Sebelumnya
* * *
Hingga lewat dari pukul sembilan pagi, pesan yang dikirimkannya belum dibaca, apalagi dibalas Maxi. Dengan perasaan resah, Pingkan pun memutuskan untuk mendatangi Maxi di rumahnya.
Sudah hampir pukul sepuluh ketika ia menghentikan mobil di depan pagar rumah Maxi. Pintu pagar tertutup, tapi pintu kecil terbuka separuh. Begitu juga pintu garasi. Tidak tertutup rapat. Pingkan mengulurkan tangan. Memencet bel yang ada di bagian dalam pilar pagar. Tak lama ia menunggu, pintu garasi terkuak lebih lebar. Arlena muncul dari dalam.
“Oh, kamu, Ke?” Arlena bergegas menghampiri pagar. “Ayo, masuk!”
Pingkan pun mendorong pintu kecil. Segera dijabat dan diciumnya punggung tangan Arlena.
“Apa kabar, Tante?” sapanya sopan.
“Baik ... Baik ... Ayo, masuk, yuk! Eh, mobilnya masukin aja ke carport.”
Pingkan pun menuruti ucapan Arlena. Ia kembali ke mobilnya dan melajukan mobil itu hingga masuk dan berhenti di depan pintu garasi. Arlena memberi aba-aba agar Pingkan parkir di sebelah kanan yang dekat dengan tembok pembatas samping.
Dengan halus Arlena kemudian menarik tangan Pingkan. Keduanya masuk melalui garasi. Sekilas, Pingkan hanya mendapati mobil putih Arlena saja di sana.Tak ada mobil silver Prima maupun motor Maxi.
Wah, jangan-jangan ....
“Om pergi, Tan?” celetuk Pingkan.
“Iya, pergi belanja sama Mela.” Arlena tertawa ringan. “Iseng aja mau bikin steak. Lagi nggak ada stok bahan di kulkas. Pada ngeyel mau belanja sendiri. Biarin, dah! Eh, kamu nanti sekalian makan siang di sini, ya?”
Pingkan hanya meringis. Ia menurut saja ketika Arlena menariknya hingga ke dapur. Dapur luas keluarga Maxi memang jadi salah satu tempat mengobrol yang nyaman di rumah itu. Arlena segera meraih dua buah gelas dari rak. Mengisinya dengan jus jeruk dingin dan segar yang diambilnya dari dalam kulkas. Dengan sedikit canggung, Pingkan duduk di depan island.
Setelah menyodorkan gelas itu dan menyuruh Pingkan minum, Arlena mengeluarkan satu stoples besar berisi keripik singkong balado dari dalam salah satu lemari dapur. Juga stoples-stoples kecil lainnya yang berisi aneka makanan ringan. Tak hanya itu. Diambilnya pula puding coklat lengkap dengan kuah setup nenas dari kulkas.
“Ayo, dimakan, Ke,” ujar Arlena. “Sambil tunggu Om sama Mela pulang. Gimana? Tante dengar salonmu tambah ramai, ya?”
“Iya, Tante.” Pingkan terlihat sedikit tersipu. “Sudah mau buka cabang kedua.”
“Waduuuh .... Hebat kamu, Ke!” mata Arlena terlihat berbinar ketika mengucapkan pujiannya. Seketika mengingatkan Pingkan akan binar yang seringkali dijumpainya berpendar dalam mata Maxi.
“Mm ... Maxi pergi juga, ya?” gumamnya. Nyaris tak terdengar.
“Oh, iya! Pukul delapan tadi balik lagi ke Tangsel. Agak telat, sih. Kesiangan bangun. Semalam sudah lewat pukul dua belas baru pulang.”
Pingkan tertunduk. Arlena menatapnya sejenak.
“Maxi sibuk banget akhir-akhir ini, ya?” usiknya dengan nada lembut.
Pingkan mengangkat wajahnya. Menangkap sorot khawatir dalam mata Arlena. Ia terpaksa mengangguk.
“Coba nanti saya bilang abang-abang saya supaya mengurangi pressure terhadap Maxi,” Pingkan berucap lirih.
