Jumat, 28 Desember 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #8-2









Sebelumnya



* * *

“Cakep, nggak?” Maxi nyengir ke arah Mela yang kebetulan sama-sama baru saja keluar dari kamar.

“Wuidiiih .... Jaminan mutu, nih!” Mela mengacungkan kedua jempolnya.

Maxi tertawa riang. Menjelang sore ini ia memang tampak tampan sekali. Cukup rapi dengan kaus polo berwarna putih bersih yang dipadukannya dengan celana jins berpotongan klasik berwarna biru gelap. Sneakers putihnya pun terlihat kinclong menutup kaki. Aroma tubuhnya harum segar yang mengesankan sosok macho dalam dirinya.

“Salam buat Kak Keke, ya, Mas,” ucap Mela manis sambil mengikuti abangnya menuruni tangga.

Sebagai jawabannya, Maxi meraih kepala adik bungsunya itu dan mengelusnya dengan segenap rasa sayang. Livi sudah menunggunya di ujung tangga. Mengulurkan kunci mobilnya dengan senyum riang tersungging di bibir.

“Bensinnya sudah full, Tuan Muda,” candanya.

Maxi terkekeh. Mengecup puncak kepala sang kakak, menggumamkan terima kasih, dan menerima kunci itu dengan gembira. Ketika hendak melangkah ke arah garasi, matanya menangkap kehadiran ayah-ibunya yang duduk bersisian di sofa seberang televisi. Sejenak Maxi nyengir. Arlena mengacungkan jempol.

“Hati-hati bawa anak orang, ya, Max,” pesannya.

Ganbatte!” seru Prima sembari mengepalkan tangan kanan dan mengacungkannya lurus ke atas.

Mau tak mau, tindakan ayahnya itu membuat Maxi tertawa geli. Semangatnya terpompa maksimal melihat dan merasakan dukungan hangat dari seluruh anggota keluarga seperti itu. Livi mengikuti langkah Maxi melintasi garasi menuju ke carport, tempat mobilnya biasa parkir.

“Hati-hati bawa mobilku, ya, Max,” ucapnya. “Belum lunas, tuh!”

Maxi kembali tertawa. Menjelang sore ini, terasa begitu mudah baginya untuk mengumbar tawa. Livi pun ikut tertawa bersamanya.

Sejenak kemudian Maxi memundurkan mobil Livi pelan-pelan keluar dari area halaman rumah. Disempatkannya melambaikan tangan kepada Livi yang sudah berbaik hati meminjaminya mobil dan mengantarkannya hingga ke depan pagar.

Sekilas, diliriknya jam digital di dasbor. Menunjukkan angka 14:36. Rumah Pingkan tidak jauh karena jalurnya langsung. Kalau sebaliknya, dari rumah Pingkan ke sini, jalurnya harus memutar. Dengan santai Maxi mengemudikan city car mungil berwarna polished metallic itu. Dalam beberapa belas menit saja, ia sudah sampai di depan rumah Pingkan.

Rumah besar yang dicat dalam beberapa gradasi warna hijau itu tampak sepi. Sambil menarik napas panjang dan memantapkan hati, Maxi keluar dari kendaraannya. Dengan jantung berdebar kencang, ia memencet bel yang ada di tembok pilar pintu pagar.

Sekilas, ia melihat ada orang yang keluar dari garasi. Sepertinya salah satu ART keluarga Pingkan. Ia tak terlalu memerhatikannya. Barulah setelah orang itu menyapa dan membuka gembok pagar, Maxi hampir tersedak.

“Halo! Mau jemput Keke, ya?”

Maxi sempat terbengong sejenak sebelum ingat untuk membalas sapaan itu. Ia mendegut ludah sebelum menjawab dengan suara sedikit tercekik di leher.

“Eh, selamat sore, Pak Andries.” Ia mengangguk dengan sangat sopan.

“Ya, selamat sore juga.” Laki-laki bercelana pendek dan berkaus oblong abu-abu itu membuka pintu pagar lebar-lebar. Senyum ramah menghiasi wajahnya. “Ayo, masuk dulu. Tunggu sebentar, Keke-nya lagi dandan. Biasalah rada ribet,” ucapan itu disambung tawa ringan.

Maxi tercekat.

Astaga .... Big boss gue sendiri yang bukain pintu pager???

Ia memilih untuk duduk menunggu di teras ketika abang Pingkan itu menawarinya hendak menunggu di teras atau ruang dalam. Dan, ia bernapas sedikit longgar ketika laki-laki itu meninggalkannya sendiri.

