Sebelumnya
* * *
Delapan Belas
“Kamu mau pindahan kapan?” tanya Pingkan sambil menutup pintu mobil.
“Nanti, setelah kita menikah,” jawab Maxi sembari menghidupkan mesin mobil. “Atau bisa juga beberapa hari sebelumnya.”
Pingkan tersenyum. Mobil yang dikemudikan Maxi mulai melaju di bawah siraman cahaya hangat matahari Jumat pagi yang cerah.
Beberapa minggu setelah ia tahu orang tua Maxi menghadiahkan rumah itu untuk mereka, baru hari ini ia bisa menengoknya bersama Maxi. Saat ini adalah akhir minggu yang cukup panjang, karena ada libur hari besar berimpitan pada hari Kamis dan Jumat.
Setelah Andries kembali ke Jakarta dan apartemennya ada yang menyewa, ia jadi tak punya alasan lagi untuk berkunjung ke Cikarang. Itu karena Maxi pasti pulang ke Jakarta kalau tidak sangat sibuk. Kemarin pun, Maxi baru bisa pulang ke Jakarta menjelang siang, karena harus menyelesaikan pekerjaannya di Karawang hingga malam pada hari Rabunya, sebelum libur panjang.
“Kayak mimpi bisa dapat rumah di depan indekosmu itu ...,” gumam Pingkan.
Maxi menoleh sekilas. Tersenyum.
“Tapi ... ngomong-ngomong...,” suara Pingkan tetap terdengar lirih, bernada ragu, “... kamu sudah mantap untuk menikah sama aku, Max?”
Maxi menghentikan mobilnya karena terhadang lampu merah. Ia menoleh. Menemukan Pingkan tengah menatapnya.
“Kenapa masih ragu?” ucap Maxi, halus.
“Enggak ragu,” Pingkan menggeleng. “Cuma memastikan saja.”
“Kamu sendiri, memangnya sudah mantap untuk menikah sama aku?” Maxi balik bertanya.
Pertanyaan itu membuat wajah Pingkan terasa menghangat. Ia mengalihkan tatapan dengan ekspresi tersipu. Tanpa bisa ditahan, tangan kiri Maxi terulur. Mencubit lembut pipi kanan Pingkan. Gemas.
“Kamu, tuh, ya, kadang-kadang mirip banget sama Mela,” gumam Maxi sambil kembali pada kemudinya. Lampu lalu lintas sudah menyala hijau.
“Aku terlalu manja, ya?” Pingkan meringis.
“Nggak juga, sih,” Maxi menggeleng. Menjawab dengan nada serius. “Kamu berani untuk mandiri, biarpun berasal dari keluarga yang lebih dari sangat berkecukupan. Kamu nggak tergantung sama fasilitas dari orang tua. Kamu berani untuk mulai usahamu dari nol. Membangun namanya. Menekuninya sampai kamu bisa mengembangkannya lebih besar lagi. Bisa membuka lapangan kerja lebih banyak buat perempuan-perempuan yang posisinya sedikit terpinggirkan. Kamu hebat. Kamu hebat, Ke, banget!”
“Pada satu titik, aku memang dipaksa untuk keluar dari semua rasa aman dan nyaman itu,” gumam Pingkan, setengah menerawang. “Dipaksa untuk jadi lebih dewasa dengan cara yang tidak biasa. Terguncang habis-habisan. Setengah hancur. Tapi pada satu titik berikutnya, aku tersadar bahwa aku cukup berharga. Semuanya karena kamu, Max.”
“Aku nggak melakukan apa-apa,” bantah Maxi, halus.
“Kamu memberiku kehidupan kedua, saat kamu menyelamatkan aku dari tawuran itu,” Pingkan menoleh sekilas. “Walaupun untuk itu kamu nyaris menebusnya dengan nyawamu. Mungkin terdengar berlebihan, tapi itu yang kurasakan.”
Hening sejenak, sampai Pingkan menunjuk ke satu arah.
“Di depan ada bakery,” ujarnya. “Mampir dulu, ya? Siapa tahu kita kena macet. Kan, bisa telat makan siang.”
Maxi pun mengangguk. Ia pun membelokkan mobilnya ke tempat yang dimaksud Pingkan.
* * *
Dari balik jendela mobil, Pingkan menatap rumah bercat coklat susu yang tampak ‘lezat’ itu. Senyum mengembang di bibirnya. Di matanya, rumah pojok di seberang rumah indekos Maxi tampak sejuta kali lebih indah daripada sebelumnya, saat terakhir ia melihatnya.
“Tamannya keren banget!” bisiknya. “Mama yang mendesain?”
“Kayaknya enggak,” Maxi tertawa. “Setahuku renovasinya pakai jasa konsultan dan pemborong profesional. Mama, sih, royal kalau soal ginian.”
