Ia kemudian duduk di sebelah ayahnya di sofa panjang. Tangan Harvey segera melingkari bahu putri bungsunya.

“Dari cek salon?” tanya laki-laki itu.

“Enggak,” Pingkan menggeleng. “Dari rumah Maxi. Aku tunggu dari siang, dia baru pulang sore ini tadi. Itu juga kelihatannya dia capek banget. Makanya aku cepat-cepat pulang.” Pingkan tertunduk.

“Nanggung banget pulang dari Cikarang gini hari,” gumam Sonia.

“Nggak dari Cikarang dia,” bantah Harvey, halus. “Sudah lebih dari seminggu ini di Tangsel. Merakit rangkaian mesin raksasa untuk menambah kapasitas produksi. Dia sendiri yang mengerjakan desainnya. Tadi aku sudah dapat laporan dari Nicholas, mesinnya sudah bisa jalan. Besok mau uji produksi. Maxi itu sudah dua mingguan nggak libur sama sekali. Anak itu mental sama tenaganya kuat banget.” Harvey menggeleng dengan wajah takjub. “Kita beruntung dia bisa masuk di Royin. Beruntung sekali!”

“Tempo hari aku dengar waktu Nick dan Andries ngobrol, katanya kita bisa hemat hampir enam M, ya?” Sonia menanggapi dengan wajah serius.

“Ya,” angguk Harvey. “Lima koma delapan sekian M. Itu karena Maxi desain sendiri mesinnya, pilih sendiri materialnya, tinggal serahin pengerjaannya ke beberapa vendor yang biasa kerja sama dengan dosennya dulu. Sayangnya Nick ngeyel. Salah satu bagian diserahkan ke salah satu rekanan yang biasanya kita pakai. Giliran harusnya sudah mereka kirim ke kita, ternyata belum selesai. Hampir kacau itu jadwal merakit yang sudah ditetapkan Maxi. Jadi mundur sekian hari. Padahal kita lagi dikejar untuk close target produksi. Jadinya Maxi yang pontang-panting.”

“Oh ...,” Sonia tersenyum lebar. “Pantesan, kok, Nick bilang kapok ikut campur soal mesin. Mendingan serahin saja urusannya seratus persen ke Maxi.”

“Biar jadi pelajaranlah buat dia, buat kita juga. Pokoknya nggak salahlah kalau kita lebih libatkan lagi Maxi untuk mengambil keputusan penting. Karena arah kita, kan, memang ke situ. Dia harus bisa mengendalikan salah satu pabrik kita secara penuh.”

Sonia manggut-manggut. Sementara itu, Pingkan hanya diam dan mendengarkan.

Jadi, itu artinya ....

Pingkan menghela napas panjang. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa ia akan semakin  jauh dari Maxi. Ia tersentak ketika telapak tangan Harvey menepuk halus lengan atasnya.

“Dan, yang bisa kamu lakukan adalah mendukungnya, Ke. Sepenuhnya,” ujar Harvey, lembut. “Karena sebagian besar pekerjaan Maxi adalah hal yang sebenarnya jadi tugasmu sebagai salah satu ahli waris Royal Interinusa. Pada kenyataannya, kamu memilih untuk melakukan hal yang lain, kan? Yang lebih sesuai dengan minatmu?”

Pingkan masih terdiam. Benar-benar tak tahu harus bagaimana menanggapi ucapan ayahnya, sekaligus menata menata hati. Hampir seluruh penuturan ayahnya soal Maxi tadi berkali-kali terasa menohok perasaannya.

Seandainya ia tetap berkeras menginginkan Maxi tetap seperti biasanya. Tetap punya waktu untuknya seperti pada saat awal mereka menjalin hubungan istimewa. Ia tahu bukan cuma akan berhadapan dengan Maxi seorang. Melainkan dengan barisan seluruh keluarganya sendiri. Sudah jelas siapa saja yang akan berada di belakang Maxi. Ayahnya, ibunya, dan kedua abangnya. Bahkan pastilah keluarga Maxi juga.

Rasanya, ia benar-benar sendirian saat ini.

* * *

‘Et dah! Bentar ... bentar ... Dulu  bukannya lu sendiri, ya, yang ingin Maxi tetap di Royin? Demi Andries, kan, lu bilang? Sekarang lu mau nuntut dia kudu gimana lagi, sih, Ke?’

Pingkan terhenyak membaca pesan balasan dari Donner. Baru saja ia mengirimkan beberapa persan beruntun yang berisi curatan hatinya. Berharap Donner yang selama ini ia anggap paling mengerti isi hatinya, kali ini bersedia merapat ke barisannya. Tapi ternyata ....

‘Lu tega mau suruh dia keluar dari Royin cuma gara-gara dia sekarang nggak punya waktu lagi buat lu? Astaga, Keee! LU WARAS??? Dia sudah berusaha bertahan di Royin, berusaha menikmati pekerjaannya, menyukai semua tugasnya, KAYAK YANG LU HARAPKAN, kayak yang keluarga lu mau, teruuusss ... SEKARANG LU GITU AJA MAU SURUH DIA RESIGN??? Sekali lagi gue tanya sama lu, ya, Ke : LU WARASKAH, PINGKAN ESTELLE UNDAP??? Lama-lama gue geregetan juga sama lu, ya!’

Pingkan meringis. Seutuhnya merasakan dadanya seolah tertohok parah. Ia sudah kalah. Telak.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)