Selama mengenal Pingkan dan beberapa kali berkunjung ke rumah ini, Maxi memang sama sekali belum pernah bertemu dengan abang-abang Pingkan. Ia baru mengenal Andries secara langsung sebagai pucuk pimpinan pabrik tempatnya hendak mengawali karier.

Dari omongan-omongan yang berhasil ditangkap dan disaringnya, ia tahu bahwa Andries adalah sosok pemimpin yang rendah hati dan selalu bersikap baik kepada seluruh staf dan karyawannya. Cukup disegani karena bisa bersikap tegas namun santun. Yang didengarnya pula, ‘Pak Nicholas’ yang memegang pabrik di Tangsel pun sikapnya 11-12 dengan sang adik.

Belum lagi napas Maxi terhela lega secara utuh, Andries muncul lagi. Kali ini dengan membawa nampan berisi dua cangkir minuman dan dua buah stoples berisi kacang telur dan emping belinjo pedas-manis. Membuat Maxi ternganga lagi.

“Aduh, repot-repot saja, Pak,” ucapnya sembari buru-buru mengambil alih nampan itu dari tangan Andries.

“Enggak, kok. Ini juga yang bikin Bibik.” Andries tersenyum lebar. “Cuma Bibik lagi sibuk, seterikaannya banyak.”

Maxi jadi makin segan dengan sikap rendah hati Andries. Apalagi laki-laki muda itu kemudian duduk menemaninya menunggu Pingkan keluar.

“Gimana, kira-kira kamu betah di Royin?” tanpa basa-basi, Andries menanyakan hal itu.

“Mm ... Saya belum tahu, Pak,” jawab Maxi kemudian, jujur. “Saya baru dua minggu training. Sejauh ini, sih, saya merasa nyaman dengan situasi Royal Interinusa. Bisa bekerja sama dengan baik dengan para trainer dan rekan-rekan sesama trainee. Sudah mulai mengenal pola kerja dan kondisi pabrik.”

“Aku dengar, kamu bisa mendesain mesin, ya?”

“Oh, itu baru belajar, Pak. Kebetulan beberapa waktu lalu diajak salah seorang dosen untuk gabung dalam salah satu proyeknya.”

Andries manggut-manggut.

“Selama ini Royin mengandalkan desainer mesin dari luar,” gumamnya. “Kalau bisa punya desainer sendiri, kan, bagus.”

“Ah, level saya belum setinggi itu, Pak.”

Andries menatap Maxi. Serius.

“Aku pikir, bukan suatu kebetulan dosenmu sengaja menggandengmu untuk mengerjakan desain mesin. Kalau kamu nggak mampu, kamu pasti lewat. Kayak Donner itu.”

Kalau saja tidak berhadapan dengan wajah serius Andries, ingin rasanya Maxi terbahak. Donner?

“Anak itu kayak asal kuliah saja.”

Gumaman Andries berikutnya itu secara tepat menerjemahkan apa yang ada dalam kepala Maxi. Pemuda itu tersenyum lebar.

“Tapi dia anaknya baik, Pak,” timpal Maxi, sama sekali tanpa nada membela sang sahabat.

Andries ikut tersenyum. Menggangguk.

“Ya, dia memang baik.”

Sebelum obrolan itu bergulir lebih lanjut, yang ditunggu pun akhirnya muncul. Maxi mendegut ludah melihat sosok Pingkan ada begitu dekat dengannya. Menelan kerinduannya bulat-bulat. Kalau saja tidak ada Andries, mungkin sudah dipeluknya erat-erat gadis itu.

“Mau berangkat sekarang?” tanya Pingkan, tanpa basa-basi.

“Biarin minumannya dihabisin dululah, Ke,” tegur Andries lembut.

Maxi pun buru-buru meneguk sisa teh lemonnya hingga tandas. Ia senang mengobrol dengan Andries. Tapi lebih senang lagi bila diperbolehkan menikmati kebersamaannya hanya berdua saja dengan Pingkan. Mereka pun berpamitan kepada Andries.

“Om sama Tante mana, Ke?” tanya Maxi dengan suara rendah. “Mau pamitan dulu.”

“Oh, Mama sama Papa belum pulang. Keluar dari pagi tadi. Cukup sama Andries aja pamitnya.”

“Oh....”

Dan, Maxi pun menyaksikan kecupan hangat Andries mendarat di puncak kepala Pingkan. Sejenak ia teringat Mela dan Livi. Ia sering melakukan hal yang sama persis untuk mengekspresikan rasa sayangnya terhadap kedua saudarinya itu.

Kalau sampai Mela atau Mbak Livi kenapa-napa, cowok yang ada sama mereka bisa gue hancurin beneran, nih!

