Sebelumnya
* * *
Mendadak saja Maxi terjaga ketika seberkas cahaya matahari jatuh pada kelopak matanya. Dikerjapkannya mata beberapa kali sebelum beringsut menghindari berkas cahaya itu. Sekian detik ia masih mengumpulkan nyawanya, sebelum terjingkat seperti disengat sesuatu. Buru-buru ia menyingkirkan selimut yang membungkus tubuhnya, dan mencari-cari ponselnya. Dihelanya napas lega ketika ditemukannya ponsel itu tergeletak di atas karpet di lantai. Agaknya semalam benda itu tersenggol dan jatuh.
Tapi helaan napas leganya berubah menjadi embusan tak puas. Berkali-kali, dibacanya dialog bisu yang tertera di layar ponsel.
‘Hai, Ke. Apa kabar?’
‘Baik.’
‘Belum tidurkah, Ke? Sudah tengah malam.’
‘Belum.’
‘Mm ... Kapan kita bisa bertemu, Ke? Aku kangen banget sama kamu.’
Sudah. Selesai. ‘Acara’ berbalas pesan itu berhenti hanya sampai di situ. Rupanya Pingkan tak lagi membalas pesannya, hingga ia jatuh tertidur, dan baru bangun pada ...
Astaga .... Sudah jam segini?
Jam dinding besar yang tergantung tepat di atas dinding kamar mandinya menunjukkan hari sudah pukul 9.23. Buru-buru ia melompat bangun dan nyaris berlari masuk ke kamar mandi.
Sambil membiarkan pancuran membasahi tubuhnya dari puncak kepala hingga ke ujung jari kaki, Maxi terus berpikir mengenai kejadian semalam.
Apakah pernyataan kangenku itu aku terlalu bernafsu?
Seketika bahunya turun ketika menemukan kemungkinan jawaban ‘iya’ memang ada dalam kepala Pingkan. Maxi pun merutuki kebodohannya.
Seharusnya aku ngomong yang ringan-ringan dulu!
Maxi kembali menyesali kebodohannya. Tapi apa mau dikata? Sudah telanjur terjadi. Sepertinya ia memang harus kembali dari nol dalam menyambung kembali hubungan baiknya dengan Pingkan. Dihelanya napas panjang. Mengumpulkan kembali semangatnya.
Beberapa menit kemudian, ia pun menuntaskan acara mandinya. Dengan cepat ia menyiapkan diri. Ia sudah berjanji kepada Mela untuk mengantar si adik kesayangan itu membeli sepatu sekolah. Arlena atau Prima tak bisa menemani karena ada resepsi pernikahan yang harus dihadiri keduanya. Begitu pun Livi. Sudah telanjur akan punya acara sendiri dengan teman-teman kuliahnya dulu pada saat yang sama.
Sebelum keluar, disempatkannya untuk membereskan kamar hingga rapi kembali. Untuk menghindari omelan Livi yang selalu bawel dengan kerapian kamar adik-adiknya. Terakhir, ia mematikan pendingin ruangan, membuka jendela kamarnya lebar-lebar, dan menjangkau handel pintu.
“Astaga!”
Maxi mundur selangkah mendengar seruan kaget Mela. Adiknya itu berdiri tepat di depan pintu sehingga keduanya hampir saja bertabrakan.
“Baru juga aku mau bangunin Mas,” Mela mengelus dadanya.
Maxi terkekeh.
“Wuidiiih .... Sudah cakep, nih, masku,” puji Mela, meneliti penampilan Maxi dari puncak kepala hingga ujung kaki.
“Nanti kalau aku kucel, kamu protes lagi,” Maxi meleletkan lidahnya.
Mela tergelak. Di matanya, masnya yang cuma satu-satunya ini tak pernah memalukan untuk digandeng ke mana-mana. Bahkan ia sangat membanggakan sang abang kalau kebetulan mereka ‘jalan’ berdua dan bertemu teman Mela. Maxi memang selalu terlihat rapi walaupun tidak sampai dalam level cowok metroseksual. Rambut pendeknya selalu terpangkas dengan model trendi. Wajah tampannya yang 11-12 dengan sang ayah terlihat bersih dan tak pernah terkesan kumuh karena berminyak. Penampilannya juga sangat ‘boleh’ walaupun hanya mengenakan kaus oblong dan celana jins. Pendeknya, sangat menarik.
