Rabu, 12 Desember 2018

[Cerbung] Portal Triangulum #9-3









Sebelumnya



* * *



Sverlin duduk mencangkung di sudut sel tempatnya ditahan. Menyesali kenapa ia bisa sampai terjebak di tempat itu.

Keluar?

Sverlin tersenyum pahit. Suatu hal yang sepertinya 99% tak mungkin terjadi. Hanya keajaibanlah yang bisa membuatnya bebas.

Tapi seandainya bebas, apakah aku masih bisa menemukan Moses dan menuntaskan perjalanan jiwanya?

Sverlin menggeleng samar. Gerose memang tak jauh lagi. Bisa dijangkau tanpa harus menyedotkan diri ke dalam lubang cacing yang lokasinya pun tak jelas di tempat itu. Ia kemudian berdiri, melangkah ke arah semacam panggung kecil terbuat dari batu granit, seperti seluruh lantai dan dinding ruangan itu. Sepertinya tempat itu bisa digunakan untuk mengistirahatkan diri sejenak.

* * *

Masterina Bonemine menghela napas lega ketika seluruh pesawat tak diundang milik pasukan kaum Maleus mengudara dan terbang keluar melalui cerobong tak kasat mata yang dibentuknya. Beberapa saat setelah itu, jejak pasukan pengacau itu tak tampak lagi.

Masterina Bonemine mendadak saja teringat pada penyusup lain yang sempat terlupakan keberadaannya karena masalah kaum Maleus. Dipanggilnya salah seorang ajudannya.

“Tahanan yang tadi, kamu kemanakan?”

“Saya masukkan ke dalam sel tenggara, Yang Mulia Masterina,” sang ajudan menjawab dan mengangguk penuh hormat.

Sejenak Masterina Bonemine memejamkan mata. Sekelebat-sekelebat pikiran yang bermain dalam benak Sverlin berhasil ditangkapnya secara utuh. Seketika ia tertegak.

Wah, ternyata dia berbahaya!

Ditatapnya sang ajudan.

“Bebaskan saja penyusup itu,” ujarnya. “Kembalikan semua miliknya. Beri jalur langsung ke Gerose. Biar dia rasakan sendiri apa yang bakal terjadi di sana.”

Sang ajudan kembali mengangguk, dan segera minta diri.

* * *

Baru saja membaringkan tubuh dan meluruskan punggung, pintu sel yang terbuat dari baja masif itu terbuka dari luar. Sverlin bangun kembali. Duduk. Menatap ke arah pintu.

“Anda boleh bebas sekarang,” ucap orang yang membuka pintu sel itu dengan sangat tegas. “Masterina Bonemine memerintahkan kepada saya agar mengembalikan semua barang milik Anda, terutama pesawat yang telah membawa Anda ke sini. Tujuan Anda planet Gerose, bukan?”

“Ya!” Seketika Sverlin meloncat berdiri dengan wajah cerah. “Saya hanya ingin ke Gerose, bukan mengacau di sini.”

“Ya, kami tahu,” angguk orang itu. “Nanti saya beri koordinat dan jalur tercepat dari sini menuju ke Gerose.”

Orang itu membuka pintu sel lebih lebar lagi, dan Sverlin segera mengikuti langkah orang itu dengan sedikit tidak sabar. Waktunya sudah terbuang agak banyak di tempat ini.

Sesuai janjinya, makhluk Primates itu mengantarkan Sverlin kembali ke pesawatnya yang masih terparkir di ceruk. Ia juga memberikan catatan koordinat dan jalur menuju Gerose.

“Anda harus bisa keluar dari kawasan planet ini dalam jangka waktu sepuluh menit,” ucap Primates itu, sebelum Sverlin menutup pintu pesawatnya.

Sejenak Sverlin menatap Primates itu. “Kenapa?”

“Karena akan segera terjadi hujan meteorit lagi. Jadi ... cepatlah!”

Tanpa mengucapkan terima kasih, Sverlin menutup pintu pesawat dan segera mengudara. Sejenak, pikirannya ragu terhadap ucapan Primates tadi.

Hujan meteorit, atau hanya untuk menakut-nakuti saja agar aku tidak menjelajah tempat ini?

Tapi, pikiran warasnya kali ini lebih menang. Ia tak mau mengambil risiko dengan membuang kesempatan kedua yang baru saja diperolehnya. Ia segera melesat sesuai jalur menuju ke koordinat yang diperolehnya.

