Sebelumnya
* * *
Delapan
Beberapa waktu sebelumnya, sistem energi Gerose makin tak stabil. Setelah berdiskusi dengan Xavier dan seluruh jajaran pemerintahan yang ada di planet Gerose, Astrodi pun memberi perintah penyelamatan kepada seluruh penghuni planet. Bunker-bunker segera penuh. Pasokan semua kebutuhan hidup pun terus dialirkan ke lumbung-lumbung bunker. Energi cadangan dioperasikan secara hemat, sementara Xavier berusaha memulihkan dan mengendalikan energi utama.
Astrodi pun mengirimkan sinyal SOS ke seluruh semesta. Ke dalam lingkup galaksi Triangulum, maupun ke luar galaksi. Dalam waktu singkat ia menerima balasan dan jawaban.
Para penghuni galaksi Triangulum bersedia membantu Astrodi kapan pun kondisi Gerose jatuh ke dalam situasi darurat. Bahkan sinyal itu pun diterima dengan sangat sempurna oleh galaksi Andromeda. Catana yang menjadi titik mula terjadinya masalah ini pun segera mengirimkan pasukan terbaik. Tak tanggung-tanggung, Ratu Amarilya sendiri yang memimpin pasukannya.
Kamp pusat pertahanan segera difungsikan maksimal. Barak-barak mulai disiapkan untuk menampung kedatangan pasukan bantuan. Kaum Maleus disinyalir tak terlalu banyak jumlahnya, tapi sangat berbahaya. Kekuatan fisik mereka sangat dahsyat. Diimbangi dengan kekuatan sihir yang mereka miliki. Sementara Gerose sendiri hanyalah planet kecil yang memiliki pasukan kuat, tapi sama sekali tak punya tameng sihir yang mungkin diperlukan untuk menghadapi kaum Maleus.
Xavier sempat bersungut-sungut karena posisinya berada di garda terdepan sistem pertahanan Gerose. Tak masalah kalau masalah timbul karena kesalahan sendiri. Tapi mendapat getah tanpa memakan nangkanya? Itulah yang membuat Xavier jengkel.
Seharusnya kaum biadab itu dimusnahkan sejak dulu, bukan malah tetap dipelihara untuk kemudian menggigit lagi. Meluber ke wilayah lain pula gangguannya!
Ia dingin-dingin saja menerima kehadiran Ratu Amarilya dan pasukannya. Ada pula satu pasukan kecil yang – katanya – elit, turut bergabung dari Via Lactea, tepatnya planet Bhumi. Didampingi oleh pemimpin salah satu negara yang ada di Bhumi.
Pada pandangan pertama, Xavier langsung menyukai sosok Salindri dan menaruh hormat yang lebih terhadapnya. Perempuan itu memiliki segala ketegasan yang menurut Xavier memang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin. Mata Salindri memancarkan wibawa yang seolah membuat orang-orang di sekelilingnya bersedia takluk dengan rela hati.
“Wah, seharusnya aku membawa ahli keamanan terbaik yang kumiliki,” gumam Salindri ketika meninjau kondisi pusat keamanan Gerose.
Alih-alih merasa terhina mendengar gumaman itu, Xavier justru sangat berterima kasih. Pada satu detik, Salindri menatap Xavier. Selanjutnya ia bertutur tentang alasannya datang ke Gerose. Yang pertama adalah menyelamatkan orang-orangnya. Yang kedua adalah memang berniat membantu Gerose menghadapi kaum Maleus.
“Ah, ya!” mendadak Xavier berseru ketika mengingat bahwa Gerose memiliki tamu tak diundang yang tersasar dari Bhumi. “Tuan Moses beserta timnya! Ah, Anda memiliki orang-orang yang hebat, Puan Salindri. Mereka membantu kami mengidentifikasi spesimen tumbuhan yang dibawa tim penjelajah kami dari galaksi lain. Ternyata spesimen itu berbahaya. Tuan Moses membantu kami memusnahkannya.”
“Ada di mana dia sekarang?” tampak kilatan semangat dalam mata Salindri.
“Ada di salah satu bunker kami yang berkeamanan maksimum.”
Tanpa menunggu detik berlalu, Xavier memanggil salah seorang anak buahnya untuk mengantarkan Salindri menemui Moses.
* * *
Moses menggeleng dengan wajah sedih. Ia tak bisa lagi menghubungi Aldebaran, walau melalui jalur kode jingga sekalipun. Tampaknya ia dan timnya sudah benar-benar terputus hubungan dari Bhumi. Apalagi saat ini Gerose tengah menghadapi kondisi genting.
Ia mengembuskan napas keras-keras. Satu-satunya hal terakhir yang tertinggal dari hubungannya dengan Bhumi adalah data yang dimintanya dari Kana. Dengan pikiran kosong, dibukanya data itu. Data yang sudah tak berguna lagi karena masalah jamur Lendiris lilac itu sudah berlalu. Tapi, ia tak ingin menghapus data itu dari bank datanya. Ia menganggapnya sebagai kenang-kenangan seandainya ia tak bisa lagi kembali ke Bhumi.