“Yuk!” Mela menggandeng tangan Maxi. “Sudah aku bikinin burger super spesial buat mas tercintah.”
Maxi tertawa mendengar kalimat alay ala Mela. Tapi ia menuruti juga tarikan tangan adiknya itu. Beriringan mereka turun dan langsung ke dapur. Mela mendudukkan Maxi di depan island, dan membuka kulkas. Dengan cekatan, gadis remaja itu kemudian memanaskan sebuah burger dengan microwave. Sambil menunggu burger itu hangat, Mela membuat dua mug es cokelat. Satu untuk Maxi, satu untuk dirinya sendiri.
Tak lama, sebuah burger yang tampak cantik sudah terhidang di depan Maxi. Mela menyelipkan potongan selada dan irisan tomat segar sebelum menyodorkannya kepada sang abang. Sedetik setelah menggigit dan mengunyah, Maxi pun tertawa.
Burger yang dimakannya sama sekali ‘tidak istimewa’. Hanya roti burger biasa bertabur sedikit wijen, yang diisi telur mata sapi, diberi saus pedas manis dan mayonaise, kemudian diselipi tomat dan selada. Sama persis seperti yang sudah sering dibuatnya untuk Mela.
Tapi Maxi tertawa bukan karena ketidakistimewaan itu, melainkan menutupi rasa harunya, karena mendapati ada cinta Mela terselip dalam burger itu. Mela menatapnya dengan mata berbinar dari seberang island.
“Gimana? Enak? Asinnya pas? Mayonaisenya kurang? Saus sambelnya?” berondong Mela.
Maxi hanya mengangguk-angguk sambil mengacungkan jempol. Mulutnya masih sibuk mengunyah. Setelah menelan kunyahan itu, ia balas menatap Mela.
“Satu kurang, nih!” ujarnya. “Bikinin lagi, dong, adik cantik!”
“Oh, tenang saja!” Mela melompat dari duduknya. Tersenyum lebar. “Masih kusimpan satu lagi di kulkas. Aku panaskan dulu.”
Dan, Mela menatap Maxi dengan riang ketika sang abang kesayangan menghabiskan burger yang kedua. Terakhir, Maxi meneguk es cokelatnya hingga tetes terakhir.
“Sudah habis,” Maxi menggosokkan kedua telapak tangannya. “Waktunya molor lagi.”
“Eits!” Mela langsung melotot, membuat Maxi terbahak. Senang rasanya menggoda si bungsu itu.
Beberapa belas menit kemudian, Arlena mengulurkan kunci mobilnya kepada Maxi. Ia juga menyelipkan beberapa belas lembar uang seratus ribuan ke tangan Maxi.
“Siapa tahu duit yang Mama kasih ke Mela kurang,” bisiknya. “Sekalian buat traktir adikmu makan di luar. Kalau kurang, pakai duitmu dulu. Nanti Mama ganti. Bilang Mela, pilih yang bagus sekalian. Kamu kalau ingin apa-apa, beli sekalian.”
Maxi pun mengangguk.
* * *
Pingkan bangun dengan perasaan sesak di dada. Tercenung menatap layar ponsel. Membaca pesan berbalas pesan yang hanya beberapa baris saja.
‘Hai, Ke. Apa kabar?’
‘Baik.’
‘Belum tidurkah, Ke? Sudah tengah malam.’
‘Belum.’
‘Mm ... Kapan kita bisa bertemu, Ke? Aku kangen banget sama kamu.’
Ada yang belum terselesaikan semalam. Ia memang memilih untuk menggantung tanggapan atas pernyataan rindu Maxi, meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, dan mencoba memejamkan mata. Ia pun jatuh tertidur. Hingga pagi. Dalam lelap yang gelisah tanpa mimpi.
Kembali Pingkan tercenung menatap layar ponsel.
Ini harus diakhiri!
Ia merasa sudah tak mampu lagi dibelit gelisah yang ujung pangkalnya adalah dirinya sendiri.
Apa pun yang akan terjadi!
Dengan berusaha memantapkan hati, Pingkan bangun dan beringsut masuk ke kamar mandi. Setelah merasa bahwa dirinya sangat bersih dan segar, ia pun keluar. Dengan tubuh masih dibalut handuk mandi, ia berdiri di depan lemari besarnya, memilih-milih pakaian apa yang hendak dikenakannya.