Pingkan ikut tertawa. Maxi sudah menghentikan mobilnya di carport rumah itu. Pelan-pelan Pingkan keluar dari mobil. Seolah takut kalau ia bergerak terlalu cepat, maka mimpinya akan rumah itu akan buyar. Maxi mengeluarkan serenceng kunci dari tas selempangnya. Diserahkan kunci itu kepada Pingkan.
“Silakan, Nona,” ucapnya, disertai senyum lebar.
Oh ... Astaga ...! Ini ....
Dengan tangan sedikit gemetar, Pingkan memasukkan anak kunci ke dalam lubangnya di pintu depan. Ketika pintu itu terbuka, dan ia melongok ke dalam, ia merasa seolah terseret dalam ruangan yang tidak lagi kosong. Ia berada dalam sebuah rumah impian yang sudah terisi lengkap sesuai keinginannya. Persis. Tak melenceng semilimeter pun.
“Max ...,” bisiknya, “... aku ... Rasanya aku sudah ingin belanja perabot sekarang. Aduuuh! Rumah ini benar-benar menyihirku, Max!”
Maxi merengkuh bahu Pingkan. Ia menatap seisi ruang kosong itu.
“Bagian dalamnya sengaja Mama cat putih.” Ucapan ibunya seolah terngiang di telinga. “Supaya kalian bisa memberi warna sesuai selera kalian.”
“Kamu ingin model seperti apa, Max?”
Suara Pingkan membuatnya sedikit tersentak. Ia menunduk sedikit ke arah samping kiri, menatap Pingkan.
“Apa pendapatku berguna?” ia tertawa.
Pingkan mencubit lembut lengannya.
“Kan, kamu ratunya,” sambung Maxi.
“Ish! Percumalah kalau kamu merasa nggak nyaman di dalamnya,” gerutu Pingkan.
“Mm ....” Maxi menatap berkeliling. “Bentuk rumah ini sudah keren. Lega. Pencahayaannya juga bagus. Kayaknya lebih oke lagi kalau kita mengekspos keindahannya dengan perabot minimalis yang fungsional.”
“Hmm ....” Pingkan tampak berpikir-pikir. “Kamu benar juga. Seandainya pakai jasa konsultan desain interior profesional, gimana?”
“Boleh juga,” Maxi mengangguk.
“Ha! Kita bisa pakai Savannah and Co.!” seru Pingkan dengan nada sangat antusias. “Nicholas dan Kak Ariana dulu juga pakai jasa mereka.”
Tanpa banyak kata, Maxi pun menyetujuinya. Ia kemudian memuaskan diri mendengarkan celoteh Pingkan tentang rencana ini-itu untuk membuat rumah mereka semarak. Celoteh yang selalu membuat hatinya merasa hangat.
Pada satu detik, Pingkan berhenti bicara. Matanya menangkap tatapan Maxi, tengah menghujaninya dengan sorot mata gemerlap. Pun, ada senyum teduh tersungging di bibir Maxi. Tak ada suara sedikit pun dikeluarkan oleh pemuda itu. Saat itulah ia baru menyadari, bahwa sepertinya ia sudah terlalu banyak bicara.
“Max ..., kenapa?” bisiknya. Pelan-pelan wajahnya merona dan terasa hangat.
Maxi menggeleng. Tangannya terulur, meraih Pingkan ke dalam pelukannya.
“Bicaralah terus,” bisiknya di telinga Pingkan. “Bicaralah, supaya aku bisa terus mendengarmu, dan yakin bahwa kamu selalu ada dalam tiap detik kehidupanku kini dan kelak.”
Pingkan kehilangan kata.
Maxi hampir tak pernah menyatakan rasa cintanya secara eksplisit. Tapi ia menyatakannya dengan berbagai cara yang lain. Cara yang selalu menghangatkan hati Pingkan. Cara yang selalu membawa kesejukan dalam kehidupan Pingkan, seperti curahan sekeranjang hujan dari langit yang dicintainya.
Pelan, Pingkan melingkarkan kedua lengannya di sekeliling pinggang Maxi. Ia menyandarkan kepalanya di dada Maxi. Tak pernah ada lagi ketakutan setelah ia mengenal Maxi. Yang ada hanya rasa aman, nyaman, dan hangat. Seperti saat ini.
Jadi, apakah aku berhak meminta lebih?
* * * * *
S.E.L.E.S.A.I
Catatan :
Hari Minggu (lusa) akan mengudara sebuah cerpen ecek-ecek, receh, dan ringan yang pernah ditayangkan secara stripping di fanpage FiksiLizz di facebook. Judulnya "Majalah Dinding".
Hari Senin, rencananya akan terbit juga cerbung baru berjudul :
Terima kasih banyak atas kunjungan Anda di blog FiksiLizz ini...