Jumat, 07 Desember 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #5-2









Sebelumnya



* * *



Maxi menimang ponsel di tangannya. Angin yang dingin dan basah tiba-tiba saja berembus. Membawa tempias hujan yang jatuh di luar atap teras belakang ke arahnya. Membuatnya sedikit menggigil. Semug cokelat hangat di atas meja pendek di hadapannya sudah lama mendingin.

Pada saat seperti ini, kerinduannya terhadap Pingkan terasa makin menggunung. Tapi, ia takut salah bersikap, sehingga akan membuat Pingkan makin tak terjangkau lagi. Dihelanya napas panjang. Berharap kerumitan itu memudar. Tapi sayangnya, semuanya bergeming dengan kukuhnya.

“Max, sudah malam, kok, belum tidur?”

Maxi menoleh. Mendapati ayahnya berdiri di ambang pintu yang membatasi ruang makan dengan teras belakang. Ia kemudian menggeleng. Mencoba untuk tersenyum. Prima melangkah menghampirinya.

“Besok Sabtu ini, Pa,” Maxi menanggapinya dengan gumaman.

“Masih masalah yang tempo hari?” Prima duduk di sebelah putranya.

“Ya, gitu, deh,” jawab Maxi, di ujung helaan napas panjangnya yang kesekian.

Prima menepuk lembut bahu Maxi.

“Kalau kamu memang benar-benar mencintainya, jangan pernah menyerah,” ujar Prima, lembut. “Tapi kalau kamu masih ragu-ragu, sementara kamu mundur dulu. Supaya tidak memberi harapan lebih kepada Keke.”

“Aku sayang sama dia, Pa,” desah Maxi. “Sayaaang banget. Cuma, aku belum tahu cara yang tepat untuk mendekatinya lagi. Aku khawatir kalau terus merangsek, dia malah bakal makin menjauh. Apalagi kalau nanti dia tahu bahwa aku sudah tahu sejarahnya itu bukan dari mulutnya sendiri. Nggak mungkin, kan, aku berbohong dan selamanya pura-pura belum tahu? Apa-apa kalau diawali dengan ketidakjujuran, mau dibawa ke mana hubungan itu?”

Prima manggut-manggut. Jauh dalam lubuk hati, ia merasa bangga sekali terhadap pola pikir satu-satunya anak laki-laki yang ia miliki itu.

“Apalagi sekarang, aku sudah mulai sibuk,” lanjut Maxi, dengan suara makin hilang.

Sekitar setengah bulan lalu, pada hari yang hanya berselisih satu saja, Maxi mendapat pemberitahuan bahwa ia lolos seleksi masuk ke perusahaan Permatin dan Royal Interinusa. Dua perusahaan yang sama-sama besar dan bonafide.

Permatin yang bergerak di bidang pertambangan memberi syarat agar ia masuk pada awal bulan depan, yang berarti dua minggu lagi, untuk menjalani training selama dua minggu, dan selanjutnya mulai bekerja sambil membereskan kelulusannya. Sedangkan Royal Interinusa yang bergerak di bidang produksi baja menjadwalkan ia ikut program training pada awal minggu berikutnya setelah Maxi menerima email. Lama pelatihannya tiga minggu pada tiga lokasi berbeda, untuk selanjutnya mulai bekerja segera setelah semua urusan kuliahnya beres.

Dengan berbagai pertimbangan baik dari Prima maupun Livi, Maxi akhirnya memilih untuk masuk ke Royal Interinusa. Selain Royal Interinusa yang ‘hanya’ sebuah anak perusahaan saja skalanya lebih besar daripada Permatin, gaji yang ditawarkan pun lebih tinggi. Belum lagi kelonggaran yang diberikan untuk membereskan urusan kelulusan.

“Tapi semua hal yang lebih itu pasti konsekuensinya juga lebih ketat.” Begitu pesan Prima. “Persiapkan dirimu mulai sekarang. Royal Interinusa bukan perusahaan main-main.”

Maka, ia pun mengirimkan email pengunduran diri dari statusnya sebagai calon karyawan Permatin. Dan, sudah satu minggu ini ia mengikuti pelatihan sebagai calon staf Royal Interinusa di pabrik yang ada di Cikarang. Minggu depan jadwalnya di Karawang, dan minggu depannya lagi di Tangerang Selatan. Ia belum tahu akan ditempatkan di mana setelah pelatihan. Yang jelas, ia berusaha untuk menjalaninya dengan sungguh-sungguh, dan berusaha menyerap setiap materi yang diberikan kepada para trainee seperti dirinya.

“Saran Papa ...”

Suara berat itu membuat Maxi sedikit tersentak.

“... kalau kamu memang benar-benar sayang pada Keke, sediakan waktu untuk menghubunginya kembali. Pada skala prioritas untuk saat ini, yang tempatnya paling atas adalah menyelesaikan dulu training­-mu, di bawahnya lagi adalah urusan kelulusanmu, dan di bawahnya lagi barulah urusanmu dengan Keke. Tapi bukan berarti urusanmu dengan Keke harus menunggu untuk diselesaikan pada urutan buncit. Bisa sambil berjalan. Setidaknya, tunjukkan pada Keke bahwa kamu tetap peduli.”

