Jumat, 08 Februari 2019

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #14-2









Sebelumnya



* * *



Keesokan sorenya, lewat sedikit dari pukul enam, Maxi sudah menunggu di depan indekosnya ketika Pingkan datang menjemput. Pada detik ketika Pingkan keluar dari mobil, Maxi mendapati bahwa kerinduan dalam hatinya sudah tak tertahankan lagi. Ia segera meraih Pingkan ke dalam pelukannya. Memberi kecupan hangat di puncak kepala gadis itu. Tak peduli dari balik kaca gelap mobil Pingkan ada yang menatap kejadian itu sambil mengulas senyum.

“Kamu mau makan dulu?” Pingkan mendongak sebelum menyerahkan kunci mobil pada Maxi.

“Kamu sendiri?” Maxi justru balik bertanya.

“Mm ... Enggak, sih,” Pingkan menggeleng. “Tapi kalau kamu mau makan dulu, nggak apa-apa aku temani.”

“Pak Andries? Ada, kan?”

“Ada,” angguk Pingkan.

“Ya, sudah. Aku makan di rumah saja, Ke. Aku sudah bilang Mama kalau aku pulang sore ini. Bik Muntik pasti sudah masak lebih. Lagian, kasihan Pak Andries kalau harus tunggu aku makan dulu.”

“Oke, deh!” Pingkan menanggapi dengan riang. “Nanti mampir dulu ke minimarket saja kalau gitu. Sekadar beli minuman dan cemilan buat ganjal perut.”

Maxi mengangguk, menyetujui. Diterimanya kunci mobil dari tangan Pingkan. Ketika ia masuk, disapanya dengan sopan Andries yang sudah duduk manis di jok belakang. Beberapa belas detik kemudian, mobil itu sudah meluncur membelah jalan.

Sorry, ya, Max,” gumam Pingkan. “Kemarin-kemarin aku reseh banget.”

“Hehehe ... Nggak apa-apa,” Maxi menoleh sekilas. “Yang penting, kan, sekarang kamu sudah mengerti. Aku kerja, nggak ke mana-mana. Nggak sempat juga mau meleng.”

Pingkan mengigit bibir. Diingatnya percakapannya dengan Andries tadi. Saat ia sampai ke apartemen Andries selewat pukul dua siang, dan mendapati Andries sudah berbaring di kamarnya. Mengakhiri hari kerjanya lebih awal.



“Cari cewek ‘napa, Dries. Biar ada yang urusin kamu,” ujarnya, setelah mereka mengobrolkan banyak hal.

“Ribet.” Pendek saja jawaban Andries.

“Ribet gimana?” Pingkan mengerucutkan bibir.

“Ya, iyalah, ribet. Berhadapan sama kamu yang bawelnya minta ampun aja sudah cukup bikin pusing. Apalagi ketambahan satu cewek lagi.”

“Dih!” cela Pingkan. “Aku, kan, bawel demi kebaikanmu. Kamu, tuh, suka kerja nggak kenal capek. Nggak kenal waktu. Nggak dibawelin, nggak bakalan berhenti.”

“Tetep ribet.” Andries keras kepala. “Apalagi yang suka reseh ingin ketemu, padahal tahu sendiri gimana sibuknya orang kerja ngurusin kepentingan orang banyak.”

Seketika Pingkan terdiam. Teringat kelakuannya belakangan ini. Dihelanya napas panjang. Ia kalah. Telak. Tak lagi berusaha mengompori abangnya itu soal pasangan hidup.

Andries pernah punya kekasih. Adik tingkatnya saat kuliah dulu. Tapi kabur ketika tahu Andries dijatuhi vonis kena leukemia. Pernah mencoba mendekat lagi ketika tahu Andries ‘baik-baik saja’, bahkan dipercaya untuk memimpin dua pabrik Royal Interinusa sekaligus.

Apa namanya kalau bukan matre? Cibir Pingkan.

Sebagai perempuan, ia tentunya tak pernah ingin hidup susah. Tapi tidak juga mau enaknya sendiri. Mungkin karena ia menyaksikan sendiri bagaimana kedua abangnya tetap berjuang walaupun berstatus sebagai ahli waris sebuah perusahaan besar.

Seandainya, toh, kemarin-kemarin Maxi memutuskan untuk menjauh dari Royal Interinusa, ia akan tetap menghormati keputusan itu dan berusaha untuk mendukungnya. Walaupun mungkin Maxi akan memulai kariernya dari bawah. Melihat keseriusan dan etos kerja Maxi, ia yakin Maxi akan memperoleh kesuksesan dengan caranya sendiri.

“Bisa minta tolong?”

Pingkan tersentak. Ia menoleh. Mendapati Andries tengah menatapnya.

“Apa?”

“Tolong, kamu ke lobi. Biasanya jam segini katering untuk makan malamku sudah diantar.”

Pingkan mengangguk. Sekilas ia melirik jam dinding. Sudah hampir pukul empat. Ia kemudian beranjak.



“Jadi mampir ke minimarket?”

