Kamis, 13 Desember 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #6-1









Sebelumnya



* * *


Enam


Bus kecil yang membawa Maxi beserta rekan-rekannya sesama karyawan baru Royal Interinusa mulai bergerak tepat pukul delapan pagi menuju ke Karawang. Hari ini training di pabrik yang ada di Karawang dimulai. Bila sepanjang minggu lalu semangat Maxi berada di titik tertinggi, pagi ini sebaliknya. Semangatnya berada di titik sangat rendah. Nyaris menyentuh angka nol.

Duduk sendirian di bangku paling belakang membuat Maxi lebih leluasa melabuhkan pikirannya ke mana-mana. Salah satunya ke kejadian di sepanjang akhir minggu kemarin.



“Kamu hari ini tadi lupa kalau janjian sama Keke?” tanya Arlena hari Sabtu lalu, begitu Maxi dan Mela pulang menjelang sore.

“Enggak.” Maxi menggeleng dengan wajah heran.

“Oh ....”

“Memangnya kenapa, Ma?”

“Mm ..., tadi waktu Papa sama Mama mau berangkat kondangan, Keke ke sini, cari kamu.”

“Hah?!” Mata Maxi langsung terbelalak. “Yang bener?”

“Bener!” Arlena mengangguk. “Masa Mama bohong? Tanya saja, tuh, sama Papa.”

Yang disebut sedang berjalan menuruni tangga. Heran melihat tatapan Maxi jatuh padanya.

“Ada apa?”

“Bener Keke tadi ke sini cari aku?”

“Iya,” Prima mengangguk. “Bener.”

“Aduuuh!” Maxi menepuk keningnya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berlari ke kamarnya dan segera mandi. Beberapa menit kemudian ia sudah berada di lantai bawah kembali.

“Ma, aku pinjam mobil, ya?” ucapnya.

“Ya, pakai saja.”

Dalam hitungan detik, mobil berwarna putih itu sudah meluncur membelah jalan di bawah siraman rintik hujan. Setengah mati ia berusaha meredakan debar jantungnya yang meliar.

Keke ... Keke ... Keke ....

Ia betul-betul tak menyangka bahwa macetnya obrolan bisu mereka semalam langsung dibalas Pingkan dengan datang langsung ke rumahnya. Sayangnya .... Aaah! Maxi mendesah kesal.

Tapi harapannya pupus seketika. Pingkan tak ada di rumah sore itu. Sedang keluar bersama mamanya. Sambil kembali ke mobil, Maxi mengembuskan napas kecewa. Sebelum melajukan kembali mobilnya, Maxi mengirim pesan kepada Pingkan.

‘Ke, aku ke rumahmu, tapi kamu nggak ada. Kapan kita bisa benar-benar ketemu, Ke?’

Hingga esok sorenya, pesan itu tak terjawab. Kalau saja tidak telanjur berjanji pada Livi untuk mengantar ke toko buku pada hari Minggu menjelang siang, pasti ia sudah ‘terbang’ kembali ke rumah Pingkan.

Kesempatan baru ada sore harinya. Dengan harapan yang kembali terbangun, ia kembali datang ke rumah Pingkan. Tapi untuk kedua kalinya selama dua sore berturut-turut, harapan itu kandas. Pingkan belum lama berangkat ke Cikarang untuk menginap di apartemen abangnya. Baru setengah jam sebelumnya.



Dan, hingga pagi ini, pesan yang dikirimkannya kepada Pingkan pada Sabtu sore lalu tetap tergantung tanpa jawaban.

Kenapa begini sulitnya, sih?

Maxi menatap ke luar jendela bus. Jajaran pepohonan tampak berlari di samping bus. Ia mendongak sedikit. Menatap mendung yang tampak menggantung begitu rendah dengan warna kelabu gelap. Tampak siap mencurahkan sekeranjang besar hujan ke bumi.

Pada kaca jendela bus, terlukis samar wajah cantik Pingkan. Dengan gayutan mendung yang sama. Membuatnya ingin meraih dan menenggelamkan gadis itu ke dalam pelukannya. Agar beban hati gadis itu jadi lebih ringan, bahkan mungkin hilang sama sekali.

“Kalau perjuanganmu terlalu mudah, bisa jadi suatu saat nanti kamu akan menyepelekan perjuangan itu.”

Mendadak suara ayahnya terngiang di telinga.

“Perjuanganmu bisa hilang arti. Mungkin tak akan berpengaruh apa-apa buatmu, tapi buat Keke? Dia bisa jatuh lagi. Kasihan Keke, Max.”

Maxi mengerjapkan mata. Menghela napas panjang. Pada saat yang sama, ia juga teringat kembali pesan ayahnya soal prioritas. Mereka baru saja melewati gerbang kawasan industri tempat salah satu pabrik Royal Interinusa berada. Mau tak mau, Maxi berusaha menyingkirkan Pingkan sejenak dari pikirannya.

Sebelum sampai ke tujuan, ia berusaha membangun kembali fokusnya. Ketika bus melewati gerbang pabrik Royal Interinusa Karawang, Maxi menghela napas panjang. Ia sudah siap untuk menjalani lagi training-nya sepanjang minggu ini.

Fokus! Fokus! Fokus!

Ia berusaha mensugesti diri.

* * *

Pingkan menutup dokumen yang ada di pangkuannya. Ia sudah siap. Calon customer yang akan didampinginya nanti secara jelas sudah memaparkan poin-poin yang ingin diketahuinya tentang pabrik yang dipimpin Andries.

Walaupun ia seolah jauh dari usaha yang dibangun ayahnya dan kini dikelola dengan bantuan kedua abangnya, tapi sedikit banyak Pingkan masih memahami alur perusahaan mereka itu. Lagipula, bukan hanya kali ini ia berperan menjadi interpreter. Beberapa kali ayah dan kedua abangnya sengaja melibatkan ia dalam urusan perusahaan walau ‘hanya’ sebagai interpreter bagi tamu atau calon customer yang berasal dari Negeri Sakura. Tugas itu mau tak mau membuatnya harus belajar dan memahami bagaimana perusahaan berjalan.

Pingkan meluruskan kakinya. Ia berada sendirian di dalam ruang kerja Andries. Ruang kerja yang minimalis dan fungsional. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Hanya berisi seperangkat meja-kursi kerja lengkap dengan dua kursi tambahan, sebuah brankas besar penuh berisi dokumen, seperangkat sofa yang tertata di atas sehelai karpet bercorak doreng harimau, dan sebuah rak berisi LCD TV besar plus seperangkat stereo set. Nyaris sama persis dengan isi ruang kerja Andries di pabrik Cikarang.

Andries saat ini sedang menemui calon karyawan baru yang mengikuti training di pabrik baja mereka. Tugas Nicholas dan Andries sudah dibagi rata. Nicholas mengendalikan pabrik terbesar mereka yang ada di Tangerang Selatan, dan kadang-kadang sibuk bersama ayah mereka di kantor Jakarta. Sedangkan Andries diserahi tugas untuk mengendalikan dua pabrik di Cikarang dan Karawang.

Sekilas Pingkan menatap jam dinding yang tergantung di seberang meja Andries. Baru pukul sepuluh lebih sedikit. Tamu mereka dijadwalkan akan datang pada pukul sebelas. Iseng, ia keluar dari ruang kerja Andries dan menghampiri meja sekretaris Andries. Perempuan berkacamata berusia menjelang empat puluh itu mengangkat wajah dan mengembangkan senyum melihat kehadiran Pingkan.

“Sibuk, Mbak Imma?” Pingkan mengambil tempat duduk di depan Imma, di seberang meja.

“Nggak terlalu, sih, Mbak.”

“Persiapan buat tamu sudah beres?”

“Sudah, Mbak Keke,” angguk Imma. “Baru saja saya cek ruang pertemuan. Sebentar lagi kita turun ke lobi, ya?”

Pingkan mengacungkan jempol.

* * *

Oh, ternyata dia direktur di sini?

Maxi menatap laki-laki muda berusia menjelang tiga puluhan yang berdiri di depan ruangan. Baru saja selesai memperkenalkan diri dan tengah bersiap untuk memberi ‘penataran’ singkat sebelum para peserta training digiring ke pabrik untuk melihat-lihat isi dan segala aktivitas di dalamnya.

Ia ingat betul laki-laki bernama Andries itu adalah orang terakhir yang mewawancarainya saat saringan masuk perusahaan ini beberapa waktu lalu. Laki-laki yang bertanya secara detail mengenai minat bekerja dan harapan yang dimilikinya. Laki-laki yang bersikap penuh atensi sehingga membuat ia tak segan mengutarakan keinginan untuk melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya sambil tetap bekerja seandainya ada kesempatan.

Diserapnya baik-baik semua pemaparan laki-laki itu. Tentang sistem kerja di sini, kualitas dan kapasitas mesin, standar produksi yang harus dipenuhi, dan sebagainya.

“Secara umum, pabrik yang di sini operasionalnya sama persis dengan yang di Cikarang,” ujar Andries. “Sayang minggu lalu kita tidak bertemu di sana karena saya harus lebih banyak berada di sini. Baru awal bulan lalu kita selesai memperluas pabrik di sini dan mendatangkan mesin-mesin baru untuk menambah kapasitas produksi. Saya harap, kita bisa bekerja sama dengan baik. Sekali lagi saya ucapkan selamat datang di Royal Interinusa Karawang. Selamat mengikuti training. Sampai jumpa lagi!”

Setelah tugasnya selesai, Andries bergegas meninggalkan aula yang difungsikan sebagai ruang pertemuan itu. Para trainee yang berjumlah empat belas orang itu kemudian dibawa ke pabrik oleh dua orang trainer. Saat rombongan itu menyusuri sebuah lorong, mereka berpapasan dengan dua orang perempuan yang baru saja turun dari tangga yang berpangkal di salah satu sisi lorong itu. Para trainer dan kedua perempuan itu saling menyapa.

Maxi seketika terpana ketika mengenali salah seorang perempuan itu. Perempuan yang lebih muda dan kali ini berdandan jauh lebih cantik dan rapi daripada biasanya. Terlihat sangat profesional.

Keke? Astagaaa ... Keke???

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)