“Baik, Pa,” Maxi mengangguk patuh.

“Ya, sudah,” Prima menepuk paha kiri putranya. “Papa mau temani Mela nonton horor lagi. Sudah hampir tengah malam ini. Jadi keranjingan adikmu itu.”

Maxi tertawa ringan mendengar nada gerutu pada kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya. Sepeninggal Prima, Maxi kembali menimang ponselnya. Dorongan hati itu akhirnya tak terbendung lagi. Tanpa memandang sudah seberapa malam saat ini, ia pun mengetikkan sesuatu. Sempat berpikir sejenak sebelum menyentuh kotak ‘kirim’.

Dihelanya napas panjang. Dadanya terasa sedikit lapang. Apa pun tanggapan dari seberang, setidaknya ia sudah berusaha mulai untuk menyambung kembali hubungan manis itu.

Ia pun berdiri sambil meraih mugnya. Dengan sekali teguk, dihabiskannya sisa cokelatnya yang sudah benar-benar dingin. Saat hendak mencuci mug, ia berpapasan dengan ibunya yang membawa satu stoples besar berisi popcorn di ambang pintu dapur.

“Mau ikutan nonton film, Max?” tawar Arlena.

Maxi menggeleng sambil tersenyum.

“Enggak, Ma. Aku capek banget hari ini.”

“Ya, sudah,” angguk Arlena. “Sana, istirahat.”

Setelah mencuci mug, Maxi pun keluar dari dapur dan naik ke kamarnya. Sambil melangkah menapaki anak tangga, ia menguap lebar-lebar. Setelah satu minggu lamanya ‘kerja rodi’, baru saat ini badannya terasa pegal-pegal. Dilihatnya pintu kamar Livi sudah tertutup rapat. Tanda bahwa pemilik kamar sudah dibuai alam mimpi.

Pelan, ia pun masuk ke kamarnya sendiri dan menutup pintunya tanpa suara. Saat hendak membaringkan tubuh lelahnya di atas ranjang, ponsel yang diletakkannya di atas meja bergetar tiga kali dan berbunyi pendek. Sambil menguap sekali lagi, diraihnya ponsel itu.

Seketika kantuknya lenyap begitu melihat apa yang tertera di layar ponselnya. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak bersorak kegirangan. Dibacanya berkali-kali satu kata yang tertera di layar. Benar-benar hanya satu kata, tapi mampu mendongkrak semangatnya hingga ke titik tertinggi. Tanpa berpikir panjang, ia pun membalas pesan itu.

* * *

Hujan di luar masih setia menyisakan simfoni rintiknya. Sambil menutupi telinga dengan guling, Pingkan meringkuk di bawah selimutnya. Berusaha mencari kehangatan dan rasa nyaman. Tapi sayangnya, perasaan kosong dan dingin itu seolah telanjur melekat dan tak mau pergi.

Saat baru sedetik mencoba memejamkan mata, getar ponsel yang diletakkannya di atas nakas membuatnya terbelalak kembali. Sambil sedikit bersungut, diraihnya benda itu. Seketika ia ternganga. Matanya terbuka lebar, nyrais lupa untuk berkedip.

‘Hai, Ke. Apa kabar?’

Dibacanya berkali-kali kalimat yang tertera jelas di layar ponselnya. Tak berubah sedikit pun.

Maxi ...

Pingkan mendegut ludah.

Dia masih ingat padaku rupanya?

Ada perasaan hangat yang diam-diam merayap masuk ke dalam hati. Menggantikan rasa dingin dan kosong. Membuatnya berpikir, kalimat apa yang pantas untuk menyambut pesan itu?

Hingga beberapa lama ia terdiam. Pada akhirnya, ia pun memutuskan untuk tetap menahan diri. Rasanya ia belum sanggup menggantung harapan terlalu tinggi. Ia masih takut jatuh lagi dan tak lagi mampu untuk bangkit.

Dengan jemari sedikit gemetar, ia mengetikkan empat huruf dalam susunan tertentu itu sebagai balasannya.

‘Baik.’

Setelah itu, ia meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Bersiap untuk bergulung lagi di bawah selimutnya. Ketika hendak memejamkan mata, getar ponsel itu mengganggu lagi. Kali ini, ia dengan cepat meraih ponselnya dan menghidupkan layar.

‘Belum tidurkah, Ke? Sudah tengah malam.’

Setelah berpikir sejenak, ia pun mengetikkan balasannya. ‘Belum.’

‘Mm ... Kapan kita bisa bertemu, Ke? Aku kangen banget sama kamu.’

Membaca kalimat itu, seketika Pingkan mendesah.

Sejujurnya, ia pun memiliki keinginan yang sama. Hanya saja, ia merasa belum siap untuk kembali bertemu Maxi. Sama sekali belum siap. Ia ingat betul pesan Mai, agar ia jujur di awal. Justru karena itulah ia jadi berpikir dan menemukan bahwa ia merasa sama sekali belum siap untuk menerima risiko akan kehilangan Maxi selamanya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)