Akhirnya ia menjatuhkan pilihan pada sehelai blus longgar bermotif bola-bola kecil warna-warni dengan dasar putih, dan sehelai celana jins biru gelap. Dilengkapinya penampilan itu dengan sepatu datar terbuat dari bahan yang sama dengan celananya.
Sejenak, ia bercermin. Tampak ada kantung yang membayang di bawah kedua matanya. Ia menggeleng samar. Biarlah! Maka, ia pun hanya memulaskan bedak tipis saja ke wajahnya, dan mengoleskan pelembab bibir tanpa warna. Dikucirnya rambut tinggi-tinggi, hingga secara keseluruhan ia terlihat lebih segar, walaupun tak sepenuhnya bisa menutupi sedikit rona kelam pada wajahnya.
Sebelum keluar dari kamar, ia menyempatkan diri melirik ke meja tulisnya, pada sebuah jam digital yang menunjukkan angka 08:47. Masih belum telat untuk ikut sarapan bersama.
Pada akhir minggu begini, jadwal sarapan di rumah itu memang molor hingga baru mulai pukul 9. Tak hanya bertiga seperti biasanya setelah Nicholas menikah dan Andries menempati apartemennya sendiri. Tapi biasanya Nicholas datang bergabung bersama istri dan bayinya. Begitu pula Andries. Pasti muncul bila tidak sedang malas. Kali ini, ketika Pingkan muncul di ruang makan, seluruh keluarganya sudah berkumpul secara lengkap.
“Mau pergi?” Sonia mengulurkan secangkir teh lemon hangat. Melihat putri bungsunya sudah cantik dan rapi.
Pingkan mengangguk sambil menggumamkan terima kasih. Ia kemudian duduk di sebelah Harvey, yang segera menghadiahinya sebuah kecupan hangat di kening. Kemeriahan di sekeliling meja itu pun berlanjut.
“Mau ke mana?” tanya Harvey pada satu detik.
“Mm ... Ya, keluar aja,” jawab Pingkan, nyaris menyerupai gumaman.
“Mau Papa antar?” usik Harvey lagi.
“Memangnya mobilnya kepakai semua?” Pingkan balik bertanya.
“Bawa mobilku, ‘gi,” ujar Andries. “Papa sama Mama mau keluar.”
Pingkan berpikir sejenak, kemudian mengangguk, “Boleh, deh. Tapi kamu nggak ke mana-mana?”
Andries menggeleng, kemudian terkekeh. “Hehehe ... Kalau mendadak mau minggat, aku bisa pakai mobil Mama.”
Pingkan tersenyum tipis mendengarnya.
“Donner nggak ke sini?” Nicholas nimbrung bertanya.
“Enggak.” Pingkan menggeleng. “Mau antar Tisha ke ultah sohibnya.”
“Atau kamu mau aku antar?” tawar Andries.
Pingkan kembali menggeleng.
Ia bukannya tak menyadari, bahwa setelah peristiwa ‘itu’, ia lebih sering dianggap sebagai porselen yang gampang pecah kalau tersenggol dan jatuh. Tapi ia paham seutuhnya, bahwa semua perlakuan ‘terlalu manis’ yang ia terima adalah perwujudan perasaan sayang seluruh anggota keluarga padanya. Tak pernah bisa dipungkiri, bahwa ia bisa mencapai titik untuk kembali bangkit adalah karena dukungan seluruh keluarganya.
“Oh, ya, kamu Senin ada acara, nggak?” Andries menatap si bungsu itu. “Pagi.”
“Ada.” Pingkan mengangguk. “Sudah janji mau ke rumah singgah sama Mama.”
“Wah!” Bahu Andries turun sedikit. “Bisa dibatalin, nggak?”
Pingkan menatap ibunya. Bertanya.
“Memangnya Keke mau kamu suruh apa, Dries?”
Andries kemudian memaparkan, bahwa ia membutuhkan Pingkan untuk menjadi penerjemah pada hari Senin nanti. Ada calon customer dari Jepang yang akan meninjau pabrik yang dipimpinnya. Interpreter yang dimiliki perusahaannya saat ini sedang menjalani cuti melahirkan. Mendadak, karena seharusnya cutinya baru mulai pertengahan minggu depan. Tapi rupanya sang bayi tak mau menunggu lagi untuk melihat dunia.
Semalam, Andries menerima kabar bahwa sang interpreter tak bisa hadir di pabrik pada hari Senin. Jadi, ia harus mencari interpreter lain. Daripada harus meminjam interpreter dari perusahaan lain yang masih satu grup, Andries lebih memilih untuk ‘mendayagunakan’ adik bungsunya.
“Oh ...,” Sonia manggut-manggut. Ditatapnya Pingkan. “Sudah, kamu ikut Andries saja. Soal kegiatan di rumah singgah, kan, cuma selingan kalau kamu nggak ada kegiatan lain.”
Maka, Pingkan pun mengangguk. Ia memang sudah beberapa kali berperan sebagai interpreter pengganti, baik di perusahaan yang dipimpin oleh ayahnya maupun kedua abangnya.
“Jadi, kamu ikut aku pulang ke apartemen atau mau kukirim sopir saja Senin pagi-pagi?” Andries tampak senang sekali. “Jadwal customer datang sekitar pukul sebelas, kok. Ke. Nggak pagi-pagi amat.”
“Memangnya kamu kapan mau pulang, Dries?” Pingkan balik bertanya.
“Besoklah ... Malem ini aku mau nginep. Aku ada reuni sama teman-teman SMP-ku nanti sore. Daripada kemalaman pulang ke Cikarang.”
Setelah berpikir sejenak, Pingkan pun memutuskan. “Oke, deh, aku ikut kamu pulang ke apartemen besok.”
Andries pun mengacungkan jempolnya.
Menjelang pukul sepuluh, Pingkan pun meluncurkan SUV Andries keluar dari carport. Ia langsung mengarahkannya ke suatu alamat yang sudah dikenalnya betul. Tak terlalu jauh dari rumahnya, tapi harus lewat jalan memutar yang tetap rawan macet meskipun hari Sabtu begini.
Dengan jantung berdebar makin kencang, Pingkan membelokkan mobil yang dikemudikannya ke tikungan terakhir. Hampir saja ia membatalkan niatnya untuk memperlambat mobil beberapa rumah sebelum mencapai rumah berlantai dua bercat kuning gading tersebut. Tapi dorongan hatinya kali ini lebih menang.
Ia pun menghentikan mobilnya di depan pagar rumah besar yang ditujunya itu. Ketika ia turun dari mobil, pintu pagar terbuka lebar dari dalam. Orang yang membukanya menoleh ke arah Pingkan sebelum gadis itu mengeluarkan suara untuk menyapa.
“Eh, Keke!” Arlena meninggalkan pintu pagar dan menyongsongnya. “Apa kabar? Lama banget kamu nggak main ke sini?”
“Iya, Tante,” gumamnya sembari meraih dan mencium punggung tangan Arlena yang wangi. Ia kemudian menegakkan kembali tubuhnya. “Wah, Tante mau pergi, ya?”
Arlena memang tampak sangat cantik melebihi biasanya menjelang siang ini. Kebaya modern yang dikenakannya tampak melekat apik pada tubuh atasnya, dipadukan dengan rok batik lebar dengan panjang semata kaki. Dandanannya sempurna, baik rias wajah maupun tata rambut.
“Iya, nih, mau kondangan nikah anak teman Om. Kamu mau ketemu Maxi?”
Sejenak Pingkan tercenung. Debar jantungnya meliar lagi.
“Sayang, Maxi-nya baruuu saja keluar sama Mela.”
Pingkan menatap raut wajah cantik Arlena yang tampak dipenuhi penyesalan.
“Memangnya nggak janjian? Atau Maxi lupa?” Arlena mengerutkan kening.
“Oh, enggak, kok, Tante,” Pingkan buru-buru membantah. “Memang nggak janjian, kok, sama Maxi. Ya, sudah, saya pamit dulu, Tante, Om.” Pingkan menatap ke arah belakang Arlena.
“Wah, kita jadi kayak mengusir Keke, nih,” sesal Prima. “Mana Livi juga sudah duluan keluar tadi.”
“Nggak apa-apa, Om,” Pingkan mencoba untuk tersenyum. Kemudian berpamitan sekali lagi.
Begitu berhasil menyelinapkan diri masuk ke mobil yang dibawanya, Pingkan segera menghidupkan mesin dan melajukan mobil itu. Dibunyikannya klakson dengan ringan ketika melewati pintu pagar rumah Maxi. Prima dan Arlena membalas dengan lambaian tangan.
Sambil melaju, di tengah hujan yang mulai kembali merintik, Pingkan mengembuskan napas panjang. Ia sendiri tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini. Kecewa, ataukah justru berlega hati karena jadi tertunda untuk bertemu Maxi.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)