Suara rendah Maxi menyentakkan kesadaran Pingkan. Ia menoleh keluar jendela mobil. Mendapati mereka sudah berhenti di depan sebuah minimarket di sebuah kompleks ruko.

“Ya,” angguk Pingkan.

“Kalau gitu aku parkir dulu,” putus Maxi. Membelokkan mobil masuk ke area parkir kompleks ruko.

* * *

Hujan deras menyambut mereka begitu masuk Jakarta. Berkeranjang-keranjang hujan seolah tercurah begitu saja dari langit.

“Dries, antar Maxi dulu, ya?” Pingkan menengok ke belakang. “Hujan-hujan begini.”

“Nggak apa-apa aku nanti naik taksol saja dari rumahmu, Ke,” tukas Maxi halus.

“Lebih praktis langsung sajalah, Max,” ujar Andries. “Nggak apa-apa. Nggak perlu segan.”

Maxi tersenyum. Tak menjawab. Tapi ia ambil juga jalur menuju ke rumahnya. Menjelang pukul setengah sembilan malam, di bawah guyuran hujan yang masih deras, Maxi membunyikan klakson.

“Kami langsungan saja, ya, Max,” celetuk Andries. “Nggak mampir dulu. Kapan-kapan saja.”

“Baik, Pak. Terima kasih banyak atas tumpangannya,” Maxi mengangguk.

Begitu Maxi keluar, Pingkan langsung berpindah ke jok pengemudi. Dengan diiringi lambaian tangan Maxi dan ayahnya yang bertudungkan payung lebar, mobil itu meluncur pergi.

* * *

Malamnya, setelah selesai berkencan bisu di udara bersama Maxi melalui taburan pesan WA, Pingkan keluar dari kamarnya karena merasa haus. Rumah sudah sepi dan gelap. Sudah lewat dari pukul dua belas malam.

Tapi ketika hendak melintasi ruang tengah menuju ke dapur, ia melihat pintu kaca teras samping terbuka. Selain itu, ia mendengar pula dengung-dengung pembicaraan yang tak jelas tertangkap telinganya. Tanpa suara, ia pun berjingkat-jingkat mendekat. Berdiri di balik tirai. Menyembunyikan diri dalam kegelapan.

“Kalau dari aku, sih, sudah fixed, Pa. Maxi sudah bisa mulai dilepas memimpin salah satu Royin.” Itu suara Andries. “Pak Teja dan Pak Jerry juga bilang gitu. Kalau Papa memutuskan dia pegang pabrik Karawang, Pak Jerry sudah menyatakan loyalitasnya akan bantu Maxi secara maksimal. Begitu juga Pak Teja, kalau Papa taruh Maxi di Cikarang.”

Oh .... Pingkan lebih menajamkan telinganya.

“Kalau Papa, sih, ingin tunggu dia lulus dulu, Dries. Soal kesiapan Maxi, Papa percaya penilaianmu objektif. Tapi Papa nggak mau terburu-buru. Kita tunggulah setahun lagi. Kita lihat kinerjanya setelah dia seratus persen ada di Royin, nggak lagi terganggu urusan studi. Kamu juga harus ingat soal Keke. Biarkan dia membiasakan diri dulu dengan kesibukan Maxi. Apalagi, kok, Papa cenderung ingin taruh Maxi di Karawang.”

“Keke sudah paham, kok, Pa.”

“Ya, syukurlah, kalau begitu. Kan, kamu tahu sendiri adikmu itu seolah dipaksa untuk jadi jauh lebih dewasa sebelum waktunya. ...”

Pingkan menggigit bibir mendengar ucapan ayahnya. Ada nada luka yang sarat dalam suara Harvey. Pingkan mengerjapkan matanya yang membasah tiba-tiba.

“... Ya, gimana rasanya, sih, Dries, kamu pasti tahu. Keke hidup dikelilingi laki-laki, tapi nggak ada satu pun yang bisa melindungi dia dari kejadian itu. Betapa gagalnya kita.”

“Ya, sampai sekarang pun kadang-kadang Nicholas dan aku juga masih merasa seperti itu, Pa. Tapi aku lihat Keke sendiri sudah bangkit. Itu juga karena Maxi ada di sisinya. Besar banget artinya Maxi buat Keke.”

“Yang Papa suka dari Maxi, dia itu nggak pernah mentang-mentang dekat dengan kita, lantas kerjanya di Royin jadi kendur.”

“Yup, betul! Satu lagi, mana pernah dia mau panggil aku Andries, tanpa ‘pak’, di luaran. Takut kebablasan, katanya.”

Kedua laki-laki itu tertawa ringan. Pingkan merasa sudah lebih dari cukup ia menguping pembicaraan itu. Ia pun meninggalkan persembunyiannya. Meneruskan langkah ke dapur untuk mengambil segelas air dingin.

Ia duduk sejenak menghadap island. Menghela napas panjang. Mengumpulkan keping demi keping rasa syukur yang tercecer dan terhambur ke segala arah di sekitarnya. Mengerjapkan mata.

Apakah aku berhak meminta lebih?

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)