Kamis, 27 Desember 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #8-1









Sebelumnya



* * *


Delapan


Sabtu. Hari yang ditunggu itu akhirnya datang juga. Maxi nyaris tak bisa tidur semalaman, sehingga pagi itu ia bangun dengan wajah sedikit kuyu.

“Kamu sakit?” Livi, yang berpapasan dengannya di lorong depan kamar, mengerutkan kening.

“Enggak.” Maxi menggeleng dengan wajah polos. “Memangnya kenapa?”

“Nggak seger gitu wajahmu.”

Maxi nyengir. “Susah tidur semalam.”

Keduanya kemudian beriringan menuruni tangga. Pukul enam pagi di akhir pekan, rumah masih sepi. Tapi sebentar lagi Mela akan bergabung karena harus sarapan sebelum berangkat ekskul.

“Mikirin apa?” tanya Livi lagi.

Maxi tersenyum lebar mendengar nada kepo berat dalam suara kakaknya. Tapi ia memutuskan untuk berterus terang.

“Mm ... Aku nanti sore mau nge-date sama Keke,” ucapnya dengan nada malu-malu.

Seketika Livi mengerutkan kening. Kayak ada yang salah? Ia pun menoleh, menatap adik laki-lakinya.

“Terus, cewek yang kamu ceritakan tempo hari? Nggak jadi pe-de-ka-te sama dia?”

Sejenak Maxi mengerucutkan bibir, kemudian menanggapi dengan suara menyerupai bisikan, "Ya ..., dia itu orangnya.”

Mata Livi langsung membulat. Masih menatap Maxi. Bibir merah mudanya pun membentuk huruf O tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Yang ditatap merasa sedikit jengah.

So what?” ujarnya dengan nada berkilah.

Livi segera tersadar. Ia menggeleng dengan wajah serius.

“Aduh ... Keke ...,” desahnya. “Aduh .... Awas kalau kamu sampai sakiti dia, Max!”

“Jadi ... menurut Mbak, nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa apanya?” Livi kembali mengerutkan kening.

Mereka sudah sampai di depan dapur. Tangan Maxi menjangkau saklar lampu sehingga suasana dapur jadi terang benderang. Langit di luar diliputi mendung, sehingga cahaya alami yang masuk melalui jendela yang menghadap ke taman belakang hanya redup saja.

“Maksudku, menurut Mbak, nggak apa-apa kalau aku sama dia?” Maxi menegaskan.

“Ya, nggak apa-apalah ...,” Livi mengibaskan tangan kirinya, sementara tangan kanannya membuka pintu kulkas. “Kan, kamu juga sudah tahu sikapku.”

Maxi manggut-manggut. Menghela napas lega. Sejenak kemudian, keduanya sudah asyik menyiapkan nasi goreng untuk sekeluarga sambil asyik bercakap.

“Hai! Hai! Tuan putri sudah siap menikmati sarapan, nih!” Suara renyah Mela menyeruak kehangatan dapur.

Maxi dan Livi sama-sama menoleh. Mendapati Mela sudah rapi, siap untuk berangkat ke sekolah dan menjalani aktivitas ekstra kurikuler. Melihat sarapan belum tertata, gadis remaja itu kemudian mengambil piring sendiri dan memindahkan seporsi nasi goreng langsung dari penggorengan ke dalam piringnya. Maxi menambahkan sebuah telur mata sapi berpinggiran kering kesukaan Mela di atas tumpukan nasi pada piring Mela. Dengan manis, si adik bungsu pun mengucapkan terima kasih.

“Mau makan di sini atau di meja makan?” tanya Livi.

“Di sini aja.” Mela sudah duduk di salah satu kursi yang ada di depan island.

Tak lama setelah Mela mulai menyiapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya, Arlena muncul diiringi Prima. Akhirnya, mereka mengambil piring sendiri-sendiri dan langsung mengambil nasi goreng dari penggorengan, seperti Mela.

“Nanti aku saja yang antar Mela,” ujar Livi. “Sekalian aku mau isi bensin. Mendung sudah gelap begini.” Ia menoleh ke arah Maxi. “Kamu bobok lagi aja.”

Maxi tertawa ringan. Ia memang sudah menguap berkali-kali sepanjang acara memasaknya bersama Livi tadi.

“Semalam begadang?” Arlena menatap anak laki-lakinya.

“Nggak bisa tidur dia,” sambar Livi. “Deg-degan mau kencan sama kekasih hati nanti sore.”

“Oh ... Hehehe ....” Arlena terkekeh.

“Sudah nyambung lagi?” Prima tersenyum.

Maxi hanya tersenyum lebar. Tak menjawab.

Hujan mulai merintik ketika Livi mengambil kunci mobil, hendak mengantar Mela. Maxi menguap lagi.

“Sudah, sana! Molor lagi, sana!” usir Arlena. “Biar piring dan gelas kotornya nanti diurusi sama Muntik.”

Maxi tertawa sambil berdiri. Ia kemudian naik lagi ke kamarnya. Rintik hujan di luar sana menularkan kesejukan hingga ke dalam rumah. Maxi memutuskan untuk membuka lebar-lebar jendela kamarnya dan tidak menyalakan pendingin udara. Membiarkan hujan mengembuskan aroma dan kesejukan ke dalam kamarnya.

* * *

Pingkan menunggu hingga kedua orang tuanya berangkat untuk kegiatan sosial, dan Nicholas beserta keluarga kecilnya pulang ke Pamulang seusai sarapan bersama, sebelum menarik tangan Andries ke teras depan. Sang abang menurut dengan patuh.

“Aku mutusin untuk terus terang ke Maxi soal ..., you know,” ucap Pingkan, setengah berbisik.

“Oh?” Andries melongo sekejap sebelum segera tersadar kembali. “Baguslah.”

“Seandainya aku bener-bener jadian sama dia, gimana nasib pekerjaannya?” Pingkan menatap Andries. Serius.

“Ya, harus profesional, dong,” senyum Andries. “Kalau dia nggak mampu, ya, cukup sekali saja kontraknya. Kalau mampu, ya, lanjut.”

Pingkan kelihatan tercenung. Ia cukup paham kenapa hingga saat ini Royal Interinusa punya tiga buah pabrik. Ayahnya ingin masing-masing anaknya mendapat ‘jatah’ satu buah pabrik. Nicholas sudah diarahkan untuk menjadi pemimpin utama, sekaligus mengendalikan pabrik terbesar mereka di Tangerang Selatan. Sementara ini, Andries diserahi dua buah pabrik yang salah satunya nanti akan menjadi ‘jatah’ Pingkan. Pabrik-pabrik yang sepertinya masih akan berkembang menjadi lebih besar lagi.

Sayangnya, Pingkan tidak tertarik untuk ikut mengelola pabrik itu. Ia lebih suka mempelajari hal lain, yaitu bahasa Jepang. Bahkan bercita-cita ingin membuka usaha salon kecantikan.

“Tapi, aku yakin dia mampu.”

Suara Andries menarik Pingkan dari lamunannya.

“Bahkan seandainya dia kelak harus mengendalikan dua pabrik sekaligus, aku yakin dia mampu.”

Seketika Pingkan tercekat. Kalimat terakhir Andries terasa mengiris hatinya. Membuatnya memeluk sang abang erat-erat dengan mata mengaca.

Jangan menyerah dulu, Dries .... Jangan!

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)