Sebelumnya
* * *
Lima Belas
Akhirnya ada satu lagi episode yang selesai ...
Maxi menghela napas panjang. Menatap dirinya melalui pantulan cermin. Langit di luar sana masih gelap, tapi ia sudah rapi dalam balutan setelan jas berwarna biru gelap, melapisi kemeja lengan panjang biru mudanya. Dasinya yang berwarna serasi pun sudah terpasang rapi. Hari ini, ia akan diwisuda. Seolah mengulangi lagi momen yang nyaris sama sekitar dua tahun lalu.
Ketika keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah, suasana meriah menyambutnya. Seisi rumah tumplek blek di ruang makan. Bahkan, Luzar sudah ada pula di sana. Tangan Rora segera terulur ketika melihat paman kesayangannya muncul dan mengambil tempat di sebelah Prima. Si kecil cantik dan imut itu pun pindah dari pangkuan sang kakek ke pangkuan Maxi.
Acara sarapan berlangsung cepat. Pukul lima lebih dua puluh menit, begitu Muntik datang, mereka pun segera berangkat ke tempat wisuda. Undangan bagi pendamping memang cuma dua, tapi kebahagiaan apa yang melebihi kesempatan bagi seluruh keluarga bisa ikut piknik ke tempat wisuda, walaupun hanya sampai di halaman auditorium?
Mereka berdelapan ‘berdesakan’ dalam SUV Luken. Asyik berceloteh tentang banyak hal. Dan, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk sampai di tempat parkir auditorium tempat akan dilangsungkannya wisuda.
Para wisudawan dan wisudawati dijadwalkan sudah siap dalam kelompok masing-masing pada pukul enam. Masih ada beberapa belas menit lagi. Itulah waktu yang digunakan Maxi untuk mencari Pingkan.
Pingkan seharusnya berhak untuk ikut wisuda periode tiga bulan lalu. Tapi ia memilih untuk melewatkan waktu pendaftarannya, demi bisa wisuda berbarengan dengan Maxi. Sebuah peristiwa sekali seumur hidup.
Gadis itu masih ada bersama keluarganya. Tampak sangat cantik mengenakan kebaya brokat berwarna biru langit. Kebersamaan keduanya sempat diabadikan Donner sebelum dan sesudah Pingkan dan Maxi mengenakan toga, sebelum harus berkumpul bersama kelompok masing-masing.
Gadis itu masih ada bersama keluarganya. Tampak sangat cantik mengenakan kebaya brokat berwarna biru langit. Kebersamaan keduanya sempat diabadikan Donner sebelum dan sesudah Pingkan dan Maxi mengenakan toga, sebelum harus berkumpul bersama kelompok masing-masing.
“Pesanan gue sudah beres?’ bisik Maxi sebelum meninggalkan Donner.
“Siap! Sudah gue sama Tisha atur. Lu nggak perlu khawatir, dah!” Donner mengedipkan sebelah mata.
Maxi menepuk bahu Donner. Tersenyum puas. Kemudian meninggalkan sahabatnya itu.
* * *
Segala macam prosesi dan acara seremonial wisuda itu akhirnya selesai. Termasuk segala macam rangkaian momen foto pribadi bersama keluarga dan juga Pingkan.
“Setelah ini mau ke mana?” Pingkan mendongak, menatap Maxi.
“Mm ... Kayaknya pulang dulu.”
Pingkan mengangguk. Paham seutuhnya bahwa mereka juga perlu waktu pribadi bersama keluarga masing-masing.
“Besok kamu mau ke mana pun, aku siap mengawal, Nona!” senyum Maxi melebar.
“Sip!” Pingkan mengacungkan jempol. “Nanti aku kabar-kabar lagi, ya?”
Maxi mengangguk.
“Woi! Pacaran melulu!”
Keduanya menoleh mendengar seruan itu. Mendapati Donner tengah menghampiri mereka.
“Tuh, bokap-nyokap pada nyariin!” seru Donner lagi. “Sudah mendung gelap gini!”
Pingkan dan Maxi tertawa. Mereka bertiga beranjak. Maxi mengantarkan Pingkan kepada keluarganya yang masih menunggu dengan sabar. Ia kemudian berpamitan.
* * *
Ternyata, mereka tak langsung pulang. Harvey yang mengemudikan mobilnya mengikuti laju mobil Nicholas ke arah Tebet. Butiran hujan tumpah ruah menemani perjalanan mereka.
“Mau mampir ke mana dulu?” Pingkan mengerutkan kening.
“Makanlah,” sahut Harvey. “Dikira nggak laper apa, nonton orang segitu banyak diwisuda?”
Pingkan terkekeh mendengar jawaban ayahnya. Senyumnya kembali melebar ketika mengenali tempat mereka akan makan bersama. Sudah beberapa kali ia dan Maxi melewatkan waktu bersama di sana.
“Ini kita mau ke Kedai Kopi Om James?” celetuknya sambil mengembangkan payung dan keluar dari mobil.
Harvey mengangguk.
“Tahu, nggak, ini yang punya, tuh, omnya Mas Luken, suaminya Mbak Livi-nya Maxi.”
“Serius?” Sonia menoleh ke arah putri bungsunya.
“Serius! Malah manajernya Mbak Livi, lho!”
“Oh?”
“Kepala kokinya, tuh, budenya Maxi. Memang jempol sekampung masakannya,” Pingkan tampak bersemangat sekali.
“Iya, memang terekomendasi, sih, kedai ini,” gumam Nicholas yang berdiri di belakang Pingkan.
Mereka beriringan masuk ke dalam kedai. Seorang pramusaji segera mengarahkan mereka agar langsung ke lantai dua. Dan, mata Pingkan terbelalak ketika melihat sebuah spanduk besar terpampang pada salah satu dinding.
Mengucapkan selamat dan sukses
atas wisuda
Pingkan Estelle Undap
dan
Maximilian Magenta
Tak hanya itu. Maxi menyambut kedatangannya dengan sebuket besar mawar merah segar yang menebarkan aroma wangi menyenangkan. Wajah Pingkan tampak tersipu ketika menerimanya.
Sekali lagi, tak hanya itu. Tiba-tiba saja Maxi sudah berlutut di depan Pingkan. Di tangannya ada sebuah kotak kecil yang terbuka lebar. Sebentu cincin emas putih bertengger di sana. Sebutir berlian yang terikat pada cincin itu membiaskan cahaya gemerlap aneka warna pelangi.
“Pingkan Estelle Undap, maukah kamu menikah denganku?”
Seutuhnya Pingkan menangkap getar dalam suara Maxi. Ketika ia menunduk sedikit, menatap Maxi, matanya melihat cahaya gemerlap berlompatan keluar dari sepasang mata teduh Maxi.
“Max ...,” desahnya.
Maxi mendongak. Menatap Pingkan. Masih menunggu jawaban. Dan ...
“Ya, aku mau,” angguk Pingkan. Suaranya lirih tapi bernada tegas.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)