Sebelumnya
* * *
“Ma, aku pulang malam ini. Aku lagi di Tangsel ini,” ucap Maxi langsung, begitu mendengar sapaan dari seberang sana. “Kalau mau tidur dulu nggak apa-apa. Asal jangan digembok pagarnya. Pintu garasi juga jangan dikunci dari dalam.”
“Enggak, Mama nggak tidur. Mama tunggu sampai kamu pulang. Kamu sudah makan?”
“Nggak sempat tadi.”
“Ini di kulkas masih ada sup merah sedikit. Mau?”
“Boleh, deh.”
“Ya, nanti Mama panasin lagi. Kamu hati-hati di jalan. Jangan ngebut.”
Maxi pun mengakhiri pembicaraan itu. Dengan setengah hati, ia menatap motornya. Sesungguhnya ia letih sekali. Arlojinya sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Entah pukul berapa nanti ia akan tiba di rumah.
* * *
Pingkan menimang ponselnya. Ia sudah bergelung di bawah kehangatan selimut di dalam kamar. Hujan di luar seolah tercurah dari langit.
Pasti Maxi pulang ke rumah.
Lalu, ia pun memutuskan sesuatu. Mengirim pesan kepada Maxi melalui Whatsapp.
‘Max, kamu pulang ke rumah, ya? Aku minta maaf soal yang tadi. Besok bisa kita ketemuan? Terserah kamu mau jam berapa. Aku kangen.’
Tapi, pesan itu hanya bertanda centang satu. Pingkan menghela napas panjang.
Apakah memang harus melewati fase seperti ini hubunganku dengan Maxi?
Pingkan menguap. Meletakkan ponsel di nakas, kemudian mulai memejamkan mata.
* * *
“Hujan deras begini, mendingan tadi kamu naik taksi saja, Max,” gerutu Arlena sambil membantu Maxi menggantung jas hujannya di dinding garasi.
Maxi memang tidak basah kuyup karena mengenakan jas hujan. Tapi tidak juga kering sama sekali.
“Maxi sudah pulang?” Prima melongokkan kepala melalui pintu penghubung.
Maxi segera menyalami ayahnya dan mengecup pipi ibunya.
“Mandi dulu pakai air hangat,” ujar Arlena. “Mama sudah siapkan makanan di dapur. Langsung ke sana, ya?”
Maxi mengangguk.
Setelah mandi, dibalut hangatnya kaus lengan panjang dan celana olahraga, Maxi turun ke lantai bawah. Sempat sekilas melirik jam dinding. Sudah hampir pukul setengah satu dini hari. Ia pun langsung menuju ke dapur yang terang benderang.
Ternyata, di sana sudah ada pula Mela. Gadis itu menyodorkan semug besar cokelat hangat begitu sang abang muncul. Prima menepuk kursi di sebelahnya. Di situlah Maxi duduk. Arlena menyodorkan piring kosong, sepasang sendok-garpu, sepanci kecil sup merah, satu stoples kecil sus kering, satu piring kecil berisi tiga buah perkedel kentang, satu lagi stoples berisi kerupuk udang, dan satu mangkuk nasi.
“Makan yang banyak, biar nggak masuk angin,” ucap Arlena.
Maxi mengangguk sambil memenuhi piringnya dengan semua jenis makanan yang disodorkan padanya. Ia pun makan dengan lahap. Sempat tertawa geli ketika Mela mencomot sebuah perkedel jatah sang abang. Arlena menegur si bungsu itu, yang hanya menanggapinya dengan cengiran jenaka.
“Biarin aja, sih, Ma,” gumamnya.
“Sampai begini malam, kamu ini ngapain aja, sih, sebenarnya?” usik Arlena.
“Mengawasi perakitan mesin baru, Ma,” jawab Maxi dengan nada sabar. “Kan, aku yang mendesain. Jadi, ya, harus kupastikan nggak ada kesalahan. Soalnya ini sudah mendesak mau dipakai.”
Arlena menghela napas. Wajahnya terlihat tak puas.
“Mama cuma khawatir kamu kenapa-napa kalau terlalu terforsir kayak gini,” desahnya.
“Sedikiiit lagi, Ma,” senyum Maxi. “Aku bakalan sedikit lebih longgar setelah urusan kuliahku beres.”
“Keke nggak apa-apa kamu terlalu sibuk begini?” Prima menatap anak tengahnya itu.
“Seharusnya, ya, nggak apa-apa,” justru Mela yang menyambar. “Kan, Mas Maxi banting tulang peras keringat juga buat kemajuan perusahaan keluarganya. Kebangetan, sih, kalau sampai ngeributin kesibukan Mas Maxi.”
Maxi menatap Mela. Tersenyum lebar. Ia paham, adik bungsu kesayangannya itu sedang mengungkapkan kejengkelannya dengan cara yang lain. Karena belakangan ini sang abang memang sama sekali tak punya waktu untuknya. Tapi dijawabnya juga pertanyaan ayahnya.
“Ya ... sempat, sih, protes. Sore ini tadi. Batal nonton. Habis gimana? Kalau aku mangkir, bisa kocar-kacir itu urusan mesin baru. Siapa nanti yang kena tegur bos? Aku juga, kan?”
“Tuh, kan!” Mela sedikit menambah volume suaranya. “Nggak tahu diuntung.”
“Hus!” hardik Arlena.
“Mela, nggak baik, ah, ngomong kayak gitu.” Prima menambahinya dengan teguran.
Mela pun memilih untuk diam dan segera menyingkir. Maxi menatap punggung adiknya yang terus menjauh dengan rasa bersalah. Ketika sosok Mela sudah tak terlihat lagi, barulah Maxi menatap ibu dan ayahnya bergantian.
“Sebetulnya, aku berharap Keke memahami kesibukanku sekarang,” ungkapnya dengan suara rendah. “Ya, aku nggak bisa menyalahkan dia, sih, kalau dia merasa jengkel gara-gara aku jadi kurang perhatian. Kenyataannya memang belakangan ini aku benar-benar kewalahan menyisihkan waktu buat dia. Sementara ini aku biarin saja dulu. Terserah dia marah atau enggak. Toh, aku benar-benar kerja. Nggak tengak-tengok ke arah lain. Lagipula, kalau aku lagi nggak terlalu sibuk, aku juga punya banyak waktu buat dia.”
Arlena mengulurkan tangan. Menepuk lembut punggung tangan Maxi.
“Dengan latar belakang Keke yang seperti itu, kamu memang harus melipatgandakan kesabaranmu,” ucapnya dengan nada halus. “Tapi Mama yakin, dia gadis yang baik. Kalian pantas saling mendapatkan satu sama lain. Kalau bisa, pertahankan itu.”
“Iya, Max,” angguk Prima. “Papa juga berpikir begitu. Selalu berusaha untuk berkepala dingin, itu yang paling penting.”
Maxi mengangguk. Kalau untuk soal ‘berkepala dingin’, ia sudah melihat sendiri bagaimana ayahnya selalu berusaha untuk bersikap seperti itu. Tak perlu repot-repot melakukan studi kasus ke tempat lain.
Pembicaraan kemudian beralih ke topik lain-lain, hingga Maxi selesai makan. Sudah lewat sedikit dari pukul satu. Hujan masih juga mengguyur bumi di luar rumah. Tetap konstan derasnya seperti saat ia memasuki batas antara Tangerang Selatan dan Jakarta tadi.
Arlena menyuruhnya segera beristirahat. Maka, ia pun naik ke kamarnya dan segera membaringkan tubuh di atas ranjang. Nyaman sekali rasanya. Hingga ia pun terlelap tak lama kemudian.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)