Senin, 17 Desember 2018

[Cerbung] Portal Triangulum #9-4









Sebelumnya



* * *




“Kita mendarat di situ,” Asubasita menunjuk ke satu arah di bawah.

Pilotnya melihat bahwa ada dataran yang luasnya cukup untuk menampung pesawat-pesawat mereka. Ia pun memberi sinyal pada pesawat lainnya untuk mengikuti komando. Serempak, mereka membentuk formasi tiga baris sejajar dan mendarat secara vertikal bersamaan.

Dari balik kaca pesawatnya, Asubasita melihat bahwa tempat mereka mendarat ada di luar benteng komunitas Gerose. Tapi jaraknya tak terlalu jauh. Kira-kira hanya tiga ratus meter saja. Terpisah oleh jurang dalam yang terhubung dengan sebuah jembatan batu dengan dataran itu.

Asubasita mengerutkan kening. Gerose tampak tenang. Senyap. Bendera Gerose yang ada di setiap sudut benteng tampak berkibar ditiup angin.

“Siap menunggu komando, Bos!” alat komunikasi di pesawat berbunyi.

“Tunggu dulu,” desis Asubasita.

Ia kembali mengamati kondisi di luar pesawat.

Terlalu hening ....

Asubasita menyipitkan mata. Tangannya menjangkau sebuah tombol berwarna biru langit di panel kokpit. Seketika radar menyala. Tapi kosong. Tak terdeteksi apa-apa dalam radius satu kilometer di sekitar mereka.

Benar-benar aman? Atau ....

Ia tahu, bahwa penduduk Gerose pasti sudah bersiap diri atas kedatangan kaumnya. Genderang perang sudah ditabuhnya walaupun tidak secara terbuka. Gangguan terhadap sistem energi yang dilakukan anak buahnya pasti sudah dipahami orang-orang Gerose sebagai sebuah ancaman.

Masalahnya, Asubasita tak punya referensi apa-apa tentang Gerose. Tapi ia yakin senjatanya masih cukup ampuh. Ia pun menggeram, menetapkan hatinya.

“Siapkan godam berapi!”

Suara berat dan paraunya dipancarkan melalui saluran komunikasi di seluruh pesawat pasukan kecil Maleus.

* * *

Dengan sangat sabar, Ratu Amarilya menunggu hingga seluruh pasukan Gerose turun dari pesawat. Pada satu detik, alat komunikasi yang terpasang di telinganya bersuara pelan. Suara Xavier.

“Mereka sedang menyiapkan godam berapi.”

Roger,” bisik Ratu Amarilya.

Tangan kirinya kemudian terangkat lurus ke atas. Sekuat tenaga seperti melemparkan sesuatu ke arah kawasan Gerose. Kubah transparan yang melingkupi ia dan pasukannya seketika meluas ke arah kawasan perlindungan seluruh penduduk Gerose. Kubah itu akan melindungi mereka dari ganasnya serangan godam berapi. Tapi sebelum hal itu terjadi, ia ingin memastikan bahwa kaum Maleus yang bermaksud menyerang Gerose sudah lebih dulu lenyap tak bersisa.

Akhirnya, yang ditunggunya pun terlihat. Kaum Maleus turun satu demi satu dari pesawat-pesawat mereka. Masing-masing menenteng godam berapi, yang satu buahnya bisa berlipat ganda jumlahnya menjadi ratusan godam berapi bila digunakan untuk menyerang lawan. Sungguh-sungguh senjata yang berbahaya dan mematikan.

“Kalian tetap di sini,” tegas Ratu Amarilya.

Sebelum melangkah meninggalkan kubah pelindungnya, Ratu Amarilya menunduk sejenak dengan kedua telapak tangan bertemu secara tegak di dada. Ia pun segera terlindung oleh perisai pribadi yang tampak serupa halo berpendar di sekeliling tubuhnya.

Ia kembali menegakkan kepala, dan melangkah sambil melepaskan kalung berliontin kubus kristal Basikova milik Azayala dari lehernya. Ia berhenti ujung jembatan, di depan gerbang benteng Gerose. Siap menghadapi kaum Maleus.

* * *

Sebelum mencapai pangkal jembatan, Asubasita berhenti melangkah dan mengangkat tangan kirinya. Seluruh anak buahnya pun ikut berhenti. Sejenak kemudian, mereka tahu sebabnya.

Di seberang sana, di ujung jembatan, tampak ada sesosok tubuh yang berselimutkan pendar halo tengah berdiri diam. Tentu saja Asubasita mengenalnya. Ia mendengus, dan tertawa mengejek.

“Aha! Si mungilku Amarilya!” serunya. “Sedang apa di situ?”

Sosok itu hanya membisu.

“Hendak menyerahkan diri agar Gerose tetap aman?” Asubasita terkekeh lagi.

Ratu Amarilya tetap bergeming dalam hening.

“Ha! Kamu pikir aku sebodoh itu?” Asubasita mencebik. Dan .... “SERAAANG!!!”

Ratusan godam berapi segera berjatuhan ke arah Ratu Amarilya. Beberapa jatuh ke arah belakang ratu muda itu, dan segera terpental kembali. Yang jatuh di sekitar ratu itu pun terpental. Tak sedikit pun bisa menyentuh sang ratu.

“Hohoho ... Bawa pasukan rupanya!” Asubasita kembali tertawa mengejek.

Dari pola terpentalnya godam berapi, tampak bahwa ada kubah transparan yang melindungi daerah di belakang tubuh Ratu Amarilya. Kubah yang cukup tinggi dan besar. Tanda bahwa area perlindungannya pun luas.

“Tambah daya!” teriak Asubasita.

Dalam beberapa detik, serangan itu berlipat-lipat ganda. Tak lagi hanya ratusan godam berapi yang menghujani daerah itu, tapi ribuan. Suara desingan dan ledakan menggelegar terdengar bertubi-tubi.

“Biarkan mereka lebih dekat lagi, Ratu,” bisik Moses melalui alat komunikasi.

Ratu Amarilya hanya mengangguk, entah mereka di pusat keamanan bungker melihat gerakan kepalanya atau tidak. Asubasita dan pasukannya terus merangsek maju. Mereka kini sudah sampai di pertengahan jembatan.

“Mundur, Ratu,” suara Moses kembali terdengar. “Beri mereka ruang yang lebih luas.”

Ratu Amarilya menuruti perintah Moses. Ia berlari mundur ke arah dataran semacam lapangan yang ada tepat di depan gerbang benteng Gerose. Tempat di mana pasukannya menunggu.

Asubasita mengejarnya. Ketika kaum Maleus itu sudah melewati ujung jembatan, otomatis formasi pasukan kecilnya melebar.

“Sekarang!”

Desisan Moses pecah di telinga Ratu Amarilya. Dengan kekuatan jentikan jemarinya, ia memecahkan kubus kristal Basikova dan melemparkannya ke arah pasukan kecil kaum Maleus.

Sebuah ledakan tanpa suara terjadi begitu saja. Menghamburkan debu halus serupa asap berwarna ungu. Ratu Amarilya meniupnya ke arah kaum Maleus. Tangannya bergerak cepat membentuk formasi kubah lain yang melingkupi kaum Maleus. Kubah yang bagian dalamnya segera tertutup kabut berwarna ungu.

Ada gerakan-gerakan tak beraturan di dalam kubah itu. Berlalu beberapa ratus detik. Sebelum akhirnya semuanya diam. Hening. Dengan kabut tetap melingkupi bagian dalam kubah yang mengungkung kaum Maleus.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)