Dihelanya napas panjang. Baru beberapa belas jam berlalu sejak ia bersama timnya harus berpindah ke bunker. Xavier ternyata menempatkan ia dan timnya di bunker elit berisi orang-orang penting Gerose beserta keluarga inti mereka. Bunker dengan keamanan maksimum yang seharusnya bisa memberikan perasaan sedikit lega.
Tapi buat apa selamat di bunker kalau tidak bisa kembali ke Bhumi?
Pada saat seperti inilah titik pesimisnya mencapai puncak. Membuatnya hanya ingin diam dan menyendiri, alih-alih seperti timnya yang memilih untuk bergabung dalam diskusi dengan Azayala dan seluruh jajaran staf laboratoriumnya. Ia termenung seorang diri di sudut lobi kompartemennya. Menatap kosong ke luar dinding kaca yang cukup ramai dengan orang lalu lalang, sebelum kembali menunduk, membaca apa pun yang ada dalam bank datanya.
Ia tak bereaksi ketika telinganya menangkap desir pintu yang bergeser membuka dan menutup. Paling-paling hanyalah anggota timnya. Tapi suara yang berseru riang itu pada akhirnya membuatnya mendongak.
“Doktor Moses! Syukurlah Anda selamat!”
Seketika ia terbelalak dan ternganga. Beberapa saat kemudian ia mengucek matanya. Berharap ia tak salah lihat. Tapi memang begitulah adanya. Salindri menatapnya dengan kegembiraan meluap. Membuat Moses segera tersadar.
“Ibu Salindri?”
“Ah! Akhirnya ketemu juga!” Salindri melangkah cepat mendekatinya.
“Ibu Salindri, bagaimana bisa sampai di sini? Lewat jalur apa?” suara Moses terdengar ragu-ragu. Masih khawatir bahwa apa yang dilihat oleh matanya itu hanyalah ilusi belaka.
“Panjang ceritanya,” Salindri menggeleng. Ia duduk di dekat Moses. “Yang jelas, aku sudah berjanji kepada Kana untuk membawamu pulang. Tapi ... kelihatannya belum bisa dalam waktu dekat ini.”
Seketika bahu Moses turun.
“Jalur keluar dari Gerose sangat tidak stabil, Mos,” ujar Salindri, lirih. “Apalagi lubang cacing antara Gerose dengan Bhumi memang belum dipetakan secara tepat. Tapi aku lega kamu baik-baik saja di sini.”
“Mereka memperlakukan saya dan tim dengan sangat baik, Bu,” tipis senyum Moses. “Kami dianggap sebagai tamu terhormat. Untunglah.”
“Orang-orang Gerose sangat beradab, Mos,” Salindri menepuk ringan bahu Moses. “Meskipun status kalian tersasar, tapi masih harus bersyukur karena jatuhnya ke sini. Bukan tempat lain yang mungkin sangat berbahaya buat kalian.”
Moses manggut-manggut. Salindri sangat Javantara. Selalu bisa menemukan hal yang patut disyukuri di balik segala kejadian tak mengenakkan.
“Oh, ya! Kamu bisa menghubungi Aldebaran melalui kode jingga, kan? Kamu bisa menghubunginya lagi?”
Moses menggeleng dengan wajah sedih.
“Energi di sini sangat tidak stabil, Bu,” jelasnya. “Saya belum berhasil menghubunginya lagi.”
“Ya, kami sedang ada di Catana ketika kamu berhasil menghubunginya,” angguk Salindri. “Saat ini dia dan Kana sudah kembali ke Bhumi melalui Ancora. Memang sudah terlalu jauh jaraknya, Mos. Butuh energi ekstra untuk menghubungi Bhumi. Untuk melakukan telepati sekalipun.”
Moses mengangguk-angguk.
“Ngomong-ngomong, kamu sudah bertemu Sverlin?” lanjut Salindri, beralih topik.
“Hah? Maksud Ibu? Saya terakhir bertemu dengannya sehari sebelum tim kami masuk portal lubang cacing.”
Salindri menatap Moses dalam-dalam.
“Kamu sudah tahu kenapa dia melakukan semua ini? Membuatmu tersasar, dan sejenisnya.”
Moses mengangguk pelan. Ia sungguh-sungguh tahu alasannya.
“Nah, kecemburuan terhadapmu sudah menutup akal sehatnya,” Salindri menggeleng dengan rupa jengkel.
“Tapi tak ada apa-apa di antara Kana dengan saya,” tukas Moses, tanpa terdengar nada membela diri. “Hanya bersahabat. Murni bersahabat.”
“Ya, aku tahu,” Salindri mengangguk sabar. “Aku mengerti. Tapi Sverlin tidak. Barangkali juga dia memang sudah kurang waras lagi. Semoga saja dia tidak berhasil menemukanmu.”
Moses mengerutkan kening. Masih bingung dengan topik yang dibicarakan Salindri. Salindri rupanya menangkap kebingungan itu. Lalu, dijelaskannya secara sangat sederhana.
“Dengar, Sverlin menghilang dari Observatorium Tandan,” suara Salindri terdengar tegas. “Jejak terakhirnya ada di portal lubang cacing terkunci yang bisa dia jebol. Disinyalir dia mencarimu ke sini, untuk membunuhmu."
Seketika Moses ternganga.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)