Saat ia memperkirakan bahwa dirinya sudah berada dalam jarak aman, diambangkannya pesawat di antariksa. Perlahan, ia memutar arah pesawatnya. Planet yang baru saja ditinggalkannya tampak kecil di kejauhan. Sedang dihujani batu-batu yang masih membara berasal dari angkasa.

Tanpa sadar, Sverlin menghela napas lega. Untung saja ia tidak tergoda untuk mengulur keberadaannya di planet itu.

Bisa gagal total rencanaku!

Ia kembali memutar arah pesawat ke koordinat yang benar, dan pesawat itu pun meluncurlah kembali.

* * *

Dengan hati-hati, Azayala menyerahkan liontin kristalnya kepada Ratu Amarilya. Instruksi dari Moses sudah sangat jelas. Bahwa seluruh makhluk yang ada di Gerose harus berlindung di dalam bungker kecuali Ratu Amarilya dan pasukannya. Xavier akan mengaktifkan perisai isolasi beku dengan mempertaruhkan semua sisa energi yang masih dimiliki oleh planet itu.

Dalam waktu singkat, Xavier pun menggiring semua orang yang masih tersisa di atas untuk masuk ke bungker. Ia menutup seluruh gerbang bungker dengan tangannya sendiri. Ia juga memeriksa setiap kemungkinan celah keamanan seluruh bungker. Lampu indikator menyala hijau. Membuatnya menarik napas lega.

Ia bersiaga dalam ruang pengganti pusat keamanan Gerose yang berada dalam kompleks bungker, sementara Astrodi memberikan penjelasan secara langsung melalui layar penghubung kepada seluruh penduduk Gerose. Ia tinggal menunggu komando dari Ratu Amarilya untuk mengaktifkan perisai isolasi beku.

Melalui kamera sirkuit yang terpasang di seluruh penjuru Gerose, tampak bahwa Ratu Amarilya sudah siap menghadapi kedatangan kaum Maleus. Anak buahnya pun tampak siap mengoperasikan pompa yang akan menyemburkan nitrogen setelah semuanya usai nanti. Pompa itu langsung terhubung dengan kantung nitrogen alami yang memang dimiliki oleh Gerose. Kantung itu ada jauh di dalam tanah. Menyimpan nitrogen dalam jumlah tak terbatas.

“Indikator nitrogen?” ucapnya dengan tatapan masih terarah pada layar monitor.

“Hijau, Bos,” jawab salah seorang anak buahnya.

“Oke, kita bersiap,” gumamnya.

* * *

Ratu Amarilya mengamati liontin kristal yang ada di tangannya. Sebetulnya ia merasa skeptis.

Jumlah sekecil ini, benarkah bisa membunuh semua Maleus yang akan menyerbu ke sini?

Tapi diingatnya baik-baik instruksi Moses.

“Anda lihat bahwa jamur ini berpendar, Ratu?” begitu Moses tadi memulai instruksinya. “Nah, dia sudah keluar dari kondisi dorman. Kalau berada di luar kristal isolasi, ia akan segera meledak dan menyemburkan spora ke segala arah. Sama sekali tak akan berpengaruh bagi Manola seperti Anda dan pasukan Anda, tapi akan fatal akibatnya bagi kaum Maleus.”

Baiklah.

Ratu Amarilya mengangguk samar. Tak ada yang bisa diperbuatnya kecuali percaya dan menuruti instruksi itu. Tak urung, ia juga bersiap untuk melindungi pasukannya dengan perisai transparan yang selama ini selalu ampuh dalam setiap kondisi.

“Ratu, coba lihat!”

Ratu muda itu sedikit tersentak ketika mendengar suara salah seorang anak buahnya. Ia segera mengikuti arah telunjuk sang anak buah. Terlihat di angkasa, belasan pesawat kecil tengah berputar-putar untuk mencari tempat mendarat. Satu-satunya hamparan dataran yang cukup luas hanya ada di depan Ratu Amarilya dan pasukannya menunggu.

“Mereka datang!” serunya melalui sistem komunikasi yang terpasang di telinga.

Segera Ratu Amarilya menggerakkan kedua tangannya di atas kepala. Membuat bentuk lingkaran besar. Kemampuan sihirnya sudah mencapai tingkat tertinggi walau tetap belum bisa menyamai kemampuan Wiluta. Ia bisa membuat kubah perisai sekaligus membuat apa pun yang berada dalam perlindungan kubah itu tak tampak dari luar. Dalam waktu sepersekian detik, kubah perisai pun sudah terbentuk sempurna.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)