Seketika, ia teringat posisinya saat ini. Meringis sekilas dalam hati, sebelum memberanikan diri menggandeng tangan Pingkan untuk bersama menuju ke mobil yang terparkir di luar pagar. Untung saja, Pingkan sama sekali tidak menepiskan genggaman hangat itu.

“Wah, sudah rintik-rintik.” Maxi menengadah sejenak. Satu-dua tetes kecil air hujan mulai meluncur jatuh.

“Aku sudah bawa payung,” Pingkan menepuk tas selempangnya.

“Di mobil kayaknya ada, tapi gede,” Maxi menanggapi.

“Ya, nanti pakai payungku saja biar nggak ribet.”

Maxi mengangguk sembari menekan tombol alarm dan membuka pintu kiri depan mobil agar Pingkan bisa masuk lebih dulu. Sejenak kemudian ia menyusul masuk dari sisi yang lain. Sebelum menghidupkan mesin mobil, ditatapnya Pingkan.

“Aku kangen sama kamu,” ucapnya halus. “Kangen banget.”

Dilihatnya Pingkan mengalihkan tatapan. Tapi wajah tersipu gadis itu tak bisa disamarkan lagi. Maxi gemas sekali melihatnya. Ia pun tersenyum sembari menghidupkan pintu mobil. Ketika hendak melaju, tak dilihatnya lagi Andries. Ia pun membatalkan maksudnya untuk membunyikan klakson secara ringan sembari mengangguk sopan. Maka, ia pun menutup rapat jendela mobil, dan kakinya mulai menekan pedal gas. Mobil mungil itu melaju pelan-pelan membelah jalanan kompleks, di bawah rinai hujan yang makin rapat.

* * *

Aku juga rindu padamu ....

Dengan wajah terasa menghangat, Pingkan mengalihkan tatapan ke luar jendela mobil. Andries rupanya tidak menunggu mereka hingga benar-benar meluncur pergi. Lalu, pelan-pelan mobil itu mulai bergerak.

“Wah, kamu nggak pakai jaket, ya, Ke?”

Suara lembut Maxi membuat Pingkan sedikit tersentak. Ia pun mengangguk singkat.

“Iya, tadi lupa.” Aduh .... padahal AC bioskop biasanya dingin banget!

“Ya, sudah, nanti pakai jaketku saja. Daripada kamu kedinginan di bioskop.”

“Nanti gantian kamu yang kedinginan,” gumam Pingkan.

“Hehehe .... Kan, bisa duduk lebih rapet ke arahmu.”

“Ish!” Pingkan terkekeh singkat. Tanpa tahu, betapa senang hati Maxi mendengar tawanya itu. “Memangnya jaketmu di mana?”

“Ada di belakang.”

Pingkan pun memutar tubuh, berusaha mengambil jaket Maxi yang terlipat rapi di jok belakang. Ketika ia mengangkat jaket itu, didapatinya ada sebuah kardigan yang tertindih.

“Ini, kardigan siapa?” tanyanya, mengangkat kardigan itu ke arah depan.

Maxi menoleh sekilas.

“Oh, kalau kardigan, kayaknya punya Mbak Livi,” jawab Maxi. “Kalau bentuknya jaket ada hood­­­-nya, biasanya punya Mela.”

“Boleh aku pinjam, nggak?” Pingkan menimang kardigan rajut berwarna biru muda beraroma harum segar itu. “Daripada kamu nanti kedinginan nggak pakai jaket.”

“Pakai saja kalau mau. Kenapa? Jaketku bau, ya?” Maxi terkekeh.

Tanpa sadar, Pingkan mengangkat jaket jins Maxi dan membawanya ke depan hidung. Dihirupnya dalam-dalam aroma jaket Maxi.

“Enggak,” gelengnya. “Wangi, kok.”

“Hehehe .... Iyalah wangi, baru kuambil dari lemari, kok. Lagian kemarin Bik Muntik sudah kusuruh tuang softener sebotol penuh pas lagi nyucinya.”

Pingkan kembali terkekeh ringan. Tapi saat ingatannya kembali terjerat pada tujuan utamanya ia menerima ajakan Maxi untuk bertemu, seketika bibirnya terkatup kembali.

Samar, ia menghela napas panjang. Bagaimanapun, ia harus siap. Siap untuk berterus terang. Siap untuk kehilangan Maxi bila pemuda itu memang tak bersedia untuk menerima ia apa adanya.

Siap kehilangan Maxi?

Pingkan mengerjapkan mata.

Aku belum siap! Aku SAMA SEKALI tidak siap!!!

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)