“Sebetulnya tak apa-apa.” Arlena menepuk lembut punggung tangan Pingkan. “Tante pikir, seorang laki-laki harus kuat terhadap tekanan apa pun. Terutama tekanan pekerjaan. Apalagi Maxi saat ini sedang berusaha menyelesaikan studi S2-nya, kan? Setelah studi usai, pasti ada sedikit kelonggaran waktu. Keke yang sabar, ya.”
Pingkan mengangguk. Mencoba untuk tersenyum.
“Mm ... Memangnya Maxi cerita apa sama Tante? Atau Om?” tanyanya, bernada penuh keraguan.
“Soal?” Arlena berlagak pilon.
“Pekerjaan, kesibukannya, ... kami ....”
“Ya ..., sesekali memang cerita tentang apa yang sedang dikerjakannya sekarang. Kayak soal semalam, dia memang harus secepatnya membereskan pekerjaannya karena dikejar jadwal produksi.”
“Oh ....” Semoga dia tidak cerita kalau baru saja kusemprot, lanjut Pingkan dalam hati.
Ia bernapas sedikit lebih lega ketika Arlena mengalihkan topik pembicaraan ke arah lain. Ia tetap berada di sana hingga Prima dan Mela datang dengan membawa kantung-kantung belanjaan. Apalagi kemudian datang Luzar, pemuda yang sudah sejak SMA dekat dengan Mela. Ditambah dengan bergabungnya Livi, Luken, dan Rora – putri kecil mereka. Suasana rumah itu bertambah meriah.
Tapi entah kenapa, Pingkan merasa sedikit kesepian berada dalam keramaian yang hangat itu. Yang dicarinya sedang tak ada di rumah.
* * *
Maxi menghela napas lega ketika mesin berukuran raksasa yang sudah selesai dirakitnya bersama tim bisa beroperasi dengan lancar. Ia pun melaporkan hal itu kepada Nicholas. Laki-laki itu terdengar menanggapi dengan nada puas.
Tak dinyana, sang bos datang sejam kemudian, ketika Maxi sedang mandi dan meninggalkan mesin dalam pengawasan ketat timnya. Wajah Nicholas terlihat gembira. Apalagi ia masih sempat menyaksikan mesin itu menyala selama beberapa belas menit sebelum Maxi muncul dan mematikannya.
“Besok akan saya coba uji produksi, Pak. Saya minta waktu dua hari,” ucap Maxi.
“Kenapa nggak setelah Rabu saja?” Nicholas mengangkat alisnya. “Kamu bilang, Rabu masih ada urusan di kampus. Besok dan Selasa kamu libur saja.”
“Hari Kamis saya harus dampingi Pak Andries meeting dengan calon klien, Pak. Jumat, Pak Andries sudah setuju saya ambil libur. Nanti hari Senin depannya saya akan ke sini lagi untuk uji produksi selama seminggu penuh. Sekalian melatih staf maintenance untuk urusan perawatan mesin baru ini. Supaya awal bulan depan mesin kita ini sudah bisa berproduksi secara penuh sesuai target.”
Nicholas tak mau mendebat lagi. Apalagi rupanya Maxi sudah memikirkan jadwalnya dengan sangat baik. Mereka kemudian membubarkan diri dan berpisah di area parkir pabrik.
Sebelum melajukan mobilnya, Nicholas bisa melihat bahwa Maxi kali ini masuk ke sebuah city car berwarna silver yang sedari tadi terparkir di seberang mobilnya. Bukan mengendarai motor 600 cc yang biasa dipakai pemuda itu. Mendung di langit sudah sedemikian tebal. Seolah siap menumpahkan derai tangisnya. Dihelanya napas lega.
* * *
Hingga pesta steak mereka selesai menjelang pukul empat sore, Maxi belum juga pulang. Sejenak Pingkan menatap langit kelabu gelap yang menumpahkan hujan begitu deras saat ini. Siang tadi, ketika mendengar derum motor memasuki garasi, hatinya seolah berloncatan tak keruan dan jantungnya berdebar liar, nyaris tak terkendali. Ia mengira Maxi sudah pulang. Padahal Prima dan Mela-lah yang muncul.
Setidaknya, dengan pakai mobil Om Prima, dia nggak kehujanan. Dicobanya untuk menghibur diri.
Ia kemudian menyibukkan diri dengan membantu Arlena dan Livi membereskan segala peralatan bekas mereka makan tadi. Bertiga mereka sibuk mencuci dan mengeringkan peralatan sembari mengobrolkan berbagai hal ringan.
“Kak, mau mandi dulu?” Mendadak saja Mela muncul. Menatap Pingkan. “Sana, ‘gi, di kamarku aja.”
“Wah, habis ini mau langsung pulang, kok, Mel.”
“Lho, nggak sekalian tunggu Maxi?” sahut Arlena. “Tanggunglah, Ke. Paling juga sebentar lagi dia pulang. Dia tadi bilang nggak bakalan sampai malam, kok.”
Pingkan terlihat bimbang sejenak. Sudah kepalang tanggung, sebenarnya. Lagipula, selalu ada baju ganti dan seperangkat alat mandi yang ia simpan di bagasi mobil.
“Mm .... Ya, deh, saya mandi dulu,” angguknya kemudian.
* * *
Hujan masih juga tercurah dari langit ketika Maxi memasuki belokan terakhir, masuk ke jalan di depan rumah. Beberapa belas detik kemudian ia sudah sampai di depan pagar. Ia membunyikan klakson dua kali secara ringan. Dilihatnya mobil Pingkan terparkir di sisi lain carport.
Aduh ... Padahal aku sudah niat mau langsung tidur begitu pulang.
Maxi menghelas napas panjang.
Luken mendekat dengan berpayung. Membuka pintu pagar lebar-lebar. Prima juga membuka pintu garasi untuknya. Maxi pun terus melajukan mobil hingga masuk ke garasi, dan berhenti di sebelah mobil Arlena. Dengan wajah letih, ia keluar dari mobil.
Yang membuat keletihannya menguap adalah suara kecil Rora yang memanggil-manggil namanya sambil bertepuk tangan. Bayi imut yang belum genap berusia dua tahun itu tampak melonjak kegirangan dalam gendongan Livi.
“Momo! Momo Aci! Puyan!” serunya sembari mengulurkan tangan, minta gendong. Om! Om Maxi! Pulang!
“Aduh ... Om masih capek, Ra,” tegur Livi lembut.
Tapi Rora sudah berpindah ke dalam gendongan Maxi.
“Om masih bau mesin, Ra,” bisik Maxi sambil mencium pipi bulat Rora.
Tapi kelihatannya bayi cantik itu tak peduli. Ia justru memeluk erat leher pamannya.
“Ada Keke,” bisik Livi sambil mengikuti langkah Maxi, masuk melalui pintu penghubung.
“Ya, sudah tahu,” jawab Maxi dengan suara rendah.
Livi bisa melihat bahwa tak ada semangat sedikit pun dalam wajah Maxi.
“Kamu capek banget kelihatannya,” usik Livi lagi. Membuat Maxi berusaha untuk tersenyum.
“Bayanganku tadi begitu pulang, mandi lagi, terus tidur,” ujar Maxi. “Gagal, deh.”
Livi mengambil alih Rora dari tangan Maxi. Tak ada penolakan. Ia buru-buru menyingkir begitu melihat kaki Pingkan menuruni tangga.
“Apapun masalah kalian, selesaikan baik-baik,” gumam Livi sebelum benar-benar melangkah pergi.
Maxi hanya bisa mengangguk. Ia menghempaskan diri ke sofa, meraih semug besar cokelat hangat buatan Mela, dan meneguknya sampai tetes terakhir.
“Hai ..., Max.” Suara Pingkan terdengar ragu-ragu.
Maxi mengangkat wajah. Mencoba tersenyum. Memacu dirinya agar tetap bersemangat.
“Hai, Ke.”
Tak urung, telinga Pingkan seutuhnya menangkap nada letih dalam suara Maxi. Ia mendegut ludah.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
Berhubung cerbung “Portal Triangulum” sudah lunas, maka untuk selanjutnya cerbung “Sekeranjang Hujan” akan terbit pada hari SENIN, RABU, dan JUMAT.
Saat ini juga sedang mengudara sebuah cerpen ringan bersambung berjudul "Majalah Dinding" di halaman FiksiLizz di FB yang terbit setiap hari (dan saat ini belum tamat, baru sampai episode ke-7). Silakan kalau berkenan hendak mengintip ke sana.
Terima kasih.