Kamis, 20 Desember 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #7-1









Sebelumnya



* * *


Tujuh


“Kamu nanti turunin saja Papa di gerbang kantor,” ucap Prima sambil menutup pintu kiri depan mobil. “Bawa saja mobilnya ke tempat kerja.”

“Enggak, ah, Pa,” tolak Maxi sambil menghidupkan mesin mobil. “Mendingan nanti aku turun di perempatan. Masuknya aku jalan kaki saja.”

“Ya, deh. Terserah kamu,” Prima tak menukas ucapan anaknya.

City car berwarna silver itu meluncur keluar dari garasi beriringan dengan city car lain berwarna polished metallic. Mobil mungil milik Livi. Mereka terus beriringan hingga perempatan keempat dari rumah sebelum berpisah. Mobil Livi berbelok ke kiri untuk mengantarkan Mela hingga sampai di depan sekolah, sementara mobil Prima yang dikemudikan Maxi terus berjalan lurus. Walaupun belum genap pukul enam pagi, tapi jalanan sudah mulai padat.

“Jadi, kamu mau ngomongin apa?” Prima menoleh sekilas.

“Mm .... Tentang kemungkinan aku mengundurkan diri dari Royal Interinusa,” gumam Maxi.

Kali ini Prima menatap anak laki-lakinya. Keningnya berkerut.

“Baru berapa hari sudah nggak tahan tekanan?” Prima menyipitkan mata.

“Bukan nggak tahan tekanan,” Maxi tersenyum tipis. “Tapi posisiku yang nggak enak, Pa.”

“Karena Keke?”

“Yup.”

Prima menghela napas panjang. Segera dibayangkannya bila ia berada pada posisi Maxi.

“Tapi diomongin nanti sore saja, Pa,” ucap Maxi lagi. “Biar lebih santai.”

“Oke, oke....” Prima mengangguk. “Jadi, kira-kira pukul berapa kamu sampai lagi di kantor?”

“Paling cepat pukul enam, Pa. Taruhlah setengah tujuh. Papa nggak kelamaan nunggu aku?”

“Enggaklah. Atau Papa tunggu saja kamu di resto deket kantor Papa itu?”

“Boleh, deh. Nanti dari bus kantor, aku minta turun di situ saja.”

“Boleh?”

“Bolehlah. Banyak yang sebelum sampai kantor sudah minta turun karena lebih dekat dari rumah.”

“Sip!”

Pembicaraan mereka kemudian beralih ke hal-hal lain. Cuaca, situasi politik terkini, keadaan tempat training Maxi, dan masih banyak lagi hal lain. Hingga akhirnya mobil itu mendekati perempatan terakhir. Maxi menepikan mobil di dekat sebuah halte. Maxi keluar dan Prima berpindah posisi. Maxi menunggu hingga Prima berlalu sebelum berjalan ke arah perempatan dan berbelok ke kiri di ujung trotoar.

Kantor pusat Royal Interinusa sebagai titik kumpul para trainee hanya sekitar dua ratus meter jauhnya dari perempatan itu. Maxi berjalan dengan santai karena jam masuk masih sekitar empat puluh menit lagi.

Baru beberapa langkah meninggalkan perempatan, telinganya menangkap bunyi klakson ringan. Ia menoleh, mendapati sebuah city car berwarna biru metalik menepi dan berhenti sekitar dua meter di depannya. Ia mengenali mobil itu sebagai milik Gandhi, kekasih sepupunya.

“Hei, Max!” Gandhi keluar dari pintu kanan depan. “Dari mana, mau ke mana?”

Maxi pun bergegas menghampiri laki-laki itu. Disambutnya jabat tangan Gandhi dengan hangat.

“Dari rumah, mau ke kantor,” Maxi meringis sekilas.

“Waooow .... Sudah ngantor kamu sekarang?” Gandhi menepuk lengan kiri Maxi. “Di mana?”

“Royal Interinusa.”

“Lho, tetanggaan kita! Ayo, bareng!”

Maxi pun menurut. Lumayan dapat tebengan. Kantor Blue Flag tempat Gandhi bekerja memang tepat bersebelahan dengan Royal Interinusa.

“Mulai kapan kerja?” Gandhi menoleh sekilas sambil mulai meluncurkan mobilnya.

“Ini masuk minggu kedua, Mas. Statusku masih trainee.”

“Memangnya sudah wisuda?”

“Belum. Tapi kapan hari iseng coba masukin lamaran, ternyata diterima.”

“Wah, hebat kamu, Max!”

“Hehehe ....”

“Ditempatkan di mana? Di sini?”

“Belum tahu, Mas. Tapi kayaknya di pabriknya, deh. Entah yang di Tangsel, Karawang, atau Cikarang.”

“Di mana pun nikmatin saja, Max. Ah, tahu gitu, aku tarik kamu masuk ke Blue Flag. Lagi butuh banyak karyawan baru buat perluasan pabrik di Cibitung. Pabrik di Pulogadung sudah kurang memadai lagi.”

“Wah ....” Ada nada sesal dalam suara Maxi.

“Tapi Royal Interinusa lebih menjanjikan, sih,” senyum Gandhi. “Lagipula rencana operasinya baru tahun depan yang di Cibitung itu. Pas kavelingnya adu punggung sama Chemisto Cibitung.”

Obrolan itu terputus ketika mobil Gandhi sudah sampai di depan gerbang Royang Interinusa. Sambil mengucapkan terima kasih, Maxi keluar dari mobil.

“Bubaran pukul berapa, Max?” tanya Gandhi, menahan gerakan Maxi. “Bareng lagi, yuk!”

“Wah, rada malem, Mas. Pukul setengah empat baru jalan dari Karawang. Lagian aku sudah janjian sama Papa.”

“Oh, gitu?” Gandhi manggut-manggut.

Keduanya kemudian saling mengucap salam, dan Maxi melangkah masuk melintasi gerbang Royal Interinusa. Siap untuk memulai hari training-nya.

* * *

Nicholas sudah berangkat ke pabrik ketika Pingkan dan Harvey sampai di rumah mungilnya di daerah Pamulang, Tangerang Selatan. Ariana menyambut kedatangan keduanya dengan hangat. Iori, si mungil cantik bayi Nicholas-Ariana yang belum genap berusia dua tahun, segera menempel erat pada sang kakek.

Ariana segera mengajak Pingkan menyingkir ke teras belakang. Membiarkan Iori bermain sejenak dengan Harvey. Sepagi ini, Ariana belum sibuk karena kantor olshop-nya baru aktif nanti sekitar pukul sembilan.

Setelah berbasa-basi sejenak dan mengawali obrolan dengan berbagai hal ringan, barulah Ariana menatap Pingkan dengan serius. Pingkan semalam memang sudah mengirim pesan kepadanya, yang baru dibacanya pagi-pagi tadi.

“Jadi...,” suara Ariana terdengar sangat halus, “maumu bagaimana?”

Pingkan mengerjapkan mata, dan menghela napas panjang. Sesungguhnya, ia sendiri juga bingung dengan hatinya. Tapi bukankah ia datang ke sini untuk mencoba mengurai keruwetan itu dengan bantuan Ariana.

Pingkan pun menatap Ariana. Mencoba sedikit demi sedikit mengenali perasaannya sendiri.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)