Sabtu, 22 Desember 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #7-3









Sebelumnya



* * *



Maxi sudah hampir terlelap ketika ponselnya di atas nakas berbunyi pelan disertai getaran. Sambil menguap, diraihnya benda itu. Saat mengaktifkan layar, seketika matanya terbuka lebar. Pingkan membalas pesan yang dikirimkannya nyaris setengah jam yang lalu! Hanya satu kata, tapi berhasil melambungkan Maxi hingga ke lapisan ketujuh langit.

‘Bisa.’

Buru-buru Maxi menanggapi pesan balasan itu dengan sederet kalimat tanya.

‘Lho, Ke, belum bobok?’

‘Belum.’

‘Oke, aku jemput ke rumah, ya, Ke. Mau jam berapa?’

Semangat Maxi kembali melambung ketika pesan itu langsung dibalas Pingkan. Walaupun lagi-lagi hanya dengan satu kata.

‘Terserah.’

Maxi berpikir sejenak. Siang? Sore? Hmm ....

‘Mau nonton, Ke? Ada film thriller kesukaanmu.’

‘Boleh. Yang jam 5?’

‘Oke. Pulangnya kita makan dulu, ya?’

‘Memangnya sudah gajian?’

Maxi tersenyum lebar. Menggeleng gemas.

“Hehehe .... Belumlah .... Tapi aku ada duit, kok. Baru dapat transferan dari dosenku. Tadinya bantuin beliau handel proyek mendesain mesin.’

‘Oke, jemput aku jam 3. Takut macet.’

‘Siap, Lady .... Makasih banyak, ya.’

Kalau saja tak ingat bahwa malam sudah sedemikian hening dan cukup larut, ingin rasanya Maxi bersorak semeriah-meriahnya dan melompat-lompat kegirangan. Rasanya seperti kejatuhan bintang pembawa rejeki karena pada akhirnya komunikasinya dengan Pingkan terbuka kembali. Menilik jawaban Pingkan, tampaknya komunikasi mereka kali ini beratmosfer positif.

Hal itu berimbas pada luruhnya kelelahan yang dirasakan Maxi beberapa hari ini. Semangatnya segera terpompa ke titik maksimum. Tapi kesadarannya masih cukup besar. Besok pagi ia harus masuk kerja lagi. Hal yang bisa dilakukannya sekarang adalah meletakkan ponsel kembali di atas nakas, memejamkan mata, dan menjemput mimpi indah tentang Pingkan.

* * *

Ini baru awalnya ....

Pingkan mengerjapkan mata beberapa kali sembari menatap layar ponselnya yang pelan-pelan menggelap. Entah apakah perasaannya benar atau salah, tapi sepertinya pesan-pesan balasannya penting sekali bagi Maxi. Dilihat dari cara pemuda itu menjawabnya. Ada aroma antusiasme yang pekat menguar dari setiap kata dalam pesan yang dikirimkan Maxi kepadanya. Dan, hal itu membuatnya ....

Apakah benar aku penting buatnya?

Sedetik kemudian, Pingkan menggeleng samar. Semua masih terlalu gelap baginya. Ia sama sekali belum bisa memperkirakan bagaimana sikap Maxi seandainya ia berkata jujur tentang kegadisannya yang sudah hilang.

Memikirkan itu, pelan-pelan nyalinya menciut kembali. Ia terhenyak.

Masa lalu kelam itu, yang sama sekali ia tak pernah bayangkan akan mengalaminya, yang sama sekali ia tak pernah menginginkannya terjadi dalam hidupnya, bagaimanaoun sudah telanjur tertoreh. Menimbulkan bekas yang sangat dalam dengan tinta hitam. Seperti tato. Mau tak mau, ia akan mengusungnya seumur hidup. Kecuali ia bisa melepaskannya.

Selama beberapa belas bulan belakangan ini, sedikit demi sedikit ia sudah mulai bisa berteman dengan masa lalu itu. Belum bersahabat. Tapi sudah lumayan bisa menerimanya dengan hati lebih lapang.

Tapi apakah aku sudah siap kalau harus kehilangan Maxi?

Pingkan berguling, telungkup di atas ranjangnya. Menggigit bibir dengan resah. Pada detik itu, ia tersadar bahwa ia begitu banyak menggantungkan harapan terhadap sosok seorang Maxi.

Terlalu banyak ...

Pingkan menggeleng samar.

... hingga aku kesulitan membayangkan bagaimana kalau Maxi benar-benar pergi dari kehidupanku, walaupun baru di awal begini.

Dihelanya napas panjang. Hingga akhirnya ia mengingat sesuatu. Masih ada satu lagi orang yang bisa diajaknya bicara secara terbuka soal ini.

* * *

Donner baru saja menutup layar laptop setelah selesai berselancar mencari informasi tentang aneka usaha mandiri. Tampaknya sudah final, ia akan segera melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2, sambil mencoba menjalankan usaha mandiri yang hingga sekarang masih ia raba-raba bentuknya.

Sambil tetap telungkup, Donner meletakkan laptopnya pada rak terbawah meja kecil yang ada di samping ranjang. Setelah itu ia berguling, berganti posisi menjadi telentang, ia menatap langit-langit kamarnya sembari menguap lebar-lebar. Sayup-sayup, masih didengarnya beberapa rekan satu indekosnya mengobrol. Entah di teras depan, entah di ruang tengah.

Saat hendak memejamkan mata, ponselnya berteriak-teriak minta diperhatikan. Dengan malas, Donner meraih benda yang sedari tadi tergeletak manis di samping bantalnya. Ia mengerutkan kening melihat nama siapa yang berkedip di layar.

“Halo. Lu belum tidur selarut ini?” ucapnya tanpa basa-basi. “Gue aja udah mau molor.”

“Elu, ah! Molor melulu!”

Donner terkekeh ringan mendengar suara empuk Pingkan dari seberang sana.

“Tumben lu ingat masih punya sodara yang perlu lu sapa dan tanyain gimana kabarnya?”

“Dih! Kecakepan!”

Donner terkekeh lagi. Tapi sejurus kemudian ia berubah menjadi serius. Ini sudah hampir tengah malam. Kalau bukan hal penting, Pingkan tidak pernah seiseng itu meneleponnya selarut ini.

“Ada apa?” tanyanya halus.

Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana. Dengan sabar, Donner menunggu.

“Gue ... udah mutusin ... mau jujur ... ke Maxi. Menurut lu ... gimana?”

Serasa ada sebagian beban berat yang terlepas dari dada Donner. Tapi ia mencoba untuk mencerna baik-baik nada ucapan Pingkan.

“Mm .... Menurut gue, sih, bagus. Itu artinya lu nggak lagi anggap dia orang lain. Lu anggap dia penting buat kelanjutan hidup lu.”

Hening sejenak.

“Tapi apa ada jaminan dia bakal tetap terima gue apa adanya?”

Donner sudah membuka mulut. Hendak menjawab, “Tentu saja dia terima!” Tapi, pikiran warasnya masih menang. Kalau ia menanggapi begitu dengan nada sangat yakin, bisa-bisa kelancangannya menceritakan masa lalu Pingkan kepada Maxi bisa terbongkar. Sejenak ia mendegut ludah.

“Ya .... Kita nggak akan tahu kalau nggak dicoba dulu, Ke.”

“Terus, kalau dia ternyata ninggalin gue, sementara gue udah telanjur cerita, mau ditaruh mana muka gue, Don?”

Kalau kondisi Pingkan saat ini benar-benar normal seperti dulu, ingin rasanya Donner menjawab dengan nada bercanda, “Ya, di tempat biasanyalah! Masa ditaruh di kolong ranjang?” Sayang, kenyataannya perasaan Pingkan sekarang jauh lebih rapuh dan sensitif daripada watak aslinya.

“Kan, masih ada gue, Ke,” ujarnya, akhirnya. “Kalau dia macem-macem, ngember ke mana-mana, gue pastikan gue yang pertama hajar dia sampai abis.”

Hening lagi. Donner tak tahu bahwa Pingkan sempat sejenak tersenyum tipis di seberang sana. Kesunyian itu membuatnya tanpa sadar menguap dengan suara yang lumayan terdengar di seantero kamar indekosnya.

“Lu udah mau molor beneran, Don?”

“Et dah!” Donner langsung menyambar. “Lu kira gue kampret yang hobi malem begadang, kelayapan ke mana-mana, terus siangnya molor?”

Pingkan melepaskan cekikikan lirihnya. Membuat Donner tersenyum lebar.

“Ya, deh. Lu molor sana, ‘gi. Gue juga mau kencan sama surtaling.”

“Oke, deh. Ingat, apa pun yang bakal lu lakuin, gue dukung. Apalagi demi kebaikan kayak maksud lu itu.”

Setelah Pingkan menutup panggilannya, Donner pun meletakkan kembali ponselnya di samping bantal. Tapi baru sedetik, ia terlonjak. Seperti tersengat sesuatu. Segera diraihnya kembali ponselnya. Dengan cepat, tangannya mengetikkan sesuatu. Pesan itu kemudian dikirimkannya ke ponsel Maxi.

‘Keke udah mau cerita ke lu. Lu siap-siap, ya.’

Tapi hingga matanya sudah berat seutuhnya, pesan itu tak terbalas.

Halah, dia dah molor duluan, rupanya!

Donner tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia kemudian secepatnya memejamkan mata, dan alam mimpi pun